Selesai sarapan, Rafael menyuruh bawahannya untuk menyiapkan mobil dan sopir yang akan mengantar mereka ke suatu tempat. Dia juga menyuruh Luna agar bersiap-siap untuk pergi dengannya.
"Tapi kita mau ke mana, Tuan Muda?"
Luna bertanya untuk mewakili petugas operator yang cukup agresif memintanya untuk mencari tahu. Karena seperti yang diketahui kalau keluarga Abraham sangat berhati-hati dalam menjaga rahasia Rafael yang sangat besar ini dari orang luar. Mereka tak ingin ada yang tahu soal kondisi anak mereka karena hal itu akan sangat mempengaruhi perusahaan keluarga serta perusahaan yang Rafael dirikan sendiri.
"Kamu jangan banyak bertanya. Ikut saja," sahut Rafael cuek sambil melirik jam pergelangan tangannya.
"Tapi, Tuan…."
Luna jadi serba salah. Baru hari pertamanya kerja di tempat ini, dia langsung merasakan kesulitannya. Siapa menyangka Rafael akan melakukan hal seperti ini? Bagaimana kalau semuanya langsung kacau tanpa bisa dilarang? Padahal ini baru hari pertamanya?
"Atau begini saja, Tuan Muda. Saya akan hubungi Nyonya Bertha untuk bertanya pendapat beliau dulu? Nantinya Anda juga bisa bilang pada beliau mau pergi ke mana—"
"Emangnya saya ini anak kecil?" Rafael memotong ucapan Luna lagi. Tatapannya sangat dingin memandang sang asisten baru. "Kenapa saya harus melapor tentang ke mana saya pergi? Kamu pikir saya nggak bisa sendiri? Atau… karena keadaan saya sekarang, kamu mikir saya orang bodoh yang nggak bisa ngapa-ngapain."
Luna langsung tergagap. "B-Bukan itu maksud saya, Tuan Muda."
"Kalau kamu mau terus bekerja di sini ikut saja. Atau kalau kamu nggak mau… silakan kamu angkat aja koper kamu dari sini. Apa gunanya asisten yang banyak omong dan nggak menurut sama saya?"
Mulut Liliana pun akhirnya bungkam. Dia tahu kalau tak bisa berbuat banyak kalau sudah begini.
'Ya sudah. Kamu ikuti saja dulu ke mana Tuan Muda akan pergi. Kami sudah menghubungi Bu Bertha dan mengatakan keadaannya. Nantinya kita laporkan saja terus perkembangannya kepada beliau.'
Pada akhirnya itulah yang dikatakan oleh pihak operator yang tersambung dengannya. Hal yang kemudian mengantarkan Luna untuk menaiki mobil yang digunakan oleh Rafael.
"Kita ke Raftech ya," kata Rafael begitu mereka sampai di dalam. Berhasil membuat kedua mata Luna melebar.
'Ke Raftech? Kenapa beliau tiba-tiba ingin ke perusahaannya? Semua orang di kantor tahunya beliau masih sakit sehingga belum bisa kembali. Akan seheboh apa kalau sampai tiba-tiba dia muncul di sana dalam keadaan sehat? Belum lagi… bagaimana kalau beliau tak mengenali bawahannya?' Sang operator kembali terdengar panik. 'Luna, sebelum terlambat… coba kamu halangi beliau. Usahakan agar Tuan Muda tidak pergi ke tempat itu. Sekarang!'
Argh, kenapa hal seberat itu harus dibebankan padanya? Kan tahu sendiri betapa keras kepalanya Rafael?
"Maaf, Tuan Muda. Tapi—"
"Kalau kamu masih banyak tanya dan melarang saya untuk melakukan hal yang saya inginkan, mendingan kamu turun. Kepala saya pusing mendengar kamu terus saja komplain."
Rafael kembali melirik ke arahnya, tajam dan penuh peringatan. Memintanya untuk memilih: mau ikut dan diam atau turun karena masih saja protes. Hal itu lagi-lagi membuat Luna harus mengendurkan seluruh urat di tubuhnya. Tersenyum kaku pada sang atasan.
"B-Baik, Tuan Muda. S-Saya tak akan komplain atau bicara apapun lagi. Jadi tolong… bawa saya bersama Anda."
