Chereads / Anasthasia and the Golden Wizard / Chapter 35 - Red Moon (II)

Chapter 35 - Red Moon (II)

Arlen yang berambut panjang berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum. Senyuman sinis dengan tatapan mata yang dingin seakan ribuan pedang es siap menghunjam mereka.

"Wah, wah, apa yang kita temukan di sini, Nazriel? Anjing pengikut sihir hitam!" Arlen berpaling ke belakang dan menambahkan, "Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kalau kita tangkap dan siksa mereka?"

Nazriel yang muncul di belakangnya langsung mengangguk setuju. Raut wajah keempat penyihir yang ada di depannya mengeras dan merah padam menaham amarah. Lelaki berambut merah menyipitkan mata dengan pandangan yang ingin menerkam Arlen. Bibirnya tertekuk melengkung ke bawah dengan penuh kebencian. "Golden Wizard," geraman lirih keluar dari mulutnya.

Lelaki berjubah hitam yang diikuti Arlen berteriak dengan berang.

"Bocah arogan sialan! Ku robek mulut busukmu!" hardiknya sambil mengangkat tangan dan keluarlah asap hitam menyerang Arlen dan Nazriel. Pandangan mata Arlen tetap santai. Tanpa beranjak selangkah pun, ia bergeming. Nazriel sudah berada di depan Arlen untuk menangkis serangannya. Cahaya biru kehijauan yang keluar dari tangan Nazriel menghapus asap hitam yang menyerang mereka.

Arlen menyeringai mencemooh mereka. "Oh, aku tak merasakan apapun."

Melihat ekspresi wajah menyebalkan Arlen, para penyihir hitam itu mendidih. Ketiga penyihir berjubah hitam secara bersamaan mengangkat tangan mereka dan menyerang, sedangkan lelaki berambut merah menghentakkan tongkatnya ke tanah. Sinar berwarna merah kehitaman keluar dari kristal yang berada di ujung tongkat itu dan memenuhi udara sekitar mereka. Oksigen di udara menjadi tipis dan berat, bau menyengat tercium, puluhan lingkaran merah bermunculan di tanah serta tangan-tangan keluar dari dalamnya. Sosok makhluk seperti manusia yang hanya terbuat dari tulang belulang dan berlendir merangkak keluar lingkaran sambil mendesis. Lelaki berambut merah menarik bibirnya memanjang sehingga membuat senyuman puas yang menakutkan.

"Hahahahaha, mampus kau, Golden Wizard!"

Arlen mengerutkan alisnya dengan rasa jijik sambil bergumam, "Aku berubah pikiran, aku hanguskan kalian semua."

Puluhan pasukan tulang belulang menyerang Arlen sambil memekikkan suara serak dan desisan. Arlen mengangkat tangannya dan bola-bola api yang besar muncul dari udara yang kosong, menghantam dan membumihanguskan pasukan itu. Suara ledakan memenuhi tempat itu. Bola-bola api yang menyentuh tanah menjadi lidah api yang memenuhi permukaan tanah dan menyapu sisa-sisa lingkaran mantra pemanggil. Saat lelaki berambut merah terkejut melihat pemandangan di hadapannya, sebuah bola api besar mengarah padanya. Dengan sigap ia mengayunkan tongkatnya menangkis bola itu. Tekanan kekuatan yang diterima membuatnya mundur beberapa langkah dan asap mengepul di sekitar tubuh lelaki itu.

Ketiga penyihir lainnya mengeluarkan sinar merah kehitaman berbentuk panah yang menyerang Nazriel. Namun, Nazriel membuat sihir pelindung yang menyelimuti tubuhnya. Sebuah kubah berwarna biru kehijauan melingkupi tubuhnya dan menangkal semua serangan dari penyihir itu. Saat kubah pelindung itu menghilang, Nazriel merentangkan kedua tangannya dan segera pusaran angin topan menggulung para penyihir itu masuk ke dalamnya dan menghantamkan tubuh mereka ke pepohonan hingga roboh. Nazriel tersenyum dan berdiri dengan tenang. Ketiga penyihir hitam itu berusaha berdiri kemudian mengangguk ke arah mereka masing-masing. Dengan cepat mereka terbang melayang-melayang mengepung Nazriel dan sinar gelap kemerahan muncul dari tangan mereka membentuk pola segitiga yang tersambung ke tangan yang lain. Munculah sulur-sulur berwarna hitam dari dalam tanah dan membelenggu tubuh Nazriel. Mata Nazriel terbelalak kaget tetapi sulur itu mengikatnya dengan erat. Ia tak berkutik dan cahaya kemerahan merambat mengikuti sulur dan memberikan rasa sakit yang luar biasa bagi Nazriel. Seakan ratusan pedang menusuknya. Nazriel mengerang kesakitan.

