Seperempat jam sudah pena hitam milik Nata menari luwes di atas kertas. Menciptakan susunan kalimat yang membentuk beberapa paragraf bermajas hiperbola. Persetanan memang remaja satu itu, jikalau saja ia tak berbuat sok baik dengan membantunya, mungkin malam ini ia sudah bertemu pangeran tampan dalam mimpinya.
Nata bersumpah, setelah ini ia tak akan berkontak dengan berandalan itu. Jika sudah begini, siapa yang akan susah? Nata bukan? Iya Tentu. Memangnya Rama akan memikirkan hal semacam ini? Tidak. Tidak akan.
Nata melirik sekilas jam dinding di kamarnya, sebelum akhirnya matanya tertuju pada layar ponsel miliknya yang baru saja menyala. Satu pesan masuk dari teman sekelasnya--Dila.
Nata menggeser tombol gembok di sisi layar ponselnya, sepersekian detik kemudian satu kalimat tanya untuknya mulai mengintrogasi.
"Nata, gimana tadi? Kamu diapain sama BK?"
Nata mendesah ringan. Jarinya mulai mengetikkan beberapa kalimat. "Suruh nulis surat." --singkat, padat dan jelas. Ia mengirim pesan itu pada Dila.
"Sendirian?"
"Apa sama kamu? Enga 'kan?" Nata tersenyum ringan kala membalas dengan kalimat candaan itu. Ia ingin, dirinya makin akrab dengan Dila.
"Rama?"
"Kabur."
"Gila."
"Emang."
Sepersekian detik berlalu. Tak ada jawaban lagi dari Dila. Nata kembali memfokuskan pandangan matanya mengarah tepat pada secarik kertas yang ada di depannya saat ini. Mulut gadis itu mulai komat Kamit tak jelas, kiranya Nata sedang mencoba untuk memahami kalimatnya sendiri. Ia tak mau, hiperbola yang ditulis olehnya, terdengar tidak masuk akal.
"Tapi, kamu mau nulis itu dua kali?" --satu pesan kembali masuk ke dalam ponselnya. Dentingan itu menyita fokus Nata untuk kembali menatap ke layar ponsel. Menggesernya dan mulai membuka pesan lalu membacanya dengan teliti.
"Kenapa harus dua kali?" Gadis itu mengerutkan keningnya. Tak mengerti, guru BK hanya menyuruh menulis satu lembar kertas ini saja sampai penuh. Katanya, tak perlu ada salinan.
"Karena ga sekali."
"Beneran, ih!" Gadis itu mulai menggerutu. Sekarang ia hanya bisa diam, menatap ke layar ponsel sebab Dila sedang mengetikkan sesuatu dari seberang ponsel.
"Gini ya, BK di sekolah kita hanya mau menerima surat ajaib yang ditulis sebanyak tulisan di kitab suci kalau semua tersangka nulis dan nyerahin saat yang bersamaan. Jadi, kalau cuma kamu yang nulis, tau kan? Apa jadinya kalau semut berusaha membersihkan kotornya laut pasifik?"
"Percuma?"
"Nah itu ga bloon bloon amat."
"Sial."
Nata berdecak. Ia meletakkan ponselnya sejenak. Memegangi sisi kepalanya lalu meremas helai heli helai rambutnya.
"Terus? Mending ga usah tulis. Bilang aja lupa." Dila memberi saran, meskipun ia tahu itu bukan saran yang baik. Setidaknya, Nata tak perlu bekerja lembur malam ini.
Gadis itu kembali mengambil ponsel. Ia mengerakkan jari jemarinya untuk kembali mengetikkan kata balasan. "Aku anak baru. Kalau ga aku serahin besok, kena poin nanti. Namaku jadi jelek deh."
"Sial." --Nata lagi-lagi menuliskan kata umpatan. Sumpah demi apapun, ia benci Rama!
"Emang."
"Harus besok?" tanya Dila kembali mengirim pesan.
"Banget."
"Jl. Kumparan 32, blok A."
"Itu apa?"
"Rumah Rama."
Nata diam sejenak. Ia hanya memaku, sembari menatap layar ponselnya. Kemudian gadis itu melirik jam dinding yang ada di sudut ruangan. Gila, ini sudah malam.
