Chereads / Anasthasia and the Golden Wizard / Chapter 18 - Bab 18. Encounter With You (III)

Chapter 18 - Bab 18. Encounter With You (III)

Ana melangkah kakinya memasuki ruangan itu. Di dalam ruangan itu terdapat meja panjang yang terbuat dari kayu. Warna meja itu berwarna coklat gelap, sama dengan warna dari semua meja dan kursi yang berada di ruangan itu. Tidak ada hiasan apapun di dinding. Hanya garis-garis di dalam batang kayu itulah yang menghiasi dinding ruangan seperti bilur-bilur jalur hujan yang turun. Ruangan itu penuh sesak dengan orang-orang yang sedang makan dan minum sambil bercanda riang. Rupanya tempat itu merupakan tempat makan yang memiliki fasilitas penginapan di lantai dua. Seorang wanita tua yang membawa nampan berisi gelas kayu yang besar menghampirinya.

"Ada yang bisa ku bantu?"

Ana berpaling dan menatap wanita tua itu.

"Aku ingin memesan sebuah kamar untuk menginap."

"Kau sendirian?"

Wanita itu menatapnya dengan heran. Di dalam pikiranya, seorang gadis remaja memesan kamar untuk menginap seorang diri tanpa didampingi oleh orang tua dan membawa tas ransel besar di punggungnya. Wanita tua itu tersenyum lembut dan mengajaknya menuju meja panjang di tengah ruangan. Ana mengikutinya.

"Mau yang jenis kamar apa?"

"Berikan aku kamar yang paling murah."

"Harganya 50 ditra permalam sudah termasuk sarapan pagi. Mau berapa malam?"

Ana tersenyum dan membuka tasnya. Dikeluarkannya uang 50 ditra dan diletakannnya di meja.

"Satu malam," ujarnya singkat.

Wanita tua itu mengangguk. Tangannya menunjuk sebuah tangga di sudut ruangan.

"Kau bisa naik ke atas lalu berbelok ke kiri. Pintu kamar nomor 3."

Wanita itu menyerahkan kuncinya dan Ana menerimanya.

"Apa aku bisa mendapatkan minuman hangat dan satu baskom air hangat?"

"Tentu saja."

"Terima kasih."

Setelah Ana mengucapkan terima kasih, ia berjalan melewati ruangan yang penuh dengan orang-orang yang sedang makan dan menuju sudut ruangan. Wanita tua itu memandang tubuh Ana yang menjauh sambil membuang napas. Dia menggelangkan kepalanya prihatin dan bergumam lirih, "Sekarang semakin banyak saja anak remaja yang kabur dari rumah."

Tanpa tahu apa yang terjadi wanita tua itu menghakimi orang yang ditemuinya hanya dengan melihat penampilan dari luar. Orang terkadang memang mengambil kesimpulan yang salah. Namun, Ana tidak peduli yang dipikirkan orang-orang saat melihatnya. Kakinya melangkah menaiki tangga, menyusuri balkon, dan menemukan kamar yang dicarinya. Tubuhnya terasa lengket dan rasa dingin ia rasakan, meskipun baju yang dikenakannya mulai mengering. Dibukanya pintu kamar itu kemudian menutupnya. Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya ada satu tempat tidur berukuran kecil dengan sprei yang usang dan sebuah meja di sampingnya. Benar-benar penginapan sesuai dengan harganya.

Ana menghela napas panjang. Tas ranselnya terjatuh. Badannya merosot bersandar di pintu. Tubuhnya gemetar. Bukan hanya kedinginan yang ia rasakan melainkan ketakutan. Teringat saat ia tenggelam dan kesadarannya mulai hilang, rasa ketakukan dan putus asa merayap ke seluruh tubuhnya. Terbersit bahwa hidupnya akan berakhir saat itu. Namun, segera ia menggelengkan kepalanya dengan kuat untuk membuang jauh-jauh pikiran itu. Perlahan-lahan seiring berjalannya waktu gemetar di tubuhnya menghilang. Yang penting saat ini, ia masih hidup.

Tok… Tok…!

