Chereads / My First Love Has Amnesia / Chapter 22 - Meminta Bantuan Gino

Chapter 22 - Meminta Bantuan Gino

"Tapi aku masih penasaran…." Gino bergumam lagi setelah beberapa saat. Dipandangnya Luna dengan lebih seksama. "Kenapa kamu mau melakukan semua ini? Terutama… karena aku tahu betul tentang bagaimana dulu buruknya perlakuan Bu Bertha kepada dirimu."

Senyuman miris langsung terlihat di wajah Luna. Gadis itu pun menyahut, "Karena apa lagi? Tentu saja… pada akhirnya aku melakukan semua itu demi uang."

Gino tampak terkejut setelah mendengar hal itu. Wajahnya langsung tak enak. "M-maaf, Luna. A-Aku benar-benar tak bermaksud untuk menyinggung perasaan kamu—"

"Aku nggak tersinggung. Aku paham kok kenapa kamu bertanya. Karena dulu sebelum menerima pekerjaan ini, tentu saja… hal itu juga menjadi salah satu pertimbangan yang paling besar dan berat bagi diriku." Luna jeda sejenak setelah mengatakan itu. Dia lantas melanjutkan, "Namun… pada akhirnya aku menerimanya. Bukan karena uangnya saja, namun aku juga merasa nggak perlu lagi berlarut-larut dalam masa lalu. Memang dulu aku tersinggung dengan perlakuan dan ucapan Bu Bertha terhadap diriku, namun… itu sudah masa lalu. Aku sungguh nggak menyimpan dendam sama sekali. Selain itu juga… aku penasaran dengan keadaan Rafael. Walau kami tak pernah bertemu atau berhubungan lagi setelah putus, namun tetap saja aku memedulikannya layaknya seorang teman lama. Aku tak tega mendengar keadaannya saat ini. Sehingga… itu sebabnya, kuputuskan untuk mengambil pekerjaan ini…. sebagai cara untuk membantunya juga. Tentu saja, semoga jalan ini memang sukses untuk membuatnya pulih."

Gino tak menyahut. Dalam beberapa saat, pemuda itu hanya terdiam mendengar penjelasan dari Luna. Memandang wajah sang gadis yang tampak sangat serius bercerita. Hingga tak lama kemudian Gino tersenyum kecil.

"Walaupun bertahun-tahun telah berlalu dengan segala kerumitannya, kamu ternyata tak terlalu berubah ya, Luna. Kamu masih saja sama seperti dulu. Masih pengertian dan baik kepada semua orang. Yah, dibalik sikap cerewet kamu tentunya."

Luna hanya balas tersenyum kecil mendengar pujian Gino. Memang benar, kalau dipikir-pikir dia dengan Gino dulu juga lumayan dekat. Karena Gino adalah sahabat Rafael yang selalu mendampinginya, maka tentu saja Luna juga sering bertemu dengannya. Sehingga itu juga yang mungkin jadi alasan baginya juga jarang bertemu dengan Gino selama ini. Karena walau mereka tinggal satu kota, kehidupan Luna dengan mereka berdua sangatlah berbeda.

"Tapi omong-omong sampai kapan kamu melakukan ini? Apa ada tenggat waktunya?" tanya Gino kembali melempar pertanyaan setelah beberapa saat.

"Hm… untuk saat ini tak ada pembahasan itu dengan Bu Bertha. Yang jelas, secepat mungkin aku harus bisa membantu Rafael mengingat dirinya dulu. Walau seperti yang kamu tahu… itu terasa sedikit sulit."

Gino menganggukkan kepalanya. Dia paham. Hal seperti ini pasti tidak akan mudah. Karena memang keadaan yang menimpa Rafael sekarang seperti sebuah misteri yang perlu untuk dipecahkan dengan cara yang begitu rumit juga.

Tapi walau begitu entah mengapa pemuda itu yakin kalau Luna bisa melakukannya. Karena paling tahu Rafael, dia paling paham kalau Luna memang merupakan wanita yang paling spesial yang pernah masuk ke dalam kehidupan sahabatnya itu. Sesuatu yang menurutnya memang tidak akan mudah lekang walau terlindas waktu.

Sementara di saat itu Luna teringat akan sesuatu. Gadis itu menggeser duduknya agak maju, lalu kemudian lanjut bertanya pada pria di depannya, "Tapi omong-omong... aku ke sini juga membawa pesan dari Bu Bertha buat kamu."

Gino mengangkat wajahnya dengan tertarik. "Pesan apa?"

