Demi terbebas dari pertanyaan yang William berikan Belle memantapkan kembali pada paman Marlon, semata anaknya dapat mengenali sang daddy. Mendapatkan kebahagiaan juga kasih sayang dari kedua orang tua lengkap. Bagaimanapun keadaannya lelaki itu tetap ayah kandung dari William. Dia tidak boleh egois apalagi sampai hati mengorbankan perasaan sang anak.
Kini, mereka sudah tiba di kediaman Exietera yang menampung beberapa kenangan, pahit, manis, dan asin. Di mana Belle dapat berpikir lebih luas, menjadi dewasa hingga melahirkan William. Sebagai kekuatannya untuk selalu tersenyum meski hati terluka.
"Kita mulai dari awal, lupakan semua, aku tidak akan menyiakan kalian." Di sebelahnya Marlon berkata, menaruh tas bawaan Belle, lalu membuka lebar daun pintu. Mempersilakan masuk.
"Di mana Candice?" tanya Belle sesaat tidak menemukan siapa-siapa, seperti rumah kosong yang baru saja dihuni.
"Aku membelikannya rumah baru, di sini hanya ada kita bertiga. Aku tidak ingin dia menjadi pengacau di dalam hubungan kita. Tidak lagi, Bell." Dulu sebelum ada Candice keharmonisan keluarga terjalin. Namun, bisakah semuanya terulang?
Oh, untuk satu itu, Belle meragukan.
Karena pada hakikatnya sesuatu yang sudah rusak, meskipun diperbaiki tak akan pernah menjadi sempurna lagi.
"William ingin pulang, Mom." Si kecil mulai merengek, sedari tadi William memang gelisah bahkan tak nyaman.
"Ini rumah kita Sayang, ayolah, jangan seperti orang asing." Tegur beliau, dia semampunya menyakinkan William.
Yang menjadi pertanyaan Belle hingga nanti, bisakah William menerima ini semua atau malah bertambah kacau? Sungguh! Pada kenyataannya pulang ke rumah bukan berarti Belle memaafkan, apalagi telah melupakan.
Tidak akan.
Belle berjongkok di hadapan sang buah hati, membelai pelan wajahnya penuh kelembutan, sebelum menarik tangan mungilnya memasuki rumah lebih dalam. Mengenali pada William. Bahwa mereka akan tinggal di sini. Di rumah ini dia dilahirkan, juga bercerita sedikit silsilah keluarga dimulai dari pihaknya kemudian pihak paman Marlon. Hingga mereka berhenti di hadapan lambang Exietera yang terpajang.
"Lihat lambang itu Sayang, kau anak yang beruntung. Ayahmu keturunan Exietera, dan kau penerusnya kelak." Beritahu Belle sambil menunjuk pada lambang, sedangkan Marlon hanya tersenyum bangga.
Seakan paham William mengangguk. Entah apa yang ada di dalam pikiran anak itu, yang pasti Belle tahu jika jagoannya tampak kebingungan. Tapi sebagai ibu paling mengerti, dia tak akan membicarakan keburukan. Tidak untuk sekarang atau pun nanti. Belle berharap keluarga kecil mereka hidup damai tanpa adanya rasa sakit.
Kesempatan selalu ada kepada siapa saja yang ingin berubah walaupun kedengaran mustahil, namun Belle memberikan itu pada Marlon. Mungkin hanya sekali. Jikalau keadaan akan memecah belahkan mereka untuk kedua kali, maka Belle siap berpisah. Tidak memberi kesempatan lagi.
Menjadi orang tua tunggal William, selamanya, tanpa berniat nikah lagi. Bagi Belle menikah cukup satu kali dalam seumur hidup. Tak ada yang kedua kali, ketiga, apalagi keempat. Hatinya bukan sejenis wadah yang menampung banyak perasaan. Ini sama sekali tak menyindir para lelaki, entah tercipta dari apa hati mereka. Suka tidak berperasaan.
Mengawini sejumlah perempuan di satu atap, hanya berlandaskan status pernikahan. Mungkin begitu?
"Ayah?" sebut William menatap pada Marlon, yang dipanggil pun menoleh.
Wajah paman Marlon berseri-seri, dia berjongkok di depan William, lantas menggendongnya dengan semangat. "Ugh, jagoanku sudah besar."
Di dalam gendongan Marlon, si kecil William tertawa kegirangan dengan rambut gondrong melambai-lambai. Lelaki 39 tahun itu melambungkan sang anak beberapa kali, kemudian membawanya berputar cukup lama. Oh, menggelikan sekali! Belle sulit menahan senyumnya. Melihat anak bahagia secara otomatis hati turut merasakan, mungkin kontak batin.
Kriing!
Sesaat hilangnya Marlon dan William di bilik lemari telepon berdering, Belle buru-buru datang menjawabnya dengan napas agak terengah. Karena letak telepon yang lumayan jauh. Jantung Belle seakan berhenti tatkala mengenali suara bass di sebrang sana. Milik nyonya besar Gloe.
