Chereads / My First Love Has Amnesia / Chapter 25 - Awasi Mereka

Chapter 25 - Awasi Mereka

"Kenapa kamu lagi?"

Itulah sambutan yang dia terima dari Rafael begitu dia menampakkan diri di kamar pria itu. Di mana sang tuan muda tampak sangat segar karena baru ke luar dari kamar mandi. Rambut basah yang acak-acak, dengan piyama sutera di tubuhnya.

"Tadi pagi kamu datang untuk membangunkan saya. Sekarang malah membawakan makanan? Itu kan bukan tugas kamu."

Luna tampak memberikan senyuman semanis mungkin padanya.

"Karena saya memang ingin melakukannya, Tuan Muda. Sebagai seorang asisten pribadi, saya ingin melayani Anda dengan segenap hati di manapun serta dalam kondisi apapun."

Namun Rafael malah memberikan dengusan kepadanya. "Kalau kamu berpikir ini akan membantu saya dalam memberi penilaian terhadap kamu, kamu jangan mikir terlalu jauh. Karena pada akhirnya saya hanya akan menilai kamu untuk hal pekerjaan dan tugas kamu saja. Kamu akan tetap bekerja di sini kalau berguna, sehingga kalau tidak… siap-siap saja ditendang."

Luna menelan ludahnya tanpa sadar karena hal itu. Tak sepenuhnya bisa mengatasi kegalakan dan karisma sadis dari sang atasan.

"Saya tak berpikiran begitu kok, Tuan Muda. Saya benar-benar melakukan ini degan rela. Bukannya buat cari muka, tapi memang ingin melayani Anda. Karena saya bukan hanya asisten pribadi untuk tugas Anda di kantor, namun juga asisten pribadi yang akan melayani Anda dalam hal apapun."

"Jangan berlebihan saya tak membutuhkan hal seperti itu."

Namun walau terus mengatakan penolakan, Rafael langsung bergeser menuju sofa yang menurut Tita adalah tempat sang tuan muda menyantap makanannya. Dia tampak langsung duduk dan seperti mempersiapkan diri untuk dijamu.

"Ya sudah. Langsung bawakan saja di sini. Saya lapar."

"B-Baik, Tuan Muda. Silakan dimakan. Hari ini menu utamanya adalah… baked tuna steak yang menjadi salah satu makanan kesukaan Anda."

Luna sebenarnya tak paham kenapa Rafael menolak untuk makan bersama dengan kedua orang tuanya. Padahal bukankah hubungan mereka tampak baik-baik saja? Lagipula makan bersama adalah cara untuk satu keluarga bisa bertemu dan menuangkan pikiran? Mengingat semua anggota keluarganya adalah orang-orang sibuk semua.

Menepis pemikiran itu, Luna segera mengangkat baki berisi makanan yang dibawanya ke atas meja. Sesuai dengan saran dari Tita, dia meletakkannya dengan perlahan di depan sang tuan muda. Mulai dari nasi, sayuran, lauk, hingga minuman juga. Serta tak lupa… satu senjata rahasia yang menjadi alasan utamanya melakukan semua ini.

"Ini apa?"

Seperti dugaan, Rafael pasti akan langsung berkomentar. Dia memandang tanpa minat dua bungkus lollipop yang sengaja Luna sisipkan di antara makanan.

"Hm… ini… lollipop rasa mangga, Tuan Muda—"

"Saya tahu. Tapi kenapa kamu meletakkannya di sana? Apa gunanya."

"Hm… menghisap permen setelah makan mungkin bisa membuat Anda menjadi lebih rileks, Tuan Muda. Selain untuk membersihkan mulut dari sisa makanan, rasanya juga pasti akan bagus untuk meningkatkan mood. Begitulah menurut salah satu artikel di internet yang saya baca."

Astaga… mati.

Kenapa juga Luna menyampaikan hal yang acak dan tanpa dasar seperti itu? Bagaimana kalau Rafael bertanya sumber artikel dan sebagainya? Karena faktanya dia hanya mengatakannya dengan mengarang saja.

Namun ternyata Rafael tak mengatakan apapun. Dia hanya memandang datar benda itu dalam beberapa saat. Sukses membuat Luna menggigit bibir bawahnya gugup.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa dia melihat lolipopnya seperti itu? Jangan bilang… dia mulai dapat mengingatnya?"

"Singkirkan."

