Sang Marquess berdiri di depan jendela yang menghadap bukit dengan patung sang putri yang menjulang tinggi. Bulan purnama yang besar terlihat berada di belakang patung dan cahaya kemerahan yang terpancar menyinari wajah patung itu. Marquess Liere memandangnya sejenak kemudian berpaling ke belakang. Ia melihat Ernan berdiri di sampingnya.
"Kau bisa kembali ke kamarmu," ujarnya tenang.
"Tapi, Tuan…"
"Aku tidak akan berbuat apapun, aku cukup senang melihat gadis itu di sini."
Ernan mengangguk kemudian memberi hormat padanya. Kakinya melangkah keluar dari kamar Marquess. Tangannya menutup pintu ruangan dan ia berjalan menjauhi kamar itu sambil meraba kalung yang tersembunyi di balik bajunya. Ingatan akan rasa kepanikan, kemarahan, dan penyesalan yang dirasakan saat kehilangan kalung itu menghimpit hatinya. Seperti kehilangan arah ia mencari ke seluruh tempat yang didatanginya, termasuk tempat ia bertarung bersama Ana. Alhasil, tangan yang diharapkan memperoleh jawaban akan hilangnya kalung itu dalam keadaan kosong. Ia tidak menemukan apapun. Tubuhnya lunglai dan terduduk di tanah.
Ernan menghentikan langkahnya. Saat ini ia menghela napas lega. Wajahnya tersenyum dengan penuh syukur karena kalung itu sudah berada di genggaman tanganya kembali. Tubuhnya ternyata tak sadar berjalan mengarah ke taman di depan bangunan kamar Ana. Kepalanya mendongak ke atas melihat balkon itu. Rasa ingin melihatnya timbul di hatinya. Namun ,ia tidak ingin mengganggunya karena hari telah larut malam. Ana pasti telah terlelap. Segera dicarinya pohon yang paling terdekat dari balkon. Ia naik ke atas pohon yang berjarak dua kamar dari balkon. Matanya menatap jendela kamar Ana yang terbuka, tirai yang tertiup angin, dan cahaya temaram dari dalam kamar. Senyuman tipis muncul di wajahnya.
"Apa dia lupa menutup jendela? Dia bisa kedinginan," gumamnya perlahan dengan heran.
Tubuhnya melompat ke tepi bangunan yang dan berjalan perlahan menuju balkon di samping kamar Ana. Setelah melewati kamar itu, kakinya mendarat di balkon kamar Ana. Ruangan itu sepi dan hanya terdengar napas tenang Ana yang tertidur. Niatnya hanya menutup jendela kamar saja tetapi kakinya melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ia mendapati Ana yang tertidur nyenyak. Dengan wajah memerah yang malu akan perbuatannya sendiri tubuhnya berpaling dan keluar dan menutup jendela. Namun, Tiba-tiba gelombang angin yang hebat muncul di halaman bangunan kastil Marquess. Gemuruh yang dasyat dan lingkaran cahaya merah keluar dari tanah. Sosok makluk muncul dari dalam cahaya merah itu.
Bahaya! Insting Ernan berteriak dalam hati.
Saat itulah Ana merasakan kehadiran seseorang di dalam kamarnya dan terbangun.
Ia segera mengacungkan belatinya ke arah orang itu dan mendapati Ernan di hadapannya, menutup mulutnya mencegahnya berteriak.
"Stttt! Ini Aku."
"Aku tahu itu kau, apa yang kau lakukan di sini?" Ana mengerutkan alis matanya sambil melepaskan tangan Ernan dengan kesal.
"Ada bahaya, cepat bangun!" seru Ernan dengan tegas.
"Apa?" tanya Ana kebingungan. Namun, suara gemuruh yang dasyat kembali terdengar.
"Aku harus menyelamatkan Marquess!" Ernan mengeluarkan pedang dari ikat pinggangnya dan berlari melompat dari balkon terjun ke bawah. Ana segera memakai sepatu dan belati sudah di tanganya. Ia berlari ke arah balkon. Matanya terbuka lebar, mulutnya terngangga. Asap merah mengepul mengelilingi sosok monster besar yang berada di halaman kastil Marquess. Wajah monster itu tampak seperti manusia, bertubuh singa, memiliki sayap seperti kelelawar yang besar dan ekor seperti kalajengking.
