Hari yang baru telah datang. Sebuah tanda bagi Luna untuk memulai hari kerja pertamanya sebagai asisten dari Rafael.
'Pergilah bangunkan dia ke kamar. Itulah perintah dari Nyonya Bertha,' kata pihak operator dari perangkat pendengar yang terpasang di telinganya.
"Huh? Membangunkannya ke kamar? Kupikir pekerjaanku hanya mendampingi keseharian atau pekerjaannya saja?" tanya Luna dengan bingung.
'Nyonya Bertha bilang kamu harus melakukan segala cara. Lagipula karena Mas Rafael belum sepenuhnya percaya sama kamu, maka kamu harus lebih aktif melakukan pendekatan agar beliau bisa lebih menerima kamu.'
Luna menganggukkan kepalanya paham.
"Tapi aku masih orang asing baginya. Apa tak apa-apa kalau aku tiba-tiba masuk ke kamarnya? Bagaimana kalau dia malah marah-marah?" tanya Luna masih meragukan banyak hal.
'Kamu tinggal bilang kalau Nyonya Bertha yang memerintahkan kamu. Sudahlah. Jangan bertanya lagi, ayo lakukan. Kalau bisa kamu harus bisa membuat Mas Rafael mau bergabung sarapan. Karena ternyata sejak sakit beliau selalu menolak bergabung makan dengan keluarganya. Itu juga adalah salah satu misi yang harus kamu penuhi.'
Lagi-lagi misi. Ketika Luna bahkan masih belum menemukan cara pasti untuk mengerjakan misi utamanya.
Namun walau begitu Luna menurutinya. Dia dengan cepat keluar dari kamar setelah merapikan pakaiannya. Lantas bertanya pada salah satu Asiten Rumah Tangga yang kebetulan lewat di depan kamarnya.
"Halo, saya boleh nanya nggak? Kamarnya Mas Rafael ada di mana ya?" tanya Luna pada wanita muda itu.
"Mas? Di sini Anda tak boleh memanggilnya begitu. Anda harus memanggil seisi pemilik rumah sebagai: Tuan Abraham, Nyonya Bertha, serta Tuan Muda Rafael," kata sang pelayan membenarkan ucapannya.
"T-Tuan muda?"
Seperti film-film barat saja. Tapi lagi-lagi Luna harus menyesuaikan dirinya.
"Ya, maksudku Tuan Muda Rafael. Kalau boleh tahu di mana kamarnya?"
"Kamar beliau ada di lantai satu di bagian paling kanan, Mbak. Di samping perpustakaan."
"Dikunci nggak?"
"Enggak, Mbak. Karena Tuan Muda Rafael memang harus dibangunkan setiap paginya. Jadi pintunya nggak dikunci biar pegawai bebas keluar masuk."
"Kalau begitu saya tinggal masuk, begitu? Pastinya harus mengetuk pintu dulu untuk masuk?"
"Tapi tadi sudah ada maid yang hendak membangunkan beliau, Mbak. Jadi sepertinya Mbak Luna nggak perlu repot—"
"Nggak bisa begitu." Luna menyela cepat sambil mulai berniat turun ke lantai satu. "Saya udah ditugaskan sama Nyonya Bertha. Saya bisa kena masalah kalau tidak melakukannya. Kalau gitu saya permisi ke bawah sebentar ya?"
Luna meninggalkan salah satu pelayan itu sebelum dia menyahut. Dengan cepat menuruni anak-anak tangga, lalu berpindah ke lantai satu.
Luna membuka pintu kamar yang dimaksud tadi dengan perlahan. Namun dilihatnya sudah ada salah satu wanita muda berpakaian khas ART di rumah ini yang tengah berusaha membangunkan Rafael di dalamnya.
'Yah, aku terlambat.'
Namun di saat itu Luna bertukar pandang dengan pelayan yang di dalam. Gadis itu lantas menggunakan berbagai isyarat agar diizinkan bertukar posisi dengannya. Pelayan itu tampak setuju dan menganggukkan kepala, sebelum akhirnya berjalan ke luar kamar.
"Terima kasih ya," bisik Luna pada wanita itu.
"Lain kali sebaiknya Mbak berkoordinasi dengan saya. Saya takut nanti Mas Rafaelnya marah kalau begini.'
Kenapa harus marah? Toh sepertinya sang tuan muda masih tidur enak di bawah kasurnya itu. Mana mungkin dia marah?
Namun walau begitu Luna kembali mengucapkan terima kasih pada si pelayan, sebelum akhirnya lebih memasuki kamar tersebut. Di tutupnya lagi pintu kamar sebelum mendekati tempat tidur. Di mana Rafael tampak masih bergelung di dalam selimutnya yang tebal.