Luna sedikit tersentak ketika pria itu berseru.

"Benda seperti ini sama sekali tidak cocok dengan menu yang dihidangkan. Oleh sebab itu sebaiknya segera disingkirkan, daripada merusak pemandangan."

Menu makanan saja kok pakai alasan pemandangan segala.

"Tapi Tuan Muda—"

"Saya bilang singkirkan. Bagi kamu mungkin itu bukan sesuatu yang penting, namun bagi beberapa orang aestetik itu sangat diperlukan. Hal-hal seperti apa yang mereka lihat saat makan saja akan sangat mempengaruhi mood mereka. Di mana benda tak penting ini sekarang sangat mempengaruhi dan membuatku merasa sedikit kesal."

"Ya, Tuan Muda. Akan saya lakukan."

Tanpa diminta dua kali Luna segera mengambil dua bungkus benda yang sulit dicarinya itu, lalu dimasukkan ke dalam saku. Membiarkan Rafael mulai menyantap makanan dengan cara aestetik yang dia inginkan.

'Apa aku tak usah memakai permen saja ya? Mungkin cara ini tak efektif dan sulit?' Namun Luna langsung menggelengkan kepalanya. 'Tidak. Jangan pesimis dulu. Ini baru satu kali percobaan. Aku harus mencobanya beberapa kali dulu sebelum berubah pikiran dan mencari cara baru.'

***

"Bagaimana progress kerja asisten khusus itu sejauh ini? Apa ada hasil?"

Bertha yang tengah menyisir rambutnya tampak berhenti bergerak. Dilayangkannya pandangan menuju sosok sang suami yang telah duduk bersantai di atas tempat tidur mereka. Di mana pria itu selalu menyempatkan diri untuk membaca buku dulu sebelum menutup hari yang panjang ini dengan beristirahat.

"Ya… dia kan baru bekerja sekitar dua hari. Tentu saja… hasilnya belum terlihat," sahut Bertha tak lama.

"Sebaiknya terus awasi pekerjaannya. Kita sudah habis banyak uang dan waktu untuk hal ini, sehingga tak seharusnya gagal." Pria itu tiba-tiba berhenti memandang halaman buku. Lantas mengangkat wajahnya melirik sang istri. "Juga… pastikan agar hal-hal yang tak diinginkan terjadi selama dia bekerja. Kita mendatangkannya untuk menyingkirkan masalah, bukan untuk menambah masalah baru."

Bertha tampak sedikit mengenyitkan dahi mendengarnya. "Apa maksudmu, suamiku?"

"Pastikan mereka tidak menjalin perasaan atau hubungan yang tak seharusnya." Abraham menyahut cepat. "Karena dari awal kita sepakat kalau cara ini terlalu risky. Aku bahkan bisa melihat bagaimana Serra tak nyaman dengan semua ini. Kamu harus bisa menenangkannya serta memastikan kalau hal seperti itu tidak akan terjadi."

"Tch, tentu saja tidak. Mana mungkin. Aku bahkan telah menuliskan di dalam kontrak untuk anak itu."

"Pokoknya pastikan saja. Jangan sampai lengah. Karena yang perlu kamu awasi tidak hanya anak itu saja, tapi juga Rafael. Jangan sampai anak itu malah kembali jatuh cinta pada cinta pertamanya itu. Sehingga si asisten harus selalu berhati-hati dalam bertugas."

Bertha terdiam. Sebenarnya walau dia mencoba untuk tenang dan yakin, sesekali dia ragu juga apa Luna dan Rafael bisa menjaga hati dalam proses pengobatan ini. Karena memang ini terlalu berisiko untuk kedua orang yang pernah saling suka dan terpaksa dipisahkan itu.

Tapi lagi-lagi dia merasa yakin kalau mungkin hanya inilah cara untuk menyembuhkan putranya secepatnya. Agar ingatannya kembali terpicu, sehingga dapat sembuh seperti semula. Sebab menurutnya Rafael tak bisa sakit lebih lama demi dua perusahaan yang akan menjadi tanggungannya. Abraham Grup dan Raftech.

'Tapi suamiku benar. Aku harus bisa selalu jaga-jaga. Aku harus selalu memperingatkan Luna agar tidak berbuat hal-hal yang diluar batas, serta mengawasi setiap pergerakan mereka. Ini hanya soal pengobatan. Tak lebih, tak kurang.'

***