Sementara Luna pergi ke luar untuk menemui Gino, Rafael tinggal di rumah bersama dengan Serra. Tunangannya itu memang menyempatkan untuk mengunjungi kekasihnya itu di sela pekerjaannya sebagai seorang Manajer Umum dari Hotel milik keluarganya.
Keduanya duduk-duduk di pondok taman. Saat Serra kembali menemani kekasihnya itu menekuni hobi baru sekaligus metode terapi yang diberikan dokter, yaitu melukis. Serra mengajak tunangannya itu berbicang walaupun seperti biasanya, Rafael cukup pelit memberikan minat dan perhatian kepada dirinya.
"Jadi bagaimana dengan asisten baru kamu itu?"
Di satu titik setelah lelah berbasa-basi, Serra akhirnya sampai di titik utama. Hal yang paling membuatnya penasaran belakangan ini, begitu mengetahui kalau Bertha mempekerjakan mantan kekasih Rafael secara diam-diam untuk memacu ingatannya.
Tak salah bukan kalau gadis itu merasakan penasaran? Tak aneh juga baginya merasa tak nyaman atau bahkan cemburu, bukan? Sepertinya semua wanita normal akan bereaksi seperti dirinya.
"Bagaimana apa maksud kamu?" tanya Rafael dengan nada yang datar. Tangan dan matanya masih sepenuhnya tertuju pada kanvas di depannya.
"Ya… apa saja. Tentang pekerjaannya. Apa dia benar-benar sehebat itu dalam bekerja. Hingga… mungkin cara dia bekerja dengan kamu. Apa kamu cocok dengannya atau tidak. Kamu puas dengan pekerjaannya atau tidak," kata Serra masih dengan sangat berhati-hati agar tidak terdengar terlalu penasaran.
"Bukankah terlalu cepat menilai hal tersebut? Karena baru juga sekali dia benar-benar mengabdi untukku."
"Ya… tapi kan kesan pertama itu tetap yang nggak kalah penting dalam sebuah pertemuan. Bukan begitu?"
Rafael tampak berhenti bekerja sejenak. Dia sedikit terdiam sambil memandang hasil lukisannya yang bahkan belum sepuluh persen dikerjakan. Sesuatu terlintas di benaknya.
Kesan pertama terhadap Luna, huh? Kenapa dia malah terdiam dengan pertanyaan ini? Sejujurnya memang tidak ada kesan yang menonjol terhadap gadis itu, malah sebenarnya Rafael merasa kalau dia tak sebagus yang tertulis dalam portofolionya yang sempurna. Entahlah, dia terlihat ceroboh dan kikuk saja dibanding sebagai seorang pekerja profesional yang katanya memiliki IQ dan keterampilan yang hebat.
Namun rasanya ada sesuatu. Ada hal yang membuat Rafael tak langsung mengusirnya dengan dingin seperti orang lain. Ada sesuatu yang membuatnya tak terlalu merasa terganggu dengan kehadiran wanita itu. Yang akhirnya membuatnya mau menerimanya dulu seraya menjadi seseorang yang dia butuhkan untuk mencapai keinginannya untuk dapat segera kembali ke perusahaan.
"Hei, kenapa kamu malah diam dan melamun?"
Rafael tersadar begitu mendengar teguran dari sang tunangan. Dipandangnya Serra yang tanpa dia sadari tengah harap-harap cemas menunggu jawaban dari pertanyaannya itu.
"Biasa saja." Rafael akhirnya menyahut begitu sambil melanjutkan pekerjaannya. "Aku memang masih belum melihat kemampuannya karena dia baru saja bergabung, namun yang jelas untuk saat ini aku membutuhkannya untuk dapat segera kembali ke perusahaan."
Serra terdiam. Harus diakui kalau dia tak terlalu menyukai fakta.
Masalahnya Rafael biasanya sangat dingin dan skeptis kepada hampir semua orang semenjak terbangun dari kecelakaan itu. Ia tak mudah menerima orang baru, apalagi kalau terlibat langsung dengan hidupnya. Tapi melihatnya memberi kesempatan pada Luna sedikit membuat Serra was-was juga.
Serra memang cemburuan. Karena dia mengalami banyak sekali pergolakan batin selama mereka berhubungan. Dari dulu Rafael terlalu dingin karena workaholic, lantas kemudian dia kecelakaan parah yang membuat pernikahan mereka tertunda, lalu sekarang amnesia dan berusaha disembuhkan oleh bantuan sang mantan kekasih. Apa salah baginya untuk merasa tak senang? Sekali lagi, dia yakin semua orang akan merasakan hal yang sama dengan dirinya.
Apalagi karena dia tak percaya kalau Luna akan ampuh membantu pengobatan Rafael. Karena menurutnya cara itu tak masuk akal sama sekali. Hubungan Luna dan Rafael telah berlalu lama, di mana mereka juga katanya hanya pacaran sebentar saja. Memang benar Luna adalah cinta pertama Rafael namun rasanya tetap saja faktor itu tak cukup untuk menyembuhkannya.
