Siang berlalu begitu cepat untuk Nata hari ini. Bel pulang sudah berbunyi dengan nyaring, bak sirine yang sudah dipahami oleh semua penghuni sekolah, waktu belajar sudah usai. Satu persatu orang yang ada di lingkungan sekolah mulai pergi dari peraduannya. Kembali ke rumah tercinta, bertemu dengan ayah juga sang ibunda.
Nata heran, meskipun ia satu sekolah dengan Rama, satu kelas, bahkan bangku Rama tak jauh darinya, tetapi untuk menemui remaja berandal itu saja susah sekali rasanya. Sejak pagi hingga siang begini, Nata tak melihat Rama. Bangkunya juga kosong, biasanya kalaupun Rama bolos pelajaran karena ia tak suka dengan pelajaran atau gurunya, pasti ia akan meninggalkan tasnya di atas meja. Lalu, sepulang sekolah ia akan mengambilnya lalu ia baru akan pulang ke rumah. Namun, hari ini? Ia menghilang. Mungkin Rama sakit?
Entahlah. Ia bahkan tak punya nomor ponsel remaja jangkung itu. Aneh rasanya, hari ini Nata saja dibayangi oleh keberadaan dan keadaan Rama. Seperti seorang ibu yang punya firasat buruk, kalau-kalau putra dan putrinya terkena nasib buruk hari ini. Peduli apa Nata padanya? Bahkan mereka saja baru mengenal beberapa hari terakhir ini. Pertemuan mereka belum genap satu bulan. Nata mulai terpengaruh dengan Rama. Awalnya ia mencari remaja itu, sebab ingin mengajukan beberapa pertanyaan juga sekaligus menyelipkan kata terimakasih untuk perbuatan baik Rama hari ini. Akan tetapi, sebab remaja jangkung itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya, Nata mulai berpikir aneh sekarang.
Nata berjalan gontai bak macan lapar di gurun yang luas. Langit mendung menjadi atapnya berjalan di trotoar. Hari ini Pak Dan harus menjemput mamanya di bandara setelah berminggu-minggu berada jauh darinya --di negara tetangga. Jadi mau tak mau Nata harus berjalan kaki ke halte bus dan naik bus untuk sampai ke rumah.
"Ah rintik hujan lagi," erang Nata pelan. Ia mempercepat langkahnya untuk sampai ke Halte bus. Akan tetapi, tiba-tiba langkahnya terhenti kala kedua lensa matanya memotret perawakan tinggi yang berjalan di sebrang jalan. Perawakan tubuh jangkung itu tak asing lambat laun. Si jangkung yang berjalan dengan gagahnya sembari memasukkan satu tangannya di saku celana panjang yang ia kenakan, mirip dengan Rama. Mata Nata menyipit "Rama?" ia terhenti. Lagi-lagi memastikan pria berperawakan kurus tinggi itu menoleh padanya.
"Iya, Rama!" Nata berlari menyebrang jalan untuk menghampiri pria itu. Akhirnya ia bertemu dengan Rama. Anehnya remaja itu berjalan kaki sekarang. Juga, dia masih memakai seragam yang sama. Bahkan tas yang biasa dibawa olehnya pun masih menggantung di salah satu sisi pundaknya.
"Rama kamu—" Ucapannya terhenti, setelah tepat berada di depan remaja itu, mata Nata membulat sempurna. Persetanan gila. Nata hampir saja tersentak ke belakang sesaat selepas mendapati wajah Rama babak belur seperti habis dikeroyok seluruh kampung. "Wajah kamu?" Nata menjulurkan tangannya.
"Wajah kamu, kenapa?" Nata menarik dagu lancip Rama. Tatapan mata indahnya itu mulai menelisik. Setiap bagian wajah tampan Rama tak luput dari pandangan matanya. "Tawuran?" tanyanya. Ia membolak-balikkan sisi wajah remaja yang masih kokoh dalam diamnya itu. Rama tak mau menjawab sekarang. Toh juga, Nata tak akan paham jika dia menjelaskannya.
Wajah Nata jelas-jelas memberitahu Rama bahwa dia adalah gadis polos dari keluarga yang baik. Ia tak akan pernah mengerti sistematika kehidupan orang liar seperti dirinya itu.