******
Di puncak pegunungan tinggi yang di selimuti kegelapan malam, berdiri seorang lelaki berambut merah, memegang tongkat di tangan kanannya dan menatap lurus jauh di seberang pegunungan. Tatapan matanya mengarah ke kota Liere. Jubah hitam yang menutupi kepalanya tertiup angin dan memperlihatkan wajah dengan penuh seringai kejam tersungging di bibirnya. Lingkaran sinar berwarna merah muncul di belakang lelaki itu dan dua orang berjubah hitam tiba. Mereka menundukkan kepala menghormat padanya. Lelaki berambut merah itu melirik ke arah mereka sejenak kemudian merentangkan ke dua tangnya. Tongkat di tangan kanannya terangkat. Tekanan kekuatan yang dasyat keluar dari tongkat itu dan melingkupi mereka. Suara gemuruh terdengar dan tanah yang mereka pijak bergetar. Lingkaran cahaya merah besar dengan lima buah lingkaran kecil yang menggelilinginya segera melesat menuju kota Liere. Semakin mendekati kota sinar merah iru menghilang.
Lelaki berambut merah itu tersenyum puas, mulutnya tertarik memanjang hingga mendekati telinga. Suara tawa kegilaan menggema di pegunungan itu beberapa saat.
"Ayo kita lihat pertunjukan yang menarik," desis lelaki berambut merah.
Dua orang lelaki di belakangnya menganggukkan kepala dan merapalkan mantra. Perlahan-lahan muncul sinar kemerahan di tanah dan ketiga orang itu lenyap.
*****
Arlen dan Nazriel mengikuti orang berjubah hitam itu dengan berhati-hati. Mereka menyembunyikan aura kehadiran sehingga orang itu tidak merasa diikuti. Orang itu berjalan dengan keluar dari kawasan penginapan dan menuju jalan yang mengarah ke arah perbukitan. Kakinya melangkah dengan cepat melewati jalan setapak dan naik ke atas bukit. Setelah beberapa saat berjalan ia menghentikan langkah kakinya dan menegok ke sekelilingnya. Setelah dirasa aman, kembali ia berjalan keluar dari jalur jalan setapak dan menerobos pepohonan yang rimbun. Dicarinya lokasi yang aman dan tidak terlihat. Orang itu berdiri dan mulutnya mengeluarkan bisikan mantra perlahan Seketika, muncullah lingkaran hitam berpola simbol kuno di tanah, asap hitam dan cahaya hitam melingkupi orang itu dan lanyap.
Arlen dan Nazriel berlari ke tempat itu. Sisa kepulan asap hitam dan cahaya hitam perlahan-lahan memudar.
Arlen menatap sisa mantra teleportasi itu dengan wajah penuh kebencian dan dendam. Tanganya mengepal.
"Sihir hitam!"
"Yang Mulya, ini sudah jelas sihir hitam, kita harus menghentikan mereka." Nazriel menatap wajah Arlen.
Arlen hanya mengangguk kemudian mengulurkan tangannya menyentuh tanah dengan sisa mantra itu. Ia memejamkan matanya dan dari tangannya keluarlah sinar keemasan berpola rumit. Sinar itu semakin terang dan membentuk garis-garis dan titik-titik koordinat tempat tujuan orang pergi. Mata emasnya terbuka. Ia menarik tanganya dan bergumam, "Oh, kau ada di sana rupanya."
Sinar keemasan kembali keluar dari tanganya dan menyelimuti mereka berdua. Seketika, mereka lenyap dari tempat itu.
Orang berjubah hitam itu muncul di atas perbukitan tinggi. Ia berjalan dengan cepat dan melihat tiga orang berjubah hitam sedang berdiri di tepi tebing berbatu. Kakinya menghentikan langkah dan memberi hormat pada mereka. Orang dua lelaki yang berada di belakang lelaki berambut merah mengganggukan kepalanya sedangkan lelaki berambut merah bergeming. Ia tetap menatap pemandangan yang berada di depannya. Dari tempat itulah, ia bisa menikmati pertunjukan yang dinantikankannya lebih dekat dari pada puncak pegunungan sebelumnya.
"Tuan, dia sudah setuju melakukannya," Orang itu menjelaskan padanya.
Seringai puas memenuhi wajah lelaki berambut merah. Namun, tiba-tiba seringainya terhenti. Ia merasakan kekuatan yang hebat mengarah ke arah mereka. Sebuah kilatan cahaya menyerang mereka. Segera mereka berpencar untuk menghindarinya. Terlihat seorang pemuda berambut emas muncul di hadapan mereka.