Dengan penuh kelembutan Belle menyuapi William, si anak hanya bisa mengoceh selama makan. Usianya sudah memasuki bulan keempat. Gemas. Kerap kali Belle mencubit pipi bulat anaknya. Senang melihat William tumbuh super aktif. Ternyata memiliki anak tidak buruk bahkan sangat menyenangkan.
Ugh, sayang! Mengecup kedua pipi William secara bergantian, Belle tertawa saat melihat lipstiknya menempel pada si kecil.
"Ululu, anak Mommy, nanti besar jangan nakal yaa," ucap Belle memperingati, seraya mengusap sekitar mulut William dari sisa makanan yang menempel.
Saat Belle sedang bermain dengan William, suara bel yang ditekan berulang kali cukup mengusik kuping. Ting tong! Ini sudah untuk kesekian kalinya, namun Candice belum juga bergerak membukakan pintu. Candice ke mana sih? Belle bangkit, mau tak mau membawa William serta. Terkadang jadi ibu rumah tangga memang agak ruwet.
"Iya, sebentar!" balasnya setengah menjerit. Meski tahu orang di luar tak akan mendengar, dia tetap saja melakukan karena kesal. "Astaga, siapa sih? Masih pagi juga sudah bertamu, mengganggu orang saja."
Di ambang pintu Belle tertegun melihat Gloe telah kembali. Wanita tua itu duduk di kursi roda dengan wajah pucat yang dibantu oleh dokter Liam. Hmm, apa waktu itu pesan dari dokter Liam? Dan otomatis kepala Belle berputar mengingat pesan beberapa bulan lalu.
"Ibu, syukurlah kau sudah sembuh," sambut Belle mencoba bahagia, walau nyatanya sangat gelisah.
Gloe membuang muka, menolak uluran tangan Belle terang-terangan. "Tidak usah sok manis."
Ya, baiklah.
Jangankan melihat Belle, melirik William saja tidak. Nenek macam apa dia? Di sini Gloe tampak jelas tak menerima cucu darinya, padahal dia sendiri yang menginginkan penerus.
Tiba-tiba suara cempreng Candice muncul dari arah dapur, entah sejak kapan bahkan tumben memakai celemek warisan ibu Belle. "Ibu mertua ya ampun, kau sudah pulang? Aku sangat merindukanmu, sungguh."
"Iya, Sayang, ibu pun juga merindukan anak-anakku, terutama kau dan Marlon." Dengan senang hati Gloe membuka tangannya, dia menerima pelukan rubah jelek itu dan menolak Belle.
Entah kenapa rasanya sakit sekali, Candice selalu jadi yang terbaik di mata Gloe.
"Maaf, Bu, aku sedang sibuk di dapur," ujarnya sambil menyeka peluh di dahi, berakting sok rajin.
Kendati ibu mertua sudah berhasil dipengaruhi oleh akal bulus Candice yang luar biasa licik. Belle harap dia juga tidak berbohong mengenai urusan kompor.
"Kau memasak?" tanyanya dengan bola mata berbinar, Candice mengangguk. Belle mendelik tak terima.
Hah? Menyebalkan sekali. Jam 5 pagi Belle bela-belain bangun memasak untuk Marlon, namun dengan tak tahu malu Candice malah mengaku bahwa dia yang melakukan itu semua.
Sialnya Gloe memercayai begitu saja, bahkan sampai melirik Belle sinis seolah-olah dia istri tak berguna. "Kau memang menantu idaman semua ibu mertua di dunia ini. Aku semakin bangga padamu. Kuharap Marlon bisa melihat siapa yang layak dijadikan istri."
"Ah, ya tentu saja aku Ibu. Setiap hari aku melakukan pekerjaan rumah sendiri. Dari awal kami menikah hingga sekarang." Candice mulai mengarang, mengambil alih posisi Liam, lantas mendorong kursi roda ke dalam sambil bercerita.
Mengelus dadanya, Belle tersenyum tipis sarat akan tekanan. Membuang jauh-jauh pikiran buruk semata terlihat tegar di hadapan William maupun Liam. Ini sungguh sakit! Tetapi, Belle tidak ingin terlihat lemah, cukup batin yang kecewa.
Tanpa basa basi Belle pun balik badan, menghindari Liam sekaligus meredam kekesalan terhadap Gloe. "Permisi, sampai jumpa."
"Chambell."
"Ya?"
"Kau bisa menghubungiku kapan saja, Bell. Mulai dari detik ini juga aku akan menunggu teleponmu."
Eh? Saat Belle menatap tak mengerti, Liam hanya diam. Sadar atau tidak Liam telah bermain api. Kalau Marlon tahu maka akan menjadi masalah.
