Setelah merasa cukup berbicara, mereka pun bersiap untuk kembali pulang. Sebenarnya Rafael sempat berniat untuk melihat data saham perusahaan yang terbaru. Namun Gino beralasan akan mengirimkan lengkapnya dalam minggu ini ke rumah – seperti yang biasa ia lakukan selama menjadi Direktur sementara untuk Raftech. Masalahnya mereka khawatir dengan keadaan Rafael kalau dia dipaksa untuk berpikir terlalu berat dulu. Jadi Bertha yang memberikan kode itu secara diam-diam padanya.
Akhirnya setelah membujuk Rafael yang sempat bersikukuh untuk tinggal, mereka bangkit dari tempat duduk untuk pulang. Bertha yang tampak sangat mendesak putranya untuk segera pergi dari sana. Karena dia takut kabar kedatangan Rafael telah tersebar di perusahaan ini sehingga para pimpinan perusahaan akan datang untuk melihatnya. Padahal dia masih belum membuat persiapan untuk membuat Rafael mampu berbaur lagi dengan mereka. Dia dan tim operatornya perlu mengadakan banyak hal dulu sebelum benar-benar menempatkan putranya kembali ke posisi aslinya itu.
"Ya sudah. Kami pergi dulu ya, Gino. Teruslah awasi dan pimpin perusahaan ini… setidaknya sampai Rafael siap bergabung lagi dalam beberapa pekan," kata Bertha sebelum melewati pintu ke luar.
"Baik, Bu."
"Kamu jangan sungkan-sungkan untuk memberitahukan masalah apapun padaku. Kalau memang ada sesuatu yang terjadi pada perusahaan… kabari aku, oke? Aku benar-benar merasa kepintaranku masih utuh seperti dulu – walaupun aku nyaris tak ingat namaku sendiri," kata Rafael yang masih berat hati meninggalkan tempat itu.
"Nanti. Aku akan pastikan dulu kamu benar-benar siap untuk kembali sebelum melakukan semua itu. Masih ada beberapa minggu… pastikan dulu kesehatanmu sebelum memikirkan untuk kembali. Kursi kekuasaan dan perusahaan ini nggak akan ke mana-mana kok. Semuanya milikmu. Aku hanya menjaganya untuk sementara."
Luna tersenyum tanpa sadar. Bertahun-tahun berlalu, namun ternyata Gino masih sama setianya pada Rafael. Dulu waktu mereka sekolah juga begitu. Pemuda itu selalu setia membantu dan mendampingi anak konglomerat itu, bahkan kalau pada akhirnya dia juga harus terkena masalah karena harus menutupi kesalahan Rafael. Karakternya selalu sempurna, itulah kesan Luna terhadap dirinya.
"Punyaku dan juga punyamu. Kamu sendiri yang bilang kita membangun dan merintisnya bersama-sama. Jadi tentu saja kita akan menjaganya berdua."
Rafael mengatakan itu dengan wajah datar. Dia tak menyadari betapa sangat kerennya hal itu karena memang ada kejujuran yang tanpa dibuat-buat di sana. Pantas saja Gino langsung balas tersenyum sambil menepuk pundaknya.
"Yup. Yang penting sekarang kamu lebih memulihkan diri dulu. Aku bisa menunggu."
'Lama-lama terdengar romantis juga.'
Luna tersenyum tanpa sadar. Dari dulu dia selalu suka dengan persahabatan mereka. Dia yakin ini adalah jenis pertemanan yang tak akan pernah rusak oleh apapun juga – serta oleh siapapun.
"Ya sudah, Nak. Ayo kita pulang. Lagipula kan kamu harus segera makan siang dan minum obat kamu," kata Bertha yang tampak tak peduli dengan pembicaraan yang menurutnya hanya basa-basi itu. Wanita paruh baya itu telah menunggu di ambang pintu agar sang putra dan asisten barunya segera menyusul.
"Ya sudah. Aku pulang dulu. Pokoknya selalu kabari aku kalau terjadi apapun. Kamu punya nomor ponsel baruku, bukan?" kata Rafael sambil mulai berjalan ke arah ibunya.
"Pastinya. Pokoknya tunggu saja. Kalau aku nggak mengabarimu berarti memang tak ada yang penting."