"Halo, siapa di sana?"
Belle masih terdiam, tenggorokannya tercekat. Tidak bisa berkata-kata.
"Marlon? Kuharap ini kau, ibu sangat merindukanmu sayang, apalagi saat aku mendengar buruk kabarmu."
Nyonya Gloe? Bagaimana bisa orang yang sudah meninggal bertelepon? Rasanya seperti mustahil, tapi semua sudah jelas setelah beliau berbicara demikian. Merindukan Marlon.
"Ibu mertua? A-pa ini kau? Aku Belle, maaf setahuku kau sudah tiada."
"..."
"Ibu mertua, apa kau masih hidup?"
"Anakku, Belle. Oh ya Tuhan! Aku tak tahu harus mengatakan apa padamu. Sebelumnya diriku sangat bersyukur karena kau sudah kembali pada ..."
Spontan Belle menekap mulut. Fakta bahwa nyonya Gloe belum meninggal sungguh mengejutkannya, ditambah reaksi wanita itu padanya membuat hati terenyuh. Dia begitu terharu. Di mana Belle pikir akan mendapatkan makian, ternyata malah sebaliknya. Ibu mertua yang dulu tidak pernah baik, kini beliau berubah 90 derajat.
"Jangan beritahu Marlon, kita harus bertemu lebih dulu."
Nyonya Gloe menyebut alamat sebuah kafe, Belle mencatatnya baik-baik di kepala sebelum menaruh kembali gagang telepon. Mereka belum tahu. Baik paman Marlon, Candice, apalagi dokter Liam. Jadi ... selama dua tahun wanita tua itu berhasil membohongi semua orang termasuk anak sendiri. Oh, ya Tuhah! Belle tak mengerti apa motif beliau melakukan demikian. Dia yang ingin Marlon menikahi Candice, dan mengharapkan dirinya pergi. Tetapi, dia sendiri juga yang memalsukan kematian.
"Paman," panggil Belle dengan harap cemas. Jantungnya berdegup keras.
Marlon yang sedang menggelitiki kaki William pun menoleh, menghampiri Belle dengan senyum mengembang. "Ayo, ikut bergabung Sayang."
"Eum, aku ingin izin keluar sebentar, kau bisa menjaga William?" tanyanya sambil melirik anak mereka, sejenak Marlon terdiam, lalu mengangguk.
"Kau akan kemana? Tentu saja aku dan William bisa mengantarmu."
"Tidak, aku bisa pergi sendiri." Belle memotong cepat, tanpa membuang waktu, dia langsung bergegas.
Selepas kepergian Belle, Marlon putar arah mendekati William kembali. Di sini hanya tinggal mereka berdua. Ini kesempatan bagi Marlon mengambil hati anaknya, mendekatkan diri, juga melakukan berbagai macam konyol. Mereka terlalu asyik bermain hingga larut malam. Ketika William terlelap. Barulah Marlon teringat Belle, yang belum juga kembali sementara waktu telah menunjukkan pukul 10 malam.
Perasaan Marlon semakin gelisah saat William tersentak menanyakan Belle, dia menangis sambil mencari ibunya. "Mom ..."
Mengingat ini untuk pertama kalinya,lelaki itu panik, kalang kabut, bahkan tak tahu harus melakukan apa selain mondar mandir di tempat. Bingung. Marlon tak akan pergi meninggalkan William sendiri, Belle menitipkannya, tapi dia juga tidak bisa tinggal diam.
Berhubung William sudah bangun, jadi Marlon mengajaknya ikut serta mencari Belle. Kendati perasaannya sekarang tidak dapat digambarkan. Marlon trauma atas kehilangan Belle. Cukup sekali saja dia menderita. Di mana dunia seakan menjungkirbalik kehidupannya, ketika tanpa Belle.
Argh! Geram Marlon pada diri sendiri manakala tidak menemukan Belle di mana-mana, bahkan William sampai tertidur lagi. Kerongkongannya bagai terbakar telah menghabiskan sebotol burgundy dengan rakus, dan frustrasi. Memukul meja hingga pecah, Marlon bangkit sesaat mendengar bunyi bel.
"Astaga, Paman! Kenapa kau mabuk lagi? Ini sangat merugikanmu." Belle memekik sambil berusaha menopang bobot tubuh Marlon yang mepet ke arahnya, sehingga nempel dinding.
"Nggh, kau dari mana saja? William mencarimu, hmm terutama aku." Belle membuang muka saat bibir Marlon ingin menjangkau miliknya, sungguh, dia tidak tahan bau alkohol. "Kau berpaling mengingatkanku pada saat malam pertama kita dulu."
Semua terjadi begitu cepat, bibir penuh Marlon menerkamnya seperti biasa.