Di situ Liam dipecat, lalu Belle dituduh selingkuh. Tidak, tidak! Belle bukan perempuan yang sering berkelana mengitari hati para bujang di Negri ini.
"Paman," panggilnya saat sambungan diterima, Belle pun memberitahu bahwa Gloe telah sehat, dan kembali.
Seusai memberikan kabar Belle langsung bergegas mandi, tentu setelah sang anak tidur. Dia tidak ingin kucel di hadapan Marlon. Candice bisa saja menjadi anak emas si ibu mertua, tapi dirinya tetap jadi yang nomor satu di hati pamannya. Maka dari itu Belle harus terlihat cantik luar dalam meskipun tak sexy.
Di dalam kamar mandi buru-buru Belle memakai handuk kimono saat mendengar tangisan William. Tipikal seorang ibu. Sontak langkah kakinya terhenti tatkala mendapati Liam sudah ada di kamar. Untuk seperkian detik Belle terdiam melihat William di gendongan Liam. Tidur.
"Maaf, bukan aku lancang. Kupikir kau sibuk sehingga tak sempat mendiamkan anakmu. Sekali lagi maaf. Oh, iya, siapa namanya?"
"King William."
"Nama yang bagus."
Mengangguk sekali, Belle meminta anaknya dalam gendongan Liam. Sungguh merasa tidak enak. Cklek! Keduanya menoleh cepat. Tidak Belle maupun Liam spontan menjauh begitu melihat wajah Marlon. Di mata Belle tatapan lelaki itu menghunjam, menatap tajam mereka bergantian.
Paman Marlon pasti salah paham, batin Belle sambil mengantisipasi gerak gerik beliau.
"Apa yang kau lakukan di kamarku?" Kali ini tatapan Marlon terpusat pada Liam. Jelas menuding sesuatu. "Jawab pertanyaanku?!"
"Paman ..."
"Diam! Aku tidak bertanya padamu, Bell."
Menggigit ujung bibirnya, Belle semakin mendekap William ke dada. Menahan gejolak ketakutan. Kendati paman Marlon sulit marah, namun sekali membentak langsung membuat panas dingin. Seperti sekarang. Tidak hanya Belle yang ciut, bahkan William juga turut merasakan atmosfer jahat di dalam diri ayahnya.
"Hei, aku hanya menenangkan William saat ditinggal ibunya, itu saja." Liam menjelaskan, tetapi sama sekali tak membantu.
"Di mana sopan santunmu sebagai Dokter? Memasuki kamar wanita yang sudah bersuami dalam keadaan setengah telanjang, hah?!" Marlon menarik Dokter Liam keluar, sementara Belle mendelik saat baru menyadari keadaannya. Hanya mengenakan handuk.
"Oek! Oeek!" Dengan panik Belle goyang ke kanan ke kiri, menimang William yang menangis.
Tidak lama Marlon masuk seorang diri, menghampiri Belle dengan wajah marah. Tetapi gadis itu mencoba tidak ambil pusing meski batin meringkih ketakutan. Lagipula, selama ini Belle cukup terbuka, pamannya hanya terbawa suasana. Sebentar lagi juga tenang.
"Ka-u mengkhianatiku." Telunjuk Marlon menekan dahi Belle ke belakang. Dia benar-benar salah paham.
"Kupikir Dokter Liam sudah menjelaskan semua." Belle membalas tatapan Marlon dengan berani, menangkis, kemudian melanjutkan. "Kau lebih dewasa dari aku, tapi kau sama sekali tidak mengerti Paman. Cobalah pahami keadaannya. Aku sedang mandi sementara William menangis keras."
Selepas berkata demikian Belle balik arah, menaruh William kembali ke ranjang demi kenyamanan mereka. Belle tidak ingin anaknya terkena imbas dari murka orang tua. Jadi dia asingkan terlebih dulu sebelum bela diri karena merasa tak bersalah.
"Apa kau tahu? Aku jadi berpikir nama William kau ambil dari nama Dokter itu, atau jangan-jangan ..."
Kedua bola mata Marlon memicing, sementara Belle terperangah lebar.
Dia tahu apa yang hendak paman Marlon katakan, seriosly!
"Kau sangat pintar dalam memutar balikkan fakta," ujar Belle sedikit bergetar, menahan air mata yang sudah penuh.
Di luar kendali isak tangis Belle pecah sesaat Marlon beranjak pergi, diikuti oleh suara tangis William. Menggema keras seakan merasakan sakit yang sang ibu alami saat ini. Tertekan.