"Selamat pagi, Tuan Muda Rafael. Ini sudah saatnya bangun."
Beberapa kali Luna sempat memanggilnya seperti itu, namun sang tuan muda tidak menunjukkan reaksinya sama sekali. Sehingga itu sebabnya Luna semakin mendekati tempat tidur. Dia lalu mendudukkan tubuhnya di tepian tempat tidur, lalu mengusap pelan sisi tubuh pria itu yang masih dilapisi selimut.
"Tuan Muda Rafael? Bangunlah."
'Astaga, apa yang kamu lakukan!'
Luna agak tersentak ketika petugas operator tiba-tiba berseru dengan dramatis.
'Baru ditinggal sebentar juga. Hey, kamu hanya boleh membangunkannya dengan memanggil namanya. Lancang sekali kamu sampai duduk di tempat tidur dan bahkan menyentuhnya.'
Gadis itu kalang kabut.
Bahkan melakukan ini pun tak boleh? Dia baru tahu itu.
Baru saja Luna hendak bangkit dan kembali berdiri, namun dia terkejut saat bertemu mata dengan Rafael. Pemuda itu tampak sudah bangun. Di mana matanya memberikan tatapan tak senang kepada Luna.
"Kenapa kamu duduk di sini?"
"H-Huh, m-maaf Mas… maksud saya… Tuan Muda."
Dengan sedikit panik Luna bangkit lagi dari sana. Sedikit membungkukkan badannya dengan tak enak.
"S-Saya benar-benar tak bermaksud lancang, Tuan Muda. Saya tadi salah langkah sedikit sehingga melakukan hal itu. Maaf kalau membuat Anda tak nyaman."
Rafael mulai bergerak bangkit. Di sanalah Luna menyari kalau pria itu tidur dengan bertelanjang dada. Saat dia duduk bersandar pada kepala tempat tidur, selimut melorot dari tubuhnya. Mempertunjukkan otot dada yang tidak terlalu kekar, namun tegap dengan alami.
'Woah… nice body.'
Luna ingin menampar dirinya sendiri. Namun dengan cepat menundukkan wajahnya. Sebelum dicap mesum begitu ketahuan soal apa yang dia lakukan barusan.
"Omong-omong kenapa kamu terlambat?" Rafael bersuara lagi tak lama setelahnya. "Tadi bukan kamu yang pertama masuk, bukan? Lalu kamu dengan seenaknya menyuruh pelayan yang tadi ke luar, sehingga pekerjaannya bisa kamu gantikan."
"S-Saya tidak seenaknya menyuruhnya keluar, Tuan. Tapi—"
"Jangan membuat alasan. Nyatanya kamu tetap terlambat ke sini. Apa para maid atau Mama tidak memberitahukan padamu tentang peraturan di rumah ini? Kalau seharusnya aku dibangunkan tepat di jam tujuh pagi. Jadi kamu harus berada di sini sebelum itu. Tapi lihat jam berapa sekarang." Rafael mengedikan kepalanya menuju weker di atas nakas. "Jam tujuh lewat delapan menit. Kamu membuang hampir sepuluh menit lamanya."
Tapi tunggu. Bukankah kalau dia tahu tentang semua itu, seharusnya dia sudah bangun sejak tadi? Tapi dia berpura-pura tidur begitu. Namun walau begitu Luna harus selalu ingat prinsip bawahan. Kalau dia harus selalu sabar, serta menerima tuduhan yang dialamatkan.
"Maafkan saya, Tuan Muda. Besok saya janji akan datang lebih awal."
Rafael lagi-lagi mendengus dengan bosan. Tak memberikan reaksi atas permintaan maaf dari Luna.
"Y-Ya sudah, kalau begitu bagaimana kalau sekarang Anda mandi, Tuan Muda. Lalu setelah itu kita ke depan buat sarapan—"
"Kamu bahkan memerintahku sekarang. Lancang sekali kamu."
Kata-kata Luna kembali tercekat, saat sang tuan muda memotong dengan nada dingin. "M-Maaf, Tuan Muda."
'Apapun yang terjadi kamu hanya perlu mengikuti setiap keinginannya. Kamu tak boleh memintanya melakukan apapun seperti barusan, karena jatuhnya menyuruh. Astaga, saya pikir hal basic begini saja kamu tahu. Tapi ternyata memang masih banyak yang perlu kamu pelajari.'
Kali ini giliran pihak operator yang mengomelinya. Luna kembali menghela napas berat dengan pelan-pelan di dalam dirinya.
***