Pemilik penginapan itu meminta maaf pada Ana sambil tersenyum. Ana memandang ke arah langit yang mulai gelap.
"Sudahlah," ucapnya singkat kemudian melangkah menjauhi tempat itu. Sang pemilik penginapan yang terdiam tiba-tiba seperti teringat akan suatu hal. Ia berseru padanya, "Dalam waktu dekat akan ada festival purnama, banyak atraksi yang menarik, jangan sampai terlewatkan!"
Ana menghentikan langkahnya dan berpaling. "Benarkah?"
Pemilik penginapan itu mengangguk dengan bersemangat. Ana terlihat berpikir sejenak dengan penuh keraguan.
"Akan ku pikirkan."
Ia berpaling kembali dan melangkahkan kaki menuju kamarnya. Tujuannya ke kota itu bukan untuk berwisata tetapi pasti pemilik penginapan mengira demikian. Ana menghela napas. Sampai di kamarnya, tubuhnya langsung direbahkan di kasur. Ia termenung sejenak sambil menatap langit-langit. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat tidur dan langsung mengambil tas ranselnya, mengeluarkan peta yang ada di dalamnya dan membentangnya di tempat tidur. Jarinya menyelusuri peta itu. Ia menunjuk Kota Liere, kota tempatnya singgah saat ini. Tangannya bergerak kembali menunjuk kota lainnya, Kota Amartha, Brusea, dan akhirnya ibu kota, Kota Emerald. Masih beberapa kota lagi hingga sampai di ibu kota. Alis matanya berkerut. Petunjuk yang diucapkan Mr. Rupert hanyalah mencari informasi dari perpustakaan paling tua di ibu kota. Selain itu tidak ada hal apapun lagi.
[Apakah mungkin ada petunjuk di kota yang lain?] pikirnya.
Ia berpikir mungkin ada petunjuk walaupun kecil selain di ibu kota. Tidak ada salahnya mencari tahu hal itu. Sebuah rencana mengunjungi tempat kuno atau perpustakaan di kota yang saat ini singgah muncul di benaknya. Saat ia terhanyut dalam rencananya, suara ketukan terdengar di pintu. Ana menoleh ke arah pintu dan melangkah membuka pintu itu. Wajah Fleur yang tersenyum sudah berada di depan pintu kamarnya sambil membawa semangkuk sup daging.
"Aku mendapatkannya dari lelaki pemilik penginapan tadi, kau mau?"
Dia menyerahkan sup itu padanya. Ana tersenyum lebar dan wajah bahagianya muncul.
"Terima kasih, Fleur."
Fleur masuk ke dalam kamar Ana dan duduk di kursi sedangkan Ana duduk di tempat tidur sambil melahap sup itu. Fleur memandang peta yang terbentang di kasur dan manatap Ana lekat-lekat.
"Ana, aku berencana masih akan tinggal di kota ini beberapa hari lagi. Apa kau terburu-buru ke ibu kota? Kalau kau ingin segera ke sana, kau bisa berangkat duluan besok," ujar Fleur dengan perasaan tidak enak sebab dialah yang sebelumnya mengajaknya bersama ke ibu kota, tetapi karena ada suatu hal, mengharuskannya tinggal di kota itu sebentar. Ana menatap Fleur dan tersenyum.
"Oh, kebetulan sekali, aku juga masih berencana di kota ini beberapa hari lagi."
Wajah muram Fleur berubah cerah dan ia bangkit dari kursinya.
"Baguslah, kalau begitu selamat beristirahat," seru Fleur dengan tersenyum dan berpamitan kembali ke kamarnya. Ana membalas dengan melambaikan tangannya. Ia kembali memakan supnya. Setelah merasa kenyang memakan sup, ia memasukan kembali peta itu ke dalam tasnya. Dibukanya jendela kamarnya dan cahaya purnama masuk ke dalam kamarnya. Ana menempelkan kedua tanganya di jendela dan tersenyum melihat besarnya bulan purnama yang berada di langit. Matanya melihat pemandangan indah sebuah patung di atas bukit dengan lingkaran bulan purnama di belakangnya. Ia teringat dengan lelaki tua yang ditemuinya di atas bukit. Jika yang dikatakan pemilik penginapan itu benar, maka lelaki tua yang ditemuinya adalah Marquess Liere. Ana menghela napas. Perlahan-lahan, ia mengernyitkan alisnya, bau tak sedap pun muncul. Rupanya, ia harus membersihkan tubuhnya setelah seharian perjalanan dari Perlaine duduk di atas gerobak jerami dan mengunjungi patung di atas bukit. Tentu saja tubuhnya penuh dengan keringat. Segera ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.