Ana melihat ke arah pintu dan berjalan. Tanganya memegang knop pintu dan membukanya. Berdiri seorang lelaki tua yang membawa nampan dengan gelas kayu berisi air hangat. Di bawah tubuh lelaki itu terdapat satu baskom air hangat di lantai. Setelah mengucapkan terima kasih pada lelaki itu, ia membawa nampan ke dalam kamar dan meletakkannya di meja. Ia kembali ke pintu depan dan membawa baskom air itu ke dalam kamarnya. Ditutupnya pintu dan tak lupa menggeser kunci selot kayu di kamarnya. Diminumnya air hangat itu dan membasuh tubuhnya. Setelah berganti dengan pakaian yang bersih, rasa lega dan aman memenuhi hatinya. Yang dibutuhkannya saat ini adalah tidur. Ia pun tertidur lelap.

Arlen memandang ke sekeliling kamar itu dan terduduk di tempat tidur. Raut wajah frustasi terlihat dengan jelas.

"Apa yang sebenarnya aku lakukan di penginapan ini?"

Seekor burung elang berdiri di atas meja dan berpaling padanya, "Bukankah Yang Mulia akan mengamati gadis itu sejenak?"

Arlen mengangkat wajahnya, melihat Nazriel dengan pandangan tidak senang kemudian menunduk kecewa.

"Kau benar, aku hanya ingin tahu apa yang dilakukannya di luar Kota Wayshire? Kenapa dia tidak berdiam saja di kota itu? Merepotkan!"

"Mungkin mengunjungi saudara jauh. Apakah Yang Mulia ingin aku mencari tahu hal itu?"

Ia mengangkat tangannya pada bawahannya.

"Tidak perlu! Oh, lihatlah, aku sudah meminta kamar yang paling mahal di penginapan ini tapi tetap saja masih mendapatkan kamar seperti ini," serunya kesal.

Ia membentangkan kedua tangannya di ruangan itu. Ruangan itu berukuran cukup besar dengan tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan. Sebuah meja di sisi kanan tempat tidur dan alamari berada di sebelahnya. Di sudut ruangan terdapat sebuah kamar mandi. Arlen menghela napas. Sebenarnya, ia sudah mengetahui jenis kamar yang tersedia di penginapan itu. Karena suatu misi beberapa tahun yang lalu, menyebabkannya harus menginap di penginapan itu. Ia juga bisa mengawasi gadis itu dari jauh menggunakan cermin sehingga tidak perlu berada di dekatnya. Namun, rasa ingin mengetahui tujuan gadis itu memenuhi hatinya.

[Sementara ini, aku hanya mengamatinya sejenak, jika sudah selesai, aku bisa segera teleportasi ke ibu kota,] pikirnya.

Lamunannya buyar saat Nazriel dalam bentuk burung elang menatapnya.

"Apa?" tanyanya heran.

"Kau terlihat tampan dengan rambut pendek, Yang Mulia," ujar Nazriel.

"Apa kau ingin mati?"

Arlen mengernyitkan alisnya kesal. Rambut panjangnya memang diubah menjadi rambut pendek dengan sihirnya. Nazriel hanya tertawa kecil kemudian terbang menuju jendela. Ia menggeser jendela dengan kaki burungnya dan keluar terbang ke angkasa. Ia akan menjaga tuannya dari luar. Arlen hanya bisa membuang napas kesal.

Keesokan harinya saat matahari mulai meninggi mata Ana terbuka. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan mencuci wajahnya. Bunyi dari perutnya pun terdengar nyaring hingga membuatnya mengerutnya alis. Rasa lapar pun mulai memenuhi perutnya. Diambilnya tasnya yang berada di lantai dan ia keluar dari kamar. Saat keluar dari kamar ia berpapasan dengan seorang wanita yang cantik keluar dari samping kamarnya. Rambutnya bergelombang berwarna coklat kemerahan, bajunya berwarna hijau dengan model sederhana tetapi terlihat elegan dengan ikat kepala melingkar di kepalanya. Busur dan panah berada di lengannya memperindah penampilannya, seakan keanggunan dan ketangguhan berada di dalam dirinya.

Wanita itu menoleh dan tersenyum saat mengetahui bahwa Ana memperhatikannya. Ana tersadar dan membalasnya senyumannya. Ia melangkahkan kaki menuruni tangga dan memesan sebuah sarapan pagi sambil menyerahkan kunci kamarnya. Suasana pagi itu tetap ramai dan ceria. Ana duduk di dekat pintu keluar sambil menunggu makanan yang dipesannya. Wanita berbaju hijau itu menghampirinya dan duduk di depannya.

"Kursi ini kosong?"