Chereads / Pasangan Beda Usia / Chapter 25 - Bab 23

Chapter 25 - Bab 23

"Beri aku kesempatan, Bell."

Masih kekeuh Belle tetap menggeleng. Sekarang hanya tinggal mereka berdua, Ernest sudah membawa William ke dalam gubuk. Di dada ini rasanya masih penuh, bukan Belle tidak sudi memaafkan, wajah ketus Gloe seakan terus menghantui. Bukankah jika suatu hubungan tak direstui akan sia-sia, untuk apa dipertahankan?

"Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?" tanyanya sambil menyeka sebutir air mata yang keluar, menatap Belle dengan sabar.

"Aku ingin kau mengurus perceraian kita, aku tidak ingin kembali."

Serius? Oh, ya Tuhan! Kepala Marlon rasanya hendak pecah. Pernyataan itu sangat di luar dugaan. Dia pikir Belle akan meminta sesuatu yang bersifat menghibur. Seperti dulu. Tidak pisah.

"Berpisah denganmu adalah pilihan terakhir yang tidak aku harapkan ketika maut mendekatiku. Jadi jika kita cerai itu sama saja bunuh diri." Kendati alasannya mengapa bertahan hingga detik ini karena Belle. Dia selalu berharap di waktu dekat mereka dipertemukan.

"Tidakkah kau kasihan padaku? Aku ini masih suamimu. Suami yang telah kau sakiti karena kebodohan dirinya di masa lalu. Sekarang aku menyesal. Lihat aku Bell? Tubuhku tak terawat. Setiap hari aku memikirkanmu, aku mencemaskanmu, dan anak kita." Di mata Belle penampilan Marlon mulai terlihat beda setelah dirinya berkata demikian, tampak menyedihkan.

Bola mata Marlon terlihat redup, tak seperti biasa seakan memendam luka serius. Hidungnya memerah, pipinya tirus, dan jenggot yang tidak dicukur. Namun, semua itu tidak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan rasa sakit di hati, ditinggal istri terkasih selama bertahun-tahun. Sungguh.

Bagaimanapun Marlon tidak akan pernah melepaskan Belle. Titik.

"Kau boleh mengataiku, menghinaku sepuasnya seperti dulu dengan kata si Tarzan tua, berbulu lebat, apapun itu. Tapi tolong ... jangan tinggalkan aku."

Lagi, Belle menggeleng, ketika hatinya berkata iya. Akalnya menolak keras.

Awalnya Belle pikir menikah dengan paman Marlon adalah pilihan terbaik. Selain menyelamatkan keluarga besar Chambell dari kekurangan, dia bakal hidup bahagia penuh kasih sayang. Di waktu itu Belle memang menyangkal, namun seiring waktu berjalan setelah cinta tumbuh masalah pun menguji. Ketika Candice datang dan Gloe lebih berpihak padanya Marlon berubah.

Belle sudah cukup sabar posisi yang pertama Candice ambil secara paksa, tetapi kesabaran itu habis saat Marlon menuduhnya selingkuh dengan Liam. Mundur beberapa langkah keputusan Belle telah mantap untuk mengalah. Membiarkan paman Marlon bersama Candice demi kebahagiaan ibunya Gloe.

"Belle, tolong katakan sesuatu?" desak Marlon setengah menangis, Belle tak menggubris. Malah berbalik dan lari.

Di balik pintu tubuh Belle merosot ke lantai, isak tangisnya pun pecah saat William datang sambil menyerahkan sapu tangan. Membelai penuh kasih. Belle tak tahu lagi harus bagaimana? Selain menangis sejadi-jadinya tanpa diketahui paman Marlon. Terus terang dia terpukul melihat keadaan lelaki itu sekarang, jauh dari kondisi baik.

Tapi di lain sisi Belle juga belum bisa menerima paman Marlon. Tidak akan pernah bisa seperti dulu lagi karena semua telah berbeda dan berubah. "Terima kasih Sayang."

***

Marlon meremas rambutnya yang semakin lama kian memanjang, merutuk dan menangis dalam hati. Sudah tiga botol minuman dia telan. Orang-orang terlihat bodoh bahkan melakukan permainan konyol. Mata lelaki itu melemah. Tidak ingin mati mengenaskan di sini Marlon angkat tangan meminta bill sebelum pulang.

Membayar lalu pergi, begitu rencana Marlon, tetapi pandangannya goyang. Tidak fokus sehingga melihat pelayan ada tiga, bahkan menjadi Belle. Huh! Menepis tangan nakal pelayan tadi, Marlon beranjak dengan kepala seberat 1 ton. Dia tak akan bisa hidup jika tanpa cinta Belle dan William. Di hatinya hanya ada satu nama, Belle. Apakah dia tidak mengerti?

