Sementara Liam sedang bersiap-siap, Belle duduk tercenung dengan pandangan yang kosong. Air matanya terus mengalir memikirkan Marlon yang mungkin sangat menderita. Bagaimanapun Belle tidak melupakan bahwa dirinya masih istri sah paman Marlon, dan kesedihannya tentu akan menjadi rasa sakit untuknya. Paman Marlon pasti sangat sedih, bahkan tidak dapat Belle bayangkan seperti apa keadaannya, tetapi ia kekeuh juga tidak ingin pulang ke rumah.
Hal itu jelas membuat Liam bingung.
Sudah berulang kali Liam mengajak Belle untuk ikut bersamanya melayat, sebagai bentuk penghormatan terhadap nyonya Gloe untuk yang terakhir. Namun, Belle menolak, rasa sakitnya yang terlampau besar tidak membuatnya berubah pikiran sedikit saja.
"Bell, aku tahu apa yang kau rasakan." Liam datang, penampilannya yang wibawa selalu membuat Belle kagum.
Gadis itu tersenyum, mencoba terlihat baik-baik saja meski hatinya terasa sakit. "Terima kasih, Liam. Kau memang selalu mengerti aku."
"Kau yakin tidak ikut denganku?" tanyanya sekali lagi memastikan.
Belle menoleh ke arah William yang masih tertidur pulas, lalu mendekatinya dengan bola mata yang berkaca-kaca. "Pergilah, yang aku butuhkan saat ini hanya berada di dekat anakku. William adalah kebahagiaanku."
"Baiklah, aku tinggal dulu ya." Mengusap puncak kepala Belle. Dengan lembut Liam memperlakukannya seolah-olah ia berarti.
Sesaat Liam keluar buru-buru Belle mengintipnya dari jendela, memastikan jika lelaki itu sudah pergi. Sebenarnya, Belle tidak ingin merepotkan siapapun, tetapi sungguh ia tidak ada pilihan selain menerima bantuan Liam. Meski mereka tidak tinggal serumah, tetapi tentu saja Liam sering berkunjung dan membelanjakan keperluan rumah tangga. Belle akui ini adalah sebuah kesalahan, karena secara tidak langsung ia memberikan harapan kepada dokter Liam.
"Maafkan aku dokter Liam, aku masih mencintai paman Marlon, meski rasanya sangat sulit aku terima." Belle berkata lirih.
Setelah dokter Liam tidak terlihat lagi, maka dengan cepat Belle menyiapkan dirinya sendiri. Tidak ada salahnya Belle menghadiri penghormatan terakhir Gloe, hanya saja ia tidak ingin terlihat pergi bersama Liam. Apa jadinya jika orang-orang tahu kehidupan Belle ditanggung oleh Liam? Oh, tentu Belle akan menjaga rahasianya sebaik mungkin.
"Ayo, Sayang! Kita akan menjenguk Nenek untuk yang terakhir kali." Dengan lembut Belle menggendong William, lalu mendekapnya hangat. "Jangan nakal ya."
Untung saja William tidak rewel, sehingga bisa dengan mudah Belle membawanya tanpa takut ketahuan. Penampilannya yang sangat berbeda tentu tidak membuat orang mengenali siapa dirinya. Apalagi nyonya Gloe termasuk seseorang yang terkenal, banyak orang dari segala penjuru hadir, jadi kecil kemungkinan Marlon akan melihatnya.
Kini, Belle duduk di antara para pelayat yang lain. Banyak yang menangis, mengenang seluruh kebaikan nyonya Gloe. Meski selama hidupnya beliau tidak pernah berprilaku baik terhadap Belle, tetapi gadis itu tetap sedih. Air mata Belle menetes mengingat beberapa kejadian yang pernah ia lalui bersama ibu mertua. Hingga matanya mengarah kepada Marlon yang duduk tertunduk, sehingga Belle semakin menangis.
"Belle ..." Marlon menyebut nama Belle di depan mikrofon, dan menangis tersedu-sedu di hadapan mayat ibunya. "Sekarang aku tinggal sendirian."
Istri keduanya Candice yang berada di sebelah Marlon sontak mendelik, saat mendengar rintihan suaminya itu. Kehadirannya yang memang tidak dianggap tidak lagi membuat orang lain heran, jadi mereka biasa saja mendengarnya dan bukan menjadi hal yang aneh.
"Pulanglah, Bell, aku merindukanmu." Marlon mengaitkan jari jemarinya, mengharapkan sesuatu yang tidak pasti.
"Ibu telah meninggal, hanya kau satu-satunya yang aku punya."
"Sungguh, aku sangat menyesal."
"Maafkan aku," katanya menutup pembicaraan.