Arlen yang mendengar teriakan Nazriel berpaling dan segera mengangkat tangannya, mengeluarkan sinar keemasan ke arah ketiga penyihir hitam dan berhasil mengenai salah seorang diantaranya. Penyihir itu terpental jauh. Lelaki berambut merah yang melihat kesempatan itu tersenyum dan mengarahkan tongkatnya mengincar Arlen. Secepat kilat sinar merah keluar dari kristal di tongkatnya dan suara ledakan dasyat menghantam Arlen. Tangan Arlen bersilang menghadang ledakan itu.

"Kena kau bocah!" seru lelaki berambut merah sambil tertawa bahagia melihat serangannya berhasil mengenai Arlen. Baju yang dikenakan Arlen tersobek-sobek dan asap hitam keluar dari tubuhnya. "Khe, khe, khe…" tawa kepuasan yang menjengkelkan keluar dari mulutnya yang mengejek Arlen.

Arlen menyadari jika para penyihir yang ia hadapi memiliki level yang tinggi, tetapi tidak cukup untuk mengancam jiwanya seperti yang pernah ia alami di wilayah pegunungan dekat kota Wayshire. Matanya melirik ke arah Nazriel yang kesakitan kemudian tangannya menyentuh goresan luka di pipinya dengan ekspresi wajah yang dingin.

"Oh, aku marah sekarang," gumamnya perlahan.

Tiba-tiba ribuan pedang es memenuhi udara di tempat itu, di sekeliling Arlen, di atas kepala lelaki berambut merah. dan tiga penyihir yang menyerang Nazriel. Mata para penyihir hitam itu melolot dan mereka terkejut.

"Blar…!"

Ribuan pedang es menyerang mereka dan membuat suara ledakan yang dasyat. Segera kabut es menyelimuti tempat itu. Arlen berdiri memandang kabut es yang perlahan-lahan mereda. Nazriel terlihat keluar dari dalam kabut dengan tertatih-tatih kemudian berjalan menghampirinya. Arlen memandangnya dengan prihatin. Tentu saja ia tidak mengarahkan pedang es padanya tetapi pertarungannya dengan tiga orang penyihir pastilah cukup merepotkan baginya.

"Kau baik-baik saja, Nazriel?"

"Ya, Yang Mulia, tapi mereka kabur."

Arlen memandang lokasi tempat mereka bertarung. Keempat penyihir itu sudah tidak ada. Terlihat ceceran darah di tanah di tempat ketiga penyihir dan lelaki berambut merah serta serpihan-serpihan sisa kristal berserakan. Asap hitam keluar dari sisa kristal kemudian menguap. Bekas pertempuran hebat merusakkan pepohonan dan struktur tanah di sekitar tebing. Sinar bulan purnama yang berwarna merah menerangi wajahnya. Arlen memandang sekitar tempat itu dan menghela napas kesal. Ia merentangkan tangannya dan memulihkan tempat itu.

*****

Angin berhembus kencang dan debu bertebaran di udara. Rambut hitamnya berkibar, matanya terbelalak melihat monster besar yang berada di halaman kastil Marquess Liere. Monster itu berbeda dengan monster yang menyerang kotanya. Meskipun monster yang di hadapannya hanya satu, tetapi tubuh besarnya membuat siapun yang melihat akan tertegun. Keberadaannya membuat tubuh Ana bergetar. Amarah dan rasa getir ingatan akan kotanya yang hancur melingkupi kalbunya. Ana segera berpaling dari balkon dan berlari keluar kamarnya. Kakinya menuruni tangga dengan cepat melewati setiap lantai. Di lantai dasar, ia berpapasan dengan para pelayan yang ketakukan berlarian menuju pintu keluar dari bangunan itu. Matanya tak sengaja memandang Lucy yang berlari tergesa-gesa dengan wajah yang pucat. Saat berlari, kaki Lucy tersandung dan terjatuh di lantai.

"Lucy!"

Ana segera menghampirinya dan mengajaknya bangkit berdiri. Lucy menyambut tangan itu dan mereka berlari bersama dengan para pelayan yang lain keluar dari bangunan menuju tempat yang aman.