"Kamu kenapa? Di mana motor kamu? Kenapa gak masuk ke kelas tadi? Aku tahu kamu masuk sekolah dan—" Nata diam. Lebih tepatnya, gadis itu sedang didiamkan paksa oleh keadaan. Bukan Nata yang ingin, tetapi Rama yang bereaksi secara tiba-tiba. Membuatnya terkejut tatkala remaja jangkung itu menarik wajahnya dengan kasar. Rama tak nyaman kalau Nata terlalu lama menyentuh dirinya. Rama yakin, Nata pun akan menyesali hal itu nanti.
"M--maaf ....," tuturnya selepas tersadar.
Rama berdecak. Ia memalingkan wajahnya. Enggan bertatapan dengan gadis yang masih saja menatapnya begitu. Jujur saja, baru kali ini ada orang yang 'selancang' ini pada Rama. Tak ada yang berani menyentuh singa dengan tempramen yang buruk.
"Bisa lo pergi dari hadapan gue sekarang? Perasaan gue sedang tidak baik. Gue gak mau menyakiti siapapun." Rama berkata dengan nada ketus. Nada bicaranya begitu khas. Membuat Nata mulai hapal dengan sosok Rama Aksa Megantara.
Nata diam sejenak, kepalanya mengangguk kemudian. Baiklah, ia bisa membaca semua dari ekspresi wajah Rama. Ia berkata jujur seperti apa yang ada di dalam hatinya. Mungkin, hal buruk baru saja terjadi pada remaja ini.
Nata berbalik badan. Ia pergi, tanpa berpamitan tentunya. Cukup mendengar sekali saja. Ia takut dengan nada bicara dan ekspresi wajah Rama. Remaja itu sudah bak ingin memakannya hidup-hidup.
Kepergian Nata hanya dipandang sebelah mata. Toh juga, gadis itu tak penting untuk Rama. Sekalinya datang, sudah bak hama untuk Rama.
Getar ponsel menyadarkan lamunan remaja itu. Pandangannya teralih, membiarkan punggung Nata semakin jauh dari jangkauannya. Kini sepasang mata tajam itu menatap layar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Sial, kirinya itu lah yang baru saja terlintas di dalam kepalanya.
"Bunda nunggu kamu di depan rumah, kamu masih lama pulangnya? Bunda bawa sesuatu." --Rama menghela napasnya kasar. Anggukan ringan ia berikan untuk mencoba memahami suasana. Anehnya, Nata berubah menjadi harapan satu-satunya untuk menutupi kesalahannya sore ini.
"Oi!" Rama berteriak. Lantang suaranya, mampu menarik perhatian gadis itu. "Nata!"
Nata menatapnya. Mengerjapkan mata kala tak menyangka Rama akan memanggil namanya sekarang. Ia lupa, kapan remaja itu mau menyebut namanya dengan benar. Bukan lagi 'oi' atau sapaan aneh semacamnya.
"Nama lo Nata 'kan?"
Nata mengangguk ringan. "Kenapa?"
Rama membuang mukanya. Aneh, rasanya canggung untuk meminta bantuan. Seumur-umur ia belum pernah melakukannya. Ya, memang jika dilihat wajah dan fisiknya begitu mumpuni untuk memulai kisah cinta atau menjadi buaya yang mengumbar janji kemana-mana. Namun, percaya saja, Rama hanya pernah mencintai satu orang selain mendiang ibu kandungnya. Selepas cintanya lepas begitu saja, Rama tak pernah berinteraksi dengan gadis mana pun.
"Lo ... lo bisa ...." Ragu, tentu saja.
"Katakan yang jelas," ucapnya berjalan mendekat. Mengerutkan keningnya saat Rama mulai bertingkah aneh. Remaja itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Seakan sedang mencari celah untuk mengatakan sesuatu.
"Lo bisa mengobati luka gue?"
Rama diam. Dari sekian banyak kemungkinan, ia tak pernah memikirkan kalimat itu lolos dari celah bibir Rama. Nata tahu, Rama bukan tipe yang mau disentuh oleh orang lain dengan sembarang.
"Lupakan jika—"
"Ikut gue." Nata menyahut. Ia kembali memutar langkah dan berjalan. Mau tak mau, Rama harus mengekorinya.
Nata ... adalah kisahnya yang kedua bersama seorang perempuan muda?
... Bersambung ...