Chereads / Pasangan Beda Usia / Chapter 22 - Bab 20

Chapter 22 - Bab 20

"Aku benar-benar minta maaf soal kemarin." Liam memohon maaf untuk ke sekian kali. Mungkin tidak begitu penting. Sekadar Basa basi.

"Lupakan saja!" tandas Marlon dengan nada tegas, lantas angkat kaki tanpa memedulikan reaksi Gloe dan Candice.

Lelaki itu sungguh tampak menderita, Liam pikir ini belum seberapa dengan apa yang telah dia lakukan kepada Belle dan William. Tidak ambil pusing Liam pun mengerjakan tugasnya sesuai kesepakatan tanpa menitik beratkan masalah mereka. Memberi nyonya Gloe obat beserta terapi kecil untuk persendian kakinya yang mendadak lumpuh.

Gloe tak banyak berbicara sejak kepulangan Marlon, wanita tua itu seakan-akan menyalahkan Belle di atas kesalahan mereka semua. Sementara Candice sibuk dengan cat kukunya, berdandan ala selebgram. Cekikikan di depan kamera ponsel dan yang lebih menjengkelkan Candice tak begitu peduli dengan ibu mertuanya. Hal itu membuat Liam emosi.

Bagaimana tidak? Nyonya Gloe terjatuh sementara si menantu melongo, ber-hah-hih-hah tidak jelas. Padahal hanya ditinggal sebentar.

"Astaga! Menantu macam apa dirimu wahai nyonya Candice? Membiarkan ibu mertua terjungkal tanpa ada niat menolongnya." Selepas membantu nyonya Gloe bangun, Liam memarahi sang pelakor.

"Kau bisa lihat? Aku sedang sibuk dengan penggemar setiaku. Tidak seharusnya aku meninggalkan mereka, tapi karena si ibu mertua yang lumpuh semua jadi berantakan dan hancur."

"Aku tidak menyangka menantu idaman nyonya Gloe wanita sepertimu," sindir Liam melirik Gloe yang diam seperti batu bahkan pucat pasi. Kalah malu.

Entah mendapat dorongan dari mana Candice berlari menghampiri Gloe, dirinya berubah drastis tiba-tiba. Untuk seperkian detik Liam terenyak sebelum Marlon muncul dari balik dinding. Shitt! Dokter Liam mencibir saat mengetahui kelicikan Candice, bertingkah cemas karena kedatangan suami. Sangat disayangkan Gloe memilih tutup mulut atas perbuatan wanita jahat itu, meskipun beliau kelihatan begitu marah dan kecewa.

"Jangan banyak gerak, Bu, nanti persendian tulangmu semakin rapuh." Candice berjongkok di depan Gloe, wajah bengis sebelumnya kini telah distel begitu apik.

"Iya, aku tak apa." Dengan susah Gloe tersenyum, dia hanya tidak ingin menambah beban pikiran Marlon.

Menata barang bawaannya sebagai dokter, Liam pikir dia harus berangkat lebih dulu sebelum kecolongan. "Banyak tugas yang sedang menungguku, aku pergi."

"Tunggu!" Di luar dugaan Marlon menahan Liam, dia menyerahkan kartu nama miliknya, lantas berkata. "Kau bisa menghubungiku jika menemukan istri dan putraku di jalan nanti."

Tanpa pikir panjang Liam pun menerimanya, bahkan mengangguk. Di saat memberitahu Belle bahwa Marlon menyesal, pasti dia bersedia pulang. Liam tak ingin egois meski menyukai Belle, faktanya gadis itu sudah menjadi istri orang. Tentu dia lebih mengutamakan tindakan baik daripada yang buruk.

Yaitu membantu keduanya mencari jalan keluar, Belle sangat menyayangi William, dan dia ibu muda yang baik.

"Chambell," panggil Liam sambil melewati pintu, hal pertama kali dia lakukan begitu sampai apartemen.

Hening. Tak ada sahutan.

Sama sekali tidak menyerah Liam memeriksa satu per satu ruangan, pikirannya mulai lari kemana-mana. Oh, syukurlah! Saat memasuki dapur ternyata yang dicari tengah sibuk menata makanan. Liam pun mendekat, dia terlalu takut jika Belle bertindak bodoh. Pergi tanpa tujuan.

"Aku memanggil daritadi, kenapa kau diam saja?"

"Ssst, kumohon jangan berisik, William sedang terlelap." Sesaat menaruh telunjuk di bibirnya, Belle menunjuk William yang tidur di dalam keranjang.

Keranjang buah.

What the hell! Sontak Liam melotot, meraih tangan Belle, kemudian menariknya menjauh dari William. Ini sangat tidak lucu. Banyak bakteri atau semacamnya yang tertinggal di dinding sekitar. Apa Belle tidak tahu kulit bayi itu amat sensitif?