Demi Tuhan, Marlon menyesal. Belle cinta pertama dan terakhir. Dia sangat membutuhkan gadis itu di hidupnya, tapi kenapa sulit mendapatkan maaf. Sementara semua perubahan sudah terlihat jelas bahwa dirinya terluka. Menumpukan tangan pada stir, dahi Marlon mengernyit saat mendengar tawa Belle.

Tok! Tok!

Langkah Belle terhenti. Dia baru saja menidurkan William dengan sebuah lagu yang berjudul twinkle-twinkle. Di saat hendak membuat susu ketokan pintu mengalihkan Belle, dengan cepat dia putar arah untuk menyambut.

"Oh, astaga! Paman ..." Spontan Belle menekap mulut saat melihat Marlon mabuk parah, matanya mengerikan ditambah bau alkohol menyengat.

"Bell, ikutlah denganku, aku tak bisa hidup tanpamu." Marlon menangis, tidak peduli lagi dengan harga diri, yang jelas ini sangat menyakitkan. "Kita akan bahagia. Aku berjanji tidak menyakiti dirimu lagi."

Sesaat Marlon ambruk di depan Belle, bola mata gadis itu membeliak. Semua orang sudah tidur termasuk William. Kebetulan Damon dan Ernest sedang di luar, bekerja sama di sebuah pesta menjaga parkir yang menjanjikan. Di sini Belle sendirian, tidak, melainkan dengan anak juga ke empat adiknya. Tapi mereka tidak bisa dimintai tolong.

"Paman, yaampun, bangunlah!" jerit Belle sembari mengguncang pundak Marlon yang keras dan tak bergerak. "Aku tak bisa mengangkatmu, lekas bangun, di sini bukan tempat tidur."

Setengah bertopang, Marlon menatap Belle dengan kelopak mata tertutup. "Nggh, kau mau tidur denganku?"

"Tidak, ayo bangun, nanti disemutin."

"Kalau begitu, aku tidur di sini saja."

"Paman!"

Lagi, Belle menekap mulut manakala Marlon menjatuhkan kepalanya, dan sengaja tidur di bawah kaki gadis itu. Saat Marlon mulai meracau tak jelas. Belle pun melebarkan kuping beliau, kemudian berbisik rendah beberapa kali hingga berhasil. Menyebalkan. Paman Marlon bangkit, menyeretnya ke dalam seperti tidak ada kejadian.

"Kepalaku sakit, tolong pijitin." Mata Marlon mengerling, menyuruh Belle duduk di tepi ranjang. Bukan mematung.

"Sekarang?"

"Tahun depan."

Hmm, baiklah, tahun depan.

Belle balik arah menuju William, membelai rambut lebatnya sebentar, sebelum keluar meninggalkan paman Marlon yang rebahan telungkup. Itu sebenarnya bagian Belle, tetapi tidak masalah dia akan istirahat di depan. Di lantai beralaskan tikar sederhana.

Tak berselang lama Marlon beranjak, memutar bola mata mencari si kecil Belle, sialnya dia begitu cepat menghilang dan tidak ada di mana-mana. Dengan demikian Marlon mengambil bantal, lantas menutup wajahnya dan tertidur lelap bersama William. Tanpa sadar Belle mengintip keduanya dari bilik kayu yang tersekat, tersenyum, lalu pergi dengan hati sedikit tenang.

"Selamat pagi Sayang," sapa Belle di kuping William, rutinitas setiap pagi yang wajib dia lakukan.

"Pagi Sayang." Marlon menyahut, dia bangkit untuk menjangkau Belle. Mengecup bibir gadis itu singkat.

Sontak Belle membatu, sebelum lari ke cermin mengusap bibirnya kasar.

"Karena kau sudah membuka pintu untukku, bahkan mempersilakanku masuk, kuartikan kita resmi baikan."

Belle tidak merespon apa pun, terlalu malas menyuarakan pikirannya, yang ada malah membuat si gemas William menangis karena perdebatan mereka. Melipat tangan di dada, Belle menatap paman Marlon yang sedang membelai William. Bukan apa-apa sih. Dia hanya takut jika baby boy William diambil.

"Kenapa aku baru menyadari, bahwa William lebih banyak mengambil gen dariku daripada kau ibunya." Hah?

Meski jengkel Belle tak berkomentar, dia tetap pada posisi sambil menatap. Tidak berpaling sedikit pun atau dia akan kehilangan William.

"Ayah ..." Tiba-tiba William tersentak, memanggil ayah sambil menangis.

"Iya Sayang ini ayah, cup, cup!"

"Tidak, Mommy di mana ayah William?"

Marlon dan Belle melotot bersamaan, bahkan keduanya saling memandang dengan pikiran masing-masing. Satu minta penjelasan, yang lain ingin memastikan reaksi beliau.