"Memangnya kamu beneran yakin untuk segera kembali ke perusahaan?" tanya Serra lagi tak lama setelahnya.
Pemuda itu hanya membalas dengan anggukan.
"Kamu yakin bisa menjalaninya dengan… keadaan kamu sekarang?"
"Itu sebabnya aku mempekerjakannya. Dia, Mama, dan semua orang bilang kalau kemampuannya sangat hebat terutama dalam mengingat hal. Kalau memang hal itu adanya, maka baru disanalah aku bisa benar-benar menilai kinerjanya."
Kalau masalah itu sepertinya tidak akan terlalu jadi masalah. Mengingat Luna dibantu oleh tim khusus dalam mengolah dan memberikan data yang Rafael butuhkan. Selama mereka siap dengan data yang mereka punya, serta Luna mampu menyampaikannya pada Rafael dengan meyakinkan, maka perannya sebagai asisten pribadi yang pintar akan mampu tersampaikan.
'Tapi sudahlah. Sungguh, aku sebenarnya memang tak menyukai rencana Tante Bertha ini. Aku juga cemburu sebenarnya. Tapi… ini mungkin bisa membantu Rafael dalam mendapatkan kembali ingatannya. Sehingga aku harus mendukungnya.' Namun tak lama kemudian Serra langsung mendesah pelan. 'Tapi… cara ini sangat berisiko. Sampai sekarang saja Rafael terus bersikap dingin karena tak mengingatku, sehingga bagaimana mungkin aku bisa tenang membiarkan ada wanita lain yang terus bersamanya. Bahkan walau hasilnya belum tentu Rafael mengingat kenangan mereka, terlalu sering bersama mungkin malah membuat mereka terikat dengan perasaan yang tak terduga. Ini yang aku cemaskan.'
"Tapi omong-omong… sekarang dia ada di mana? Kenapa aku tak melihatnya?"
Serra berusaha mengalihkan perhatian. Dia juga tak mau kalau Rafael menyadari ketidaknyamanannya ini.
"Tadi dia izin ke luar sebentar. Dia masih perlu mengurus beberapa hal sebelum pindah ke sini katanya. Mungkin mengambil pakaian atas sebagainya."
Serra terus ingin memeriksa. Seperti sekarang bagaimana Rafael memang masih dingin dan acuh terhadap Luna, dia berharap hal yang sama juga akan bertahan hingga dia sembuh nanti. Dia benar-benar tak ingin Rafael malah jatuh cinta lagi pada mantan kekasihnya itu, sehingga mengabaikan fakta kalau dirinya sudah terikat dengan Serra.
***
"Ternyata permen ini masih ada… walaupun sulit dicari."
Luna bergumam pelan sambil keluar dari sebuah mini market yang berada tak jauh dari tempatnya janjian dengan Gino tadi. Iseng-iseng dia ingin mencari merek lollipop bersejarah yang menjadi penanda pertemuannya dengan Rafael dulu. Yang syukurnya masih ada.
Kata kasir mini market dia lumayan beruntung. Karena di jaman sekarang permen itu sudah sulit dicari. Itupun juga kadang di stok lama. Mengetahui hal itu Luna jadi membeli semuanya.
"Tapi bagaimana caranya aku memberikan ini pada Rafael ya? Pertama, dia bukan tipe pria yang mau memakan hal ini. Kedua, aku mungkin akan disangka aneh dan tak jelas lagi kalau menunjukkan benda seperti ini di depannya. Karena dia terlalu serius dan prefeksionis, sehingga tentu saja… hal ini tak akan sesuai dengan konsep dirinya."
Tapi walaupun sulit Luna harus mengusahakannya. Karena ini saja baru tahapan awal. Dia yakin untuk ke depannya masih banyak rintangan dan kesulitan yang akan dia hadapi untuk menyelesaikan misi ini.
'Mari lakukan saja. Sebagaimana aku dibayar untuk melakukannya, mari lakukan semaksimal mungkin seperti pekerjaan lainnya. Just be a pro.'
Baru saja memikirkan itu Luna menghentikan langkahnya. Wanita itu lantas melayangkan pandangannya menuju timur dari tempatnya berdiri. Dari sini terlihat sebuah atap rumah sakit yang terletak cukup jauh, sehingga tampak sedikit kecil dari tempatnya berdiri.
'Kira-kira bagaimana ya keadaan Bapak dan Ibu. Aku ingin melihat dan mengunjungi mereka. Tapi tentu saja tak bisa… karena mereka tahunya aku telah terbang ke luar kota.' Luna menghela napas pelan sambil berusaha menghibur dirinya sendiri. 'Sudah. Jangan disesali. Malah seharusnya aku jadikan ini sebagai dorongan untuk semakin bekerja lebih keras. Semakin cepat aku membantu Rafael sembuh, maka semakin cepat juga aku bisa kembali pada mereka. Jadi jangan berkecil hati dan hanya terus berjuang. Semangat, Luna.'
***