"Kenapa kau tidurkan anakmu di situ?" tuding Liam tampak marah, Belle hanya mengendik acuh.

Lalu balik badan menjauhi Liam, kembali fokus pada makanan yang terhidang.

Tanpa persetujuan Belle, Liam memindahkan William ke kamar tamu. Di sana tentu lebih nyaman. Saat Liam datang lagi Belle tak berkomentar apapun, gadis itu sangat menekuni pekerjaannya. Bagaimana bisa Marlon bertingkah?

"Kau pasti belum makan siang, ayo!" tawar Belle sambil menuang air ke gelas, Liam mengangguk.

Mengamati gerakan Belle yang super aktif bahkan begitu baik, dokter Liam merasa dia gadis paling tepat. Di luar benteng yang kokoh. Liam telah jatuh cinta pada istri orang, dan bencana.

"Aku tidak mengerti apa yang salah dengan dirimu sehingga Marlon terutama ibunya semena-mena terhadapmu?" Spontan Belle terdiam, di saat berusaha melupakan Liam malah mengungkit.

Mengambil posisi duduk, dengan berat hati Belle mengingat lagi sekelebat kejadian yang telah lalu. "Sebelumnya, aku tidak seperti ini. Aku kekanakan dan sangat menyebalkan."

Liam mengangguk dua kali, mencoba memahami jika perbedaan usia yang jauh menjadi faktor ketidakcocokkan. Apalagi Belle dari keluarga tidak mampu. Harga dirinya pasti selalu diinjak-injak, di bawah hinaan nyonya Gloe beserta Candice. Jadi tidak menutup kemungkinan dia akan terpengaruh hasutan.

Sekalipun Liam dapat lihat Marlon mencintai gadis ini melebihi segalanya, namun sang ibu tetap nomor satu. Kalau dipikir menyedihkan sekali nasib cinta mereka. Ah! Liam hampir lupa, dia harus memberitahu Belle keadaan Marlon sekarang.

"Tambah lagi?" tanya Belle saat melihat makanan di piring Liam nyaris habis.

"Tidak, ada hal penting yang ingin kuberitahu." Mengelap sekitar mulut, Liam melipat tangan.

Kedua mata Belle memicing penasaran, lalu berkata. "Katakan."

"Kau harus pulang, Marlon sangat menyedihkan. Dia mencari kalian berdua." Enggan bertele-tele Liam langsung ke inti, dirinya juga seorang lelaki tulen.

Pasti akan merasakan hal yang sama bila ditinggal sang kekasih, Liam tidak ingin egois dan munafik.

Tidak langsung menjawab Belle malah menatap arah lain. Rasanya sedih setiap kali mengingat suka duka bersama Marlon, paman sekaligus suaminya dulu. Belle bukan orang yang mudah memaafkan, sejak awal bertemu paman Marlon dia sudah sulit mengontrol emosi.

Untuk saat ini Belle telah mantap atas keputusan dari yang terburuk tetapi paling baik; menyerah.

"Suamimu menyesal Bell, pulanglah," bujuk dokter Liam, beliau memohon sambil menatap Belle.

"Tidak akan pernah."

"Dia membutuhkanmu."

"Tidak, aku sangat lelah bahkan masih sakit hati atas ulah mereka."

Saat napas Belle terengah seperti hendak menangis, Liam memilih menghentikan aksinya dengan terpaksa. Dia tak tega melihat Belle terus menangis. Urusan Marlon akan jadi tanggungannya seorang. Yang jelas Liam berusaha, bahkan tak mementingkan perasaan sendiri demi kebaikan. Catat.

Kriing! Tiba-tiba telepon rumah berdering nyaring. Sesaat Liam beranjak untuk menerima panggilan, Belle hanya diam memerhatikan tanpa berpaling sedikit pun.

Mimik Liam berubah pias, antara kaget, dan tegang. Firasat Belle mulai tidak enak saat Liam menyebut nama paman Marlon. Belle menghampiri Liam dengan perasaan cemas. Mendengarkan secara saksama obrolan mereka yang terdengar serius. Di sebelah Liam gadis itu hanya menunggu sambil berharap akan kebaikan.

Bukan kabar buruk.

"Ada apa?" tanya Belle setelah Liam menutup telepon, lelaki itu mengacak rambutnya gusar seperti frustrasi.

"Katakan ada apa?" Tidak sabar Belle mengguncang pundak Liam, dia tebak pasti telah terjadi sesuatu.

Kendati, sejauh ini Liam sudah menganggap Gloe seperti ibunya sendiri.

"Nyonya Gloe meninggal dunia," jawab Liam dengan getir, tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi.

Belle menekap mulut, air mata turut jatuh bersamaan dengan membayangkan Marlon terpuruk. Setelah kepergian istri dan anaknya, dia juga harus kehilangan ibu.