"Beliau mau kamu bergabung dengan kami juga dalam misi ini. Karena menurut beliau, peran kamu bagi Rafael dan perusahaan adalah sesuatu yang sentral. Sehingga menurut beliau, kamu pasti akan sangat membantu kami – terutama karena Rafael bersikeras untuk segera kembali ke perusahaan."

Namun Gino tak langsung menyahut. Pria itu malah terdiam. Sehingga tentu saja hal itu membuat Luna menjadi sedikit penasaran.

"Kenapa kamu malah diam?" tanya Luna sambil memiringkan kepalanya. "Kamu… nggak mau ya?"

"Bukannya nggak mau, Luna. Aku hanya… perlu berpikir sejenak. Karena nanti hal ini bisa ketahuan, bukan? Rafael mungkin bisa saja menjadi marah dan tak suka saat semua orang membohonginya. Aku takut juga dikaterogikan yang sama, sementara dia sudah sangat mempercayaiku selama ini."

Luna terdiam. Senyuman tanpa sadar terlihat di wajahnya.

Di detik ini Luna juga merasa kalau Gino memang tak sepenuhnya berubah. Dari dulu, bahkan sejak sepuluh tahun yang lalu, dia tetap saja sama. Dia selalu menjadi teman yang paling setia dan mengerti dengan sang tuan muda.

"Tapi menurut Bu Bertha, walau sudah memiliki operator yang bersiaga selama 24 jam, tetap saja akan cukup sulit untuk menyimpan rahasia keadaan Rafael ini dari semua orang – terutama pihak perusahaan yang akan sering dia temui. Selain itu kami mungkin juga punya sedikit hambatan dalam mengumpulkan data yang diinginkan, karena kami tak terlibat langsung dengan perusahaan. Sehingga menurut Bu Bertha kamu adalah orang yang sangat tepat untuk posisi ini. Mengingat… kamu adalah salah satu orang yang tahu dengan kondisi kesehatannya Rafael."

Namun Gino kembali tidak mengatakan apapun. Dia hanya diam saja, sambil memasang wajah berpikir.

"Hm… atau… apa aku terlalu menuntut ya?" Luna mengubah nadanya menjadi sedikit kurang enak. Dia menggaruk belakang kepalanya canggung. "A-Aku tidak bermaksud memaksa lho, Gino. Aku hanya menyampaikan pesan dari Bu Bertha. Sisanya tentu terserah kamu apa mau menerimanya atau tidak."

Senyuman langsung terlihat di wajah pria itu. Dia juga menganggukkan kepalanya.

"Tentu aku paham. Kamu nggak perlu merasa tak enak atau sebaginya. Namun seperti yang kukatakan tadi, aku butuh waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu. Jadi tolong sampaikan hal itu kepada Bu Bertha ya, Luna."

Gadis itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Ya, tentu."

Kedua orang itu tampak saling tersenyum setelah itu. Apalagi Luna yang akhirnya bisa tampak lebih lega. Karena di tengah misi yang sulit dan membingungkan ini, di tengah desakan dari Bertha dan segala pihak, dia lega setidaknya ada orang seperti Gino yang benar-benar kenal dan paham dirinya. Untuk kedepannya mungkin dia akan sangat membutuhkan pria itu – baik dia bersedia untuk ikut bekerja sama atau tidak.

"Tapi bagaimana kamu akan melakukan misi kamu ini? Tentu saja… kamu harus punya taktik tersendiri, bukan? Mengingat kamu harus fokus juga dalam mendampingi Rafael, merangkap jadi asistennya, serta mendengarkan instruksi yang diberikan kepada kamu. Apa kamu sudah memikirkan apa yang akan kamu lakukan?" tanya Gino lagi memecah keheningan setelah beberapa saat.

"Hm… kalau boleh jujur aku belum punya strategi yang mantap karena aku belum sepenuhnya memulai. Tapi… aku beruntung karena dulu suka menulis diary dan masih menyimpannya sampai sekarang. Sehingga akhirnya itu menjadi senjata yang ampuh untuk aku andalkan dalam menyelesaikan masalahku ini."

Gino menganggukkan kepala. "Hm… aku memang nggak janji apa akan menerima penawaran dari Bu Bertha atau tidak, namun aku tetap salah satu orang yang menantikan saat Rafael bisa pulih. Jadi nantinya kalau ada apa-apa… kalau kamu butuh bantuan… kamu jangan sungkan untuk meminta padaku ya, Luna. Karena kalau aku mampu, aku pasti mengusahakan untuk membantu."

Luna tersenyum lebar padanya. "Benar ya? Ntar bisa kutagih lho."

***