Nata mengompres perlahan luka memar di sisi dagu Rama. Tentunya dengan omelan khas Nata yang menghina dan mencaci habis-habisan remaja jangkung yang hanya terdiam dengan melipat tangannya di depan perut datarnya itu. Bagi Rama, luka separah apapun dan sebanyak apapun darahnya, ia sudah terbiasa. Terbiasa untuk mengabaikan rasa sakit luka itu. Memangnya mau bagaimana lagi? Toh juga kalau mau menangis gulung-gulung sambil teriak-teriak pun ga bakalan ada efeknya.
"Kamu tawuran sama siapa sih, sampek kek gini?" Kalimat itu menghentikan sejenak aksi baik Nata. Ia melirik ke arah mata tajam milik Rama. Jelas-jelas ia menunjukkan ekspresi wajah yang tak biasa. Nata sepertinya tak sadar akan hal itu.
"Tawuran karena apa juga? Masalah cewek?" Ia menghela napasnya dengan ringan. "Terus orang kamu yang kamu ajak berantem gimana keadaannya?"
Rama masih kokoh dalam diamnya. Tak berkutik, memilih menyimpan semua yang dirasakan olehnya sendirian. Toh juga, Nata tak akan paham dengan luka yang didapatkan oleh Rama. Sistematika kehidupannya jauh berbeda.
"Kamu tuh ya, udah bolos sekolah, tawuran, ugal-ugalan, mau apa lagi coba?" Nata terus mengoceh, sedang Rama hanya diam membisu tak berucap sepatah katapun. "Ngomong dong, jadi bisu?" Gadis itu mulai kesal. Bukan, Rama memang tak sepenuhnya salah. Luka yang didapatkan oleh dirinya, pasti sebab satu hal. Hanya saja, Rama membuatnya kesal dengan semua luka ini. Nata selalu saja merasa aneh tatkala dia melihat luka bekas pertengkaran.
"Apa?" jawab Rama singkat. Sangat singkat. Sesingkat mungkin. Terlihat dari wajahnya, ia sudah tak punya napsu berbicara pada Nata. Remaja itu memanggilnya dan meminta bantuan sebab satu hal, ibu tirinya menunggu di rumah. Jika saja ia datang dengan keadaan seperti ini, maka omelannya akan jauh lebih parah lagi. Rama benci itu.
"Kamu itu ya!!!" Nata geram. Tangannya yang awalnya mengompres dengan lemah lembut tiba tiba menekan dagu Rama. Rama mengerang pelan. Ia mulai menukas jengkel pada remaja satu ini. "Rasanya pengen merebus kamu hidup-hidup!"
"Sakit bego!" Ia menyahut dengan pelan. Melirik sejenak wajah Nata yang jelas melukiskan kekhawatiran di sana. Untuk Rama? Entahlah. Ia hanya berharap, Nata tak merasakan hal lebih dari ini.
"Tau sakit ngapain pakek berantem segala? Huh?!"
"Peduli apa sih lo," tukasnya. Menyimpan rasa kesal, sebab Nata sudah menodai telinganya. Ia lebih cerewet dari mendiang sang ibu kandung.
Nata terdiam sejenak. Benar juga, peduli apa dia? Mengapa ia harus mengkhawatirkan berandal satu ini? Bahkan Rama sendiri saja tak peduli dengan hidupnya. Penghargaan atas karunia Sang Kuasa, diabaikan olehnya. Mungkin saja, sebelum detik Kematian mengetuk pintu hatinya, Rama tak akan pernah bisa sadar sepenuhnya pasal makna kehidupan.
"Pokoknya, tawuran itu bahaya aja." Nata menyahut di sela heningnya suasana, sedangkan remaja yang tadinya hanya diam membeku bak patung es perlahan melirik gadis berambut sedikit ikal disisinya yang masih telaten mengompres luka memar dan lebam di wajahnya. Sebenarnya, itu adalah peringatan yang menggelitik. Nata lucu dengan tingkahnya barusan. Rama ingin tersenyum, tetapi akan aneh nantinya.
"Udah." Nata menghentikan aktivitasnya. Ditatapnya Rama dengan hangat. Banyak perhatian yang diberikan oleh Nata sekarang. "Nanti kalau nyeri kasih penghilang nyeri aja. Salep. Beli di apotik." Ia tersenyum kikuk. Kembali meletakkan obat-obatan sederhana yang dibawanya setiap saat. "Besok lagi kalau ....."