Di sanalah baru Rafael mengalihkan pandangan lasernya tadi dari Luna. Lantas kembali berbicara dengan sang sopir yang sejak tadi dengan setia menunggu perintah dari sang atasan begitu mereka selesai berbicara.
"Ya sudah. Ayo jalan, Pak. Ke Raftech."
'Sekarang kita ikuti saja dulu keinginan beliau. Kami akan terus berusaha berbicara dengan Bu Bertha juga. Kamu selalu tunggu instruksi dari kami. Mengerti?'
Luna hanya menganggukkan kepalanya. Diam-diam kembali melayangkan pandangan kepada Rafael, yang tampak melayangkan pandangannya ke luar melalui kaca jendela. Dipandangnya jalanan yang mereka lalui dengan tatapan kosong.
'Kira-kira apa ya yang dia pikirkan. Dia pasti bingung banget dengan minimnya memori yang dia punya di kepalanya.'
***
Setelah perjalanan yang kurang selama dua belas menit, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Tepatnya adalah sebuah bangunan yang memiliki sekitar dua puluh lantai, yang berdiri di pusat kota.
'Jadi ini perusahaanku? Perusahaan yang kubangun dengan kerja keras dan keringatku sendiri… tanpa mengandalkan harta dan badan usaha dari orang tuaku?'
Sulit dijelaskan bagaimana perasaan Rafael saat ini. Sebelumnya dia hanya melihat tempat ini dari artikel di internet, sehingga dia tak menyangka kalau ketika dilihat langsung bentuknya akan semewah ini. Hingga tak heran dia merasakan kebanggaan di dalam dirinya sendiri.
Sementara itu Luna juga takjub sendiri. Sebenarnya karena tinggal di kota yang sama, dia cukup sering lewat ataupun melihat gedung ini. Hanya saja karena waktu itu tak dia perhatikan dengan jarak dekat, sehingga dia tak tahu kalau sebesar ini. Jadi cinta pertamanya dulu memang menjadi orang yang sehebat ini? Betapa sungguh jauh berbeda dengan keadaannya sendiri.
Mobil berhenti di depan pintu masuk utama perasaan. Luna dengan sigap ke luar dari mobil, lalu berusaha mendampingi Rafael yang turun dari pintu lainnya dengan bantuan sopir.
"Apa Anda yakin bisa berjalan sendiri, Tuan Muda. Atau… apa perlu dibantu?"
"Jangan berlebihan dan membuat kita mendapat lebih banyak perhatian. Kamu harus bersikap normal agar tidak terlihat aneh," omel Rafael padanya.
Luna lagi-lagi mengangguk dengan cepat dan tunduk. "B-Baik, Tuan Muda."
"Omong-omong… saya punya tugas baru buat kamu. Nanti kamu cari tahu dan kumpulkan semua nama petinggi di perusahaan ini, lalu kamu hapalkan segala detail penting soal mereka. Sehingga nantinya saya akan bergantung pada kamu soal informasi-informasi tentang mereka itu, saat diharuskan untuk terlibat pembicaraan dengan mereka."
Betapa sungguh melelahkan? Terutama karena Luna aslinya bukan seseorang yang bagus dalam hal akademik, sehingga menghapal merupakan salah satu kelemahannya. Namun untungnya dari awal Bertha sudah mengatakan untuk tidak mengkhawatirkan hal itu kepadanya. Karena semuanya sudah disiapkan dan dipercayakan pada para operator yang akan memantau setiap pergerakan mereka. Sehingga itu sebabnya Luna dengan lantang dan yakin menyanggupi ucapan sang Tuan Muda.
"Siap, Tuan Muda. Nanti sesampainya di rumah akan saya lakukan."
"Lakukan dengan benar dan cepat. Karena saya… mau kembali ke perusahaan ini secepatnya."
"B-Baik, Tuan Muda."
Sebenarnya bukankah memang hal itu yang diinginkan Bertha. Karena takut meninggalkan posisinya terlalu lama, wanita paruh baya itu akhirnya nekat menggunakan metode ini untuk menyembuhkan putranya. Namun masalahnya apa semua ini cukup untuk memastikan keamanan rahasia ini dari orang-orang? Apa hal seperti ini saja cukup untuk membuat orang-orang tak menyadari soal keadaan sang CEO yang sebenarnya? Luna berharap semoga semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya sampai dia menyelesaikan misinya.
***