Suara derap ratusan prajurit dari segala penjuru kastil berlari ke halaman depan dan membuat barikade kubu pertahanan. Semua mata prajurit menatap lurus ke arah monster dengan pandangan tak percaya. Mata mereka melotot seakan keluar dari tempatnya dan rasa ketakukan merayap di hati mereka.

"Mo… Monster?!"

"Si… sihir hitam?!"

"Tidak mungkin!"

Seruan tak percaya keluar bersahutan dari mulut mereka. Tak pernah terbayangkan bagi mereka jika seekor monster yang besar akan muncul. Sejarah peperangan kuno menyatakan monster dan para penyihir hitam telah dimusnahkan dalam perang besar gabungan antara manusia dan makhluk kuno. Namun, di hadapan mereka saat ini muncul monster yang hanya mereka dengar dari cerita masa kecil atau dalam buku-buku sejarah kuno. Keringat dingin mulai menetes dari pelipis para prajurit. Ernan berlari ke arah mereka dan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

"Apa yang kalian lakukan?! Kita para ksatria! Serang!!"

Teriakan Ernan menyadarkan mereka dari belenggu ketakukan mereka. Tubuh Ernan menerjang melewati para prajurit dan melesat menuju monster itu. Sang Moster yang mengetahui ada makhluk kecil yang menghampirinya segera mengepakkan sayap. Ernan mendunduk menghindari hempasan sayap dan berguling ke arah kaki monster. Tanganya mengayunkan pedang dan menebas kaki monster itu. Cairan berwarna hitam keluar dari luka memanjang di kaki monster. Sang monster kesakitan. Suara erangannya memekikkan telinga. Aksi solo Ernan membakar api keberanian para prajurit. Kapten prajurit yang berusia paruh baya mengencangkan tangan dan mengangkat pedangnya sambil berteriak,

"Serang!!!"

Ratusan prajurit yang merasakan semangat bertempurnya kembali, berlari dan menerjang ke arah monster. Monster itu mengibaskan sayapnya dan menyapu para prajurit yang berdatangan. Hembusan angin yang kencang oleh kibasan sayap membuat puluhan prajurit terpental menjauh dan menghantam tembok. Sang monster mengayunkan cakarnya ke arah prajurit dan memukul tepian tembok kastil. Bagian tepi kastil runtuh.

Marquess Liere melihat tak percaya pemandangan di hadapannya melalui jendela kaca di puncak kastil. Getaran bagian kastil yang roboh dan suara runtuhan terdengar dengan jelas di telinganya. Pintu ruangan tempatnya berdiri terbuka lebar. Seorang lelaki berbaju coklat yang selalu membawa berkas dokumen tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Tuan, mari kita berlindung," ajaknya.

Sang Marquess mengangkat tangannya. Wajahnya mengeras menatap geliat monster yang dengan kejam menghabisi pasukannya. Matanya yang telah sayu karena usia dan kelelahan yang dirasakannya seketika membara. Sorot mata penuh pertempuran memancar. Ia mengepalkan tangannya.

"Tidak! kita hancurkan monster itu!"

Segera Marquess memakai baju besi perangnya dan berjalan keluar dari ruangan itu. Pasukan pengawal yang ada di dalam kastil menghadap dan memberi hormat.

"Siapkan pasukan panah!"

"Baik, Tuan!"

Pengawal itu mematuhi perintah tuannya dan segera menyiapkan pasukan. Marquess berjalan ke arah bangunan kastil yang paling tinggi. Ia berdiri kokoh dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. Matanya menatap tajam monster itu. Pasukan pemanah memenuhi sepanjang bagian atap kastil dan bersiap. Marquess mengangkat tangannya dan suara perintah yang menggelegar terdengar di telingga para pasukan.

"Panah!"

Para pasukan meluncurkan ratusan anak panah dan mengenai tubuh monster itu. Sang monster memekik kesakitan dan mengamuk. Tangannya menyambar para pasukan dan membentur tembok sehingga tembok kastil bagian depan runtuh. Kepala monster itu mendongak ke atas dan matanya menatap ke arah Marquess dengan bengis. Monster itu mendundukan tubuhnya dan mengepakkan sayap kelelawarnya bersiap akan terbang menyerang Marquess. Hembusan angin dasyat dari kepakan sayapnya kembali membuat para prajurit terpental. Ernan yang terpelanting dan membentur tembok, segera berusaha bangkit berdiri. Rasa sakit dari luka yang dialami di seluruh tubuhnya tidak ia rasakan. Matanya menatap nanar ke arah pasukan yang berjatuhan dan tercerai berai. Ia kembali menatap sang monster yang bersiap terbang menuju Marquess dan berlari mencegahnya.