"Kalau apa?" Suara pelan menyahut perkataan gadis itu. Nata hampir saja meloloskan sumpah serapahnya lagi. Namun, Rama menghentikan itu. Setelah mengucapkan sederet kalimat yang mengusik, Rama sudah menyiapkan tameng agar Nata mau diam. "Gue akan bayar waktu lo hari ini. Jadi jangan khawatir. Gue tahu caranya balas budi."
Persetanan gila! Bahkan Nata membantu bukan sebab materi. Dia juga anak orang kaya. Pasal uang jajan, Nata tak perlu mengkhawatirkannya. Semuanya ada dan tersedia. Jujur saja, ia hampir berharap Rama akan mengucapkan kata terimakasih padanya. Namun, ia baru saja ditampar oleh semesta. Rama bukan remaja yang punya sopan santun.
Nata mengemasi barangnya. Mengembalikan beberapa obat dan kotak P3K miliknya ke dalam tak. Ia memilih bungkam kali ini. Tak ada gunanya lagi, itulah kiranya yang ada di dalam kepala Nata.
"Lo udah makan?" Rama menarik tangan Nata. Menghentikan langkah gadis bermata kucing itu. Sungguh, remaja ini penuh dengan teka teki. Kiranya, beberapa menit yang lalu, Rama memandang dirinya dengan penuh ketidaknyamanan, seakan-akan ingin menyuruh Nata segera pergi meninggalkan dirinya.
Nata melakukan itu dengan senang hati. Toh juga, ia membantu bukan sebab imbalan.
"Peduli apa kamu? Aku gak laper—" kalimatnya terhenti kalau suara perut keroncongan menyala dirinya. Suara itu cukup keras, sebab keduanya saling diam sekarang. Nata memejamkan rapat kedua matanya. Ia menunduk, menjatuhkan pandangan mata untuk menatap ujung sepatu putihnya. Sekarang gadis itu mengumpat sejadi-jadinya di dalam hatinya. Seharusnya perutnya tak berbunyi sekarang. Ia bisa melakukannya nanti di rumah. Makan, itulah yang Nata maksudkan.
Rama diam sejenak. Tentu saja, akan canggung jika mereka membahas ini. Ia tahu, Nata pasti menyimpan rapat-rapat keinginannya untuk segera makan sekarang. "Gue belum makan," ujar Rama pelan. "Masih ada waktu, sebelum gue pulang ke rumah."
Nata mengerutkan dahinya samar. "Terus? Urusannya sama aku?" Saat ini tatapan Nata mendadak berhenti pada satu titik. Sepasang mata elang milik Rama. "Aku juga mau pulang. Aku bisa makan di—"
"Gue traktir" Rama beranjak. Berlalu melewati Nata yang masih berdiri kaku di tempatnya. Tak percaya bercampur perasaan yang mengatakan ini gila! Sungguh gila! Setan mana yang mau masuk ke dalam tubuh berandalan gila seperti Rama? Ia adalah remaja yang benar sulit untuk diperkirakan. Sifatnya selalu saja berubah. Kadang kala ia terlihat seperti remaja baik yang penuh luka di dalam hatinya. Kadang kala, sikapnya berubah penuh dengan kepedulian yang diungkap dengan cara yang berbeda. Juga, tak luput Rama adalah si berandal yang suka berlaku seenaknya sendiri, seperti sekarang ini.
"Ngapain masih berdiri disitu kek orang bego? Buruan!" Remaja itu berteriak dengan lantang. Suaranya membuyarkan lamunan Nata dan sukses menarik langkah gadis itu untuk segera mendekat padanya.
Belum benar-benar menyusul Rama, remaja jangkung itu sudah kembali memulai langkahnya. Kaki jenjang mengambil satu per satu langkah lebar yang membuat sepasang kaki pendek nan mungil milik Nata kualahan. Gadis itu hanya bisa mengikutinya bak seorang bocah yang mengikuti arah langkah orang tuanya pergi.
Setidaknya sore ini, Nata kembali mencetak sebuah kisah bersama remaja aneh yang mulai terasa familiar masuk ke dalam hidupnya. Sejak kali pertama bertemu hingga saat ini, semesta tak pernah luput akan moment mereka berdua.
... Bersambung ....