••• 100 Persen Itu Sempurna •••
--dan sialnya, di sinilah Nata berada sekarang. Kediaman Rama Aksa Megantara. Sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Dila.
Nata mengetuk perlahan pintu kayu di depannya. Ia ragu, barangkali nanti yang membukakan pintu adalah nyonya rumah beralis tebal dengan polesan lipstik merah menyala dan rambut sangul yang menandakan ia berada pada umur kepala lima. Yang akan berteriak dan memberi ribuan pertanyaan beruntun saat ia menyebutkan tujuannya datang untuk menemui anaknya yang brandal itu.
Atau kalau kalau mengerikannya lagi ada seorang gadis muda yang sedikit tua darinya. Berpenampilan seksi dengan baju kurang kain yang belum selesai dijahit. Aroma parfum semerbak menuju ke menyengat lubang hidunya. Penampilan rambut yang acak adul sebab berguling-guling diatas kasur bersama seorang pria muda yang sedang ia cari keberadaannya--Rama.
"Permisi." Suara lembut Nata menyela. Ia melirik di celah kaca hitam di sisi pintu. Tak ada siapapun. Benar. Kosong. Seharusnya saat Nata masuk ke halaman rumah dengan alas rumput hijau yang sedikit kotor itu, ia sudah paham. Rumah macam apa yang layak dihuni dengan halaman seperti itu. Lampu berkedap kedip karena sudah lelah akan tugasnya. Ah satu lagi, kursi berantakan yang berada di sudut halaman.
Nata sempat meragukan alamat lengkap yang diusulkan Dila sesaat ia keluar dari rumah tadi. Berulang kali Nata memastikan bahwa yang ada di depannya ini benar-benar rumah Rama. Ia akan marah besar kalau Dila menipunya malam ini.
"Rama?" Kembali Nata memastikan. Tapi tetap saja. Nihil.
"Pasti ke diskotik," ucapnya lirih.
"Ngapain?"
Nata menoleh. Tepat di belakangnya perawakan tinggi berbadan kekar berdiri tegap menutupi arah pandangnya.
"Gue tanya, ngapain?" Ia mengulang. Namun, dengan nada yang berbeda.
"Kamu abis ngapain?" tanya Nata balik. Sedikit gagap sebab terkejut dengan kedatangan Rama yang tiba-tiba.
"Susah jawab pertanyaan gue? Ngapain balik nanya." Rama menatap gadis itu dengan teliti. Pakaian yang khas ala anak muda rumahan kalau pergi keluar rumah. Setidaknya Rama tahu, Nata tak dari sekolahan atau tempat les langsung datang kemari. Sebab di rumahnya tak ada makanan apapun untuk menjamu seorang tamu.
"Kangen gue?" lanjutnya singkat. mendorong pintu kayu yang baru saja diketuk Nata.
"Ini rumah kamu?" Perlahan Nata mengikuti langkah Rama yang masuk ke dalam rumahnya.
"Tinggal sendiri?" lanjutnya saat Rama hanya diam mengabaikannya.
"Kok ga kerawat gini, sih? Kamu betah? Ga takut?" Kali ini Rama berbalik. Menatap gadis yang ikut mendongak menatapnya. Pantas sih, tinggi Nata hanya sebahu Rama.
"Siapa suruh masuk ke rumah gue?"
Nata memutar badan mungilnya. Lalu kembali memfokuskan sorot matanya ke arah remaja sebaya dengannya itu. Benar saja, ia tak menyadari satu hal. Ia sudah berada di ruang tengah rumah Rama. Tepatnya, tepat di depan pintu kamar remaja itu.
Nata tersenyum kuda. "Aku tunggu di depan kalau gitu."
Sebelum gadis itu benar berpaling darinya. Tangan Rama kuat menarik lengannya. Membuatnya kembali berputar menghadap ke arah Rama.
"Ga mau masuk sekalian?" godanya berbisik di telinga kanan Nata. Nata diam. Bisu. Benar-benar bisu. Sekarang yang terdengar hanya dentuman irama jantung yang seakan ingin meloncat keluar dari tubuhnya.
"Kamarku bersih, kok," lanjut Rama.
Sesegera mungkin Nata melepas genggaman tangan brandal itu. Menatapnya sekilas dengan tatapan mata yang sedikit tajam. Remaja ini sudah tak waras.
"Sinting!"
... Bersambung ...