Gino mengatakannya sambil tersenyum. Dia lantas mengalihkan pandangan pada Luna yang berjalan di belakang Rafael.
"Tapi Mbak Luna, tadi katanya kalian membutuhkan struktur organisasi yang lengkap dari perusahaan ini, bukan? Apa mau dibawa sekalian."
"U-Uh, ya…." Luna melirik Rafael yang telah bersama dengan Ibunya lagi. "Kalau Anda berkenan."
"Tunggu sebentar di sini ya. Sudah saya siapkan kok."
Gino kembali ke mejanya untuk mengambil sebuah map yang tadi dia minta pada sekretarisnya saat berbicara dengan Rafael dan rombongannya. Dia lantas menyerahkannya pada Liliana.
"Ini. Semoga bermanfaat ya."
"Y-Ya, Pak."
Namun Luna menyadari kalau di atas map berwarna biru itu ada selembar kertas. Luna membacanya dengan cepat.
'Ada yang ingin kutanyakan pada kamu soal semua ini, Luna. Ini nomor ponselku. Kalau kamu siap hubungi aku ya. Menurutku kita perlu bicara.'
Itulah yang tertulis di sana bersama dengan nomor ponsel yang tercatat di bawahnya.
Luna mengangkat wajahnya pada Gino, di mana pria itu memandangnya dengan datar sambil tersenyum samar.
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu ya, Pak. Selamat siang."
Luna dengan cepat tersadar, lantas segera menyusul Ibu dan anak yang telah ke luar ruangan lebih dulu itu. Menyisakan Gino yang sebenarnya tampak keheranan dengan semua ini. Dia masih merasa ada yang tidak wajar dengan kehadiran Luna di dekat Rafael, terutama saat Bertha juga berada dio antara mereka.
***
"Oh iya. Bagaimana bisa saya lupa? Karena Gino dan Rafael selalu satu sekolah sejak mereka masih SD, sehingga tentu saja kamu juga satu sekolah dengannya. Tentu saja kalian saling mengenal. Kenapa saya nggak kepikiran ya?"
Itulah respon Bertha ketika Luna menceritakan perkara Gino. Dia bahkan menunjukkan catatan yang tadi diberikan oleh Gino sebelum mereka meninggalkan Raftech.
"Kalau begitu kamu pergi saja. Kamu jelaskan padanya agar lebih gampang buat dia mengerti. Sehingga dia nggak perlu merasa heran lagi dengan keadaan ini. Toh, nantinya dia juga akan saya ajak untuk bergabung dengan kami. Dia pasti akan sangat membantu proses penyembuhan Rafael serta kembalinya dia ke perusahaan."
Luna menganggukkan kepalanya. Rasanya lega kalau Bertha telah mengizinkannya begini. Karena sejujurnya tadi dia sempat gugup kalau Bertha malah akan marah begitu mengetahui sedikit tragedy antara dirinya dan Gino yang tadi terjadi tepat di depan Rafael.
"Baik, Bu. Saya akan menemuinya. Tapi… kapan ya Bu lebih tepatnya? Masalahnya kan saya harus berhati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi Tuan Muda Rafael. Saya harus membuat alasan yang baik bukan, Bu?"
"Kamu pergi besok sore aja. Karena saat itu kebetulan saya nggak sibuk serta Serra akan datang berkunjung. Sementara hari ini… saya harus menemui para tim operator untuk membahas pembicaraan kita di kantor tadi."
Luna mengangguk dengan cepat. "Baiklah kalau begitu, Bu."
"Tapi bagaimana sejauh ini? Bukankah kamu sudah seharusnya mulai merangsang ingatan Rafael dengan apapun kenangan waktu kalian masih bersama? Apa sudah bisa dilakukan?"
"O-Oh, tentu saja saya sudah menyiapkannya, Bu. Saya saat ini menunggu instruksi dari Ibu untuk dapat melakukannya."
"Makin cepat makin bagus." Bertha mengangkat alisnya. "Memangnya apa yang akan kamu lakukan? Hal apa yang menurutmu bisa membantu Rafael untuk mulai kembali mengingat dirinya?"
Maka Luna pun mulai menceritakan langkah pertama yang akan dia lakukan.
***