Setelah itu Candice mengambil mikrofon dan memulai sandiwaranya. Candice yang ahli dalam bermain kata sukses membuat banyak orang menangis. Wanita itu sangat pandai bercerita, bahkan juga mengarang. Candice menunjukkan seolah-olah merasa sangat kehilangan, dan menyayangkan kepergian nyonya Gloe yang amat singkat.
"Begitulah, ada banyak sekali cerita yang ingin aku bagikan pada kalian, tetapi karena waktu yang terbatas jadi hanya sedikit yang bisa aku ceritakan. Intinya aku dan ibu mertua Gloe sangatlah dekat, bahkan kami bagaikan ibu dan anak kandung. Tidak pernah berselisih dan kami saling mengasihi satu sama lain. Sekali lagi aku mencintainya sangat mencintai ibu mertua Gloe."
Riuh rendah suara tepuk tangan terdengar. Seluruh cerita Candice bagaikan terasa nyata dan sangat mengharukan. Namun, semua itu tidak berlaku untuk Liam dan Belle, karena mereka berdua sudah mengetahui siapa Candice yang sebenarnya. Masih menatap ke depan Belle turut menyaksikan tahap demi tahap acara, hingga akhirnya ia melihat paman Marlon mencium dan memeluk Candice. Hati Belle spontan menjerit pilu.
Enggan menunggu acara sampai selesai, Belle pun bangkit meninggalkan pelataran mansion keluarga Marlon Exietera.
"Belle, apa kau di dalam?" tanya Liam sesaat baru tiba, kedua tangannya memegang kantong plastik besar.
"Ya, aku di sini," jawab Belle dari dapur.
"Aku membelikan sesuatu untukmu dan William." Beritahu Liam seraya menaruh buah tangannya di atas meja.
Dengan sebelah alis yang naik Belle mengintip penasaran, dan bertanya. "Boleh aku membukanya?"
"Silakan, dengan senang hati."
Dengan rasa penasaran yang tinggi Belle pun membongkar dua kantong plastik tersebut, batinnya terenyuh saat mendapati beberapa potong pakaian baru. Untuknya dan William. Kepedulian Liam yang sangat besar selalu dapat membuat Belle merasa cukup dengan keadaannya sekarang. Liam tidak hanya memberinya tempat tinggal, makanan, maupun pakaian, tetapi dia juga memberikan kasih sayang. Sungguh! Belle jadi tidak enak.
"Aku memilihnya sendiri, maaf jika tidak cocok." Liam menyengir, kemudian mengambil sepotong kentang yang terhidang.
"Sungguh, aku sangat berterima kasih padamu."
"Tidak, ini bukan apa-apa."
Mengusut dadanya Belle tersenyum penuh haru, tidak seharusnya Liam berbuat seperti ini, tetapi ia juga tidak bisa menolak. Seluruh pemberian Liam semuanya berarti untuk Belle, termasuk pakaian yang baru ia dapat. Setelah menyusun kembali pakaian yang telah dibongkar Belle mendekati Liam, lalu duduk tepat di hadapannya.
"Dokter, maaf, aku sudah merepotkanmu."
"Jujur saja, aku sama sekali tidak merasa terbebani. Aku melakukannya dengan senang hati, Bell, karena melihatmu bahagia adalah caraku untuk membahagiakan diri sendiri." Liam berkata penuh penjiwaan.
Sontak Belle terdiam. Perkataan Liam yang tulus membuatnya menjadi semakin bersalah. Menuang air ke dalam gelas Belle meminumnya secara perlahan, untuk meredakan getaran yang muncul di dada.
"Mungkin, ini akan melukaimu, tapi aku harus mengakuinya." Belle berkata tegas.
Mengangguk sekali Liam tersenyum lebar, semata-mata untuk menyakinkan Belle jika dirinya tidak sepayah itu. "Katakan, Bell."
"Aku masih sangat mencintai paman Marlon, dan aku harap kau mengerti."
"Tidak mengapa, aku sama sekali tidak keberatan mencintai seseorang yang masih mencintai orang lain." Liam menjawab dengan lugas, Belle hanya tersenyum getir.
Beranjak dari tempatnya Belle mengangkut kantong plastik tadi, "aku harus menjenguk William, dia sedang tertidur di kamar."
"Baiklah, aku juga hendak pulang. Ada banyak tugas yang mengintaiku. Kau tahu? Marlon meminta seluruh data terkait pemeriksaan penyakit nyonya Gloe."
Sementara Liam mencuci tangannya di wastafel, Belle mengurungkan langkahnya yang ingin menuju kamar. Mungkin akan lebih baik jika Belle yang mengantar Liam keluar, sebagai bentuk rasa terima kasih.
"Kupikir itu sedikit aneh, karena Marlon juga melakukan beberapa kali check up kepada mayat nyonya Gloe di rumah sakit." Liam terus berkata, kali ini Belle pun juga ikut berpikir.
Apa mungkin paman Marlon belum menerima kepergian ibunya?