Di sebuah penginapan yang jauh lebih mewah. Seorang pria berambut emas sedang duduk di kursi sambil menikmati teh bunga chamomille. Disamping mejanya, jendela kamar terbuka dan bulan purnama terlihat dengan indah. Sebuah benda berbentuk kubus kecil diletakannya di meja. Bagian atas kubus itu terbuka dan sebuah cahaya keluar membentuk gambar wajah seorang pemuda dengan rambut berwarna perak bercahaya. Pemuda itu bertanya dengan wajah datarnya, "Apa yang sedang kau lakukan?"
Arlen menaikan alis matanya dan mengangkat bahunya.
"Seperti yang kau lihat, menikmati teh," ujarnya santai.
Wajah pemuda di depannya menatapnya dengan pandangan menyelidik, "Tidak biasanya kau-"
"Ada apa?"
Sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya, Arlen mengalihkan pembicaraan ke pokok permasalahan yang ingin ditanyakan. Wajah pemuda yang muncul dari kubus menatapnya dengan serius.
"Bagaimana dengan pengikut sihir hitam yang kau temukan?"
"Meninggal," ujar Arlen dengan santai sambil mengambil cangkir tehnya.
"Aku mendengar kau akan ke ibu kota, tapi saat aku melihat sekelilingmu, sepertinya kau belum sampai di Kota Emerald?"
Arlen yang akan meminum tehnya meletakan cangkir itu kembali dengan kesal.
"Aku terhambat," gerutunya.
"Kenapa bisa begitu?"
Arlen hanya mendengus jengkel dan tidak membalas pertanyaannya. Sang pemuda menghela napas dan menatap Arlen dengan prihatin.
"Sepertinya kau selalu sial. Waktu mencegah penyihir hitam membuka gerbang, aku yang berada di daerah selatan tak banyak mendapatkan serangan dan gerbang berhasil ditutup, tapi kau malah mendapatkan serangan hebat dari mereka."
"Jangan pura-pura prihatin, aku tahu kau menertawakanku, Edmund."
Wajah prihatin pemuda itu berganti dengan wajah geli atas kemalangan yang menimpanya dan tertawa singkat. Arlen mendengus kesal sambil menatapnya dengan pandangan tajam. Edmund menghentikan tertawanya dan berdehem sejenak.
"Aku masih di selatan tapi sebentar lagi aku kembali ke Magic Tower. Aku senang kau sudah pulih sekarang. Jaga dirimu baik-baik." Sesudah mengatakan hal itu wajah pemuda yang muncul dari kubus itu pun menghilang. Sinar yang berasal dari kubus itu lenyap dan bagian atas kubus menutup.
Arlen melihat kotak kubus di depannya dan memasukannya ke dalam sakunya. Pandangan matanya melihat ke purnama yang besar melalui jendela kamarnya dan membuang napas. Ia beranjak dari kursi sambil membawa cangkir tehnya. Kakinya berjalan menuju cermin yang menempel di dinding. Ia memandang dirinya sendiri di dalam cermin dan meminum tehnya. Tangannya yang lain bergerak di depan cermin dan perlahan-lahan muncul pemandangan seorang gadis berambut hitam. Mata Arlen terbelalak. Ia terlonjak kaget dan menyemburkan minuman teh dari mulutnya. Segera dipalingkan tubuhnya membelakangi cermin itu. Mulanya ia hanya penasaran dengan yang dilakukan gadis berambut hitam dari Wayshire. Namun, pemandangan yang dilihatnya membuat wajahnya memerah. Dilambaikan tangannya tanpa melihat ke belakang dan pemandangan di dalam cermin itu pun menghilang.
[Argh! Apa yang barusan aku lihat tadi?] pikirnya tak percaya sambil berjalan menjauhi cermin dengan syok.
Ana yang telah selesai membersihkan diri, melompat ke tempat tidur dan terlelap.