Keesokan harinya, Ana sudah berada di depan cermin di dalam kamarnya dan berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan kemeja berwarna coklat, rompi, dan bercelana panjang. Rambut gelapnya yang tergerai dikucir ke belakang. Ia menatap wajahnya di dalam cermin dan mengangguk meyakinkan dirinya sendiri. Rencananya, ia akan mengunjungi perpustakaan di kota itu. Meskipun belum mengetahui lokasinya, peta kota bisa didapatkan dari penginapan. Tubuhnya berbalik dari cermin dan kakinya melangkah ke meja. Dibukanya tas ransel besar miliknya. Tanganya mengambil belati kecil dan uang logam dari dalam tasnya kemudian memasukan ke dalam tas kecil. Setelah selesai bersiap, ia membuka knop pintu kamar dan melangkah menuju lobi penginapan.
Tuk… Tuk…!
Tangannya mengetuk meja panjang di lobi. Pemilik penginapan yang sedang fokus memperbaiki jam sakunya menoleh. Melihat Ana dengan wajah segarnya, lelaki itu tersenyum.
"Bisa aku minta peta dan sarapan pagi?" tanya Ana.
"Tentu saja. Kau terlihat cantik, mau pergi kemanakah hari ini?"
"Hanya berjalan-jalan"
"Aku beritahu ya, di kota ini banyak sekali bangunan kuno, kau bisa pergi ke arah timur atau kau bisa melihat senjata-senjata besar seperti pelontar batu di arah barat daya." Pemilik penginapan itu menyerahkan petanya dengan antusias. Ana tersenyum dan mengangguk.
"Ah, kau mau sarapan pagi roti selai daging atau buah?" lanjut lelaki itu.
"Roti selai buah dan segelas teh hangat."
"Segera disiapkan."
Ia segara meninggalkan Ana dan berjalan menuju dapur. Suaranya saat meminta pekerja dapur menyiapkan sarapan terdengar. Ana berjalan menuju tempat duduk di sudut ruangan lobi dan melihat suasana yang lebih ramai dari sebelumnya di penginapan itu. Pandangannya mengikuti pemilik penginapan yang keluar dari dapur dan kembali ke tempat penerimaan tamu. Lima orang tamu baru masuk ke penginapan itu. Ana memperhatikan ke lima orang yang baru datang itu mengenakan baju hitam. Salah seorang diantaranya berambut merah, bertubuh tegap, dan bermata sipit. Lelaki itu menyerahkan bulatan kain berisi uang yang membuat mata pemilik penginapan itu berbinar bahagia.
Tiba-tiba Fleur berada di depannya dan menghalangi pandangannya melihat orang-orang berbaju hitam tadi. Fleur datang sambil membawa segelas teh herbal hangat. Ana mendongak melihatnya dan tersenyum.
"Kau tidak makan?" tanya Ana padanya.
Fleur menggelengkan kepalanya, "Nanti saja, aku sudah harus pergi."
Ia meletakan gelas teh di meja Ana dan berbalik, berjalan keluar dari penginapan. Ana melambaikan tangan padanya. Saat pandanganya kembali ke orang-orang berbaju hitam tadi, kelima orang itu sudah tidak ada di lobi. Sepertinya mereka sudah masuk ke kamarnya masing-masing.
Ana mengalihkan pandangan dan membuka peta kota yang ada di tangannya. Dilihatnya jalan menuju ke arah bangunan perpustakaan itu. Saat ia dengan serius mamperhatikan peta, seorang ibu yang bekerja di dapur membawakan roti isi buah dan teh. Ibu itu meletakkan makanan di mejanya.
"Terima kasih," sahut Ana. "Boleh aku tahu, apakah perpustakaan jauh dari sini? Apa harus naik kereta?" lanjutnya bertanya.
Ibu itu berpikir sejenak. "Agak jauh dari sini, perpustakaan berada di pusat kota, di sekitar kediaman Marquess. Kau bisa menggunakan kereta umum ke sana, sekitar 15.000 binner atau kau bisa menyewa kereta pribadi dengan harga lebih mahal."
[Ah, untunglah, berarti hanya 1,5 ditra,] pikirnya.
"Dimana aku bisa menemukan kereta umum?"
"Kau cukup berjalan ke arah selatan sekitar 20 menit. Nanti, kau akan menemukan banyak kereta di sana."
"Terima kasih."
"Sama-sama," ucap ibu itu sambil berjalan kembali ke arah dapur.
Ana mengambil roti yang ada di depannya dan melahapnya. Ia memakannya dengan cepat supaya dapat segara berjalan keluar dari penginapan. Kakinya berjalan menuju ke arah selatan, melewati jalanan yang menurun, rumah-rumah yang terbuat dari batu atau batu bata. Diperjalanan ia melihat banyak penjaga berpatroli. Pasukan keamanan di kota itu lebih banyak dibandingkan dengan Wayshire atau Perlaine yang pernah ia datangi. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di sebuah tempat terbuka dan terlihat berderet-deret kereta kuda yang sedang menunggu penumpang. Kereta kuda itu berjendela terbuka dan dapat diisi maksimal enam orang. Kereta-kereta kuda yang lain pun berlalu Lalang di jalanan. Rupanya mereka sudah beroperasi dengan rutenya masing-masing. Seorang kusir yang melihatnya datang menyapa, "Hei, Nak, kau akan kemana?"
"Perpustakaan kota."
Sang kusir menggelengkan kepala karena tempat itu bukan rute yang diambilnya hari itu. Tangannya menunjuk ke kusir lain yang berada di sebelahnya. Ana mengikuti arahannya dan berjalan menuju kusir yang ditunjuknya. Sang kusir itu melihat Ana dan menanyakan hal yang serupa seperti kusir sebelumnya.
"Apakah menuju perpustakaan kota?"
"Benar. Kita menuju ke pusat kota," jawab sang kusir.
Ana mengangguk dan naik ke kereta itu. Ia melihat kereta kuda itu sudah terisi empat orang, sehingga masih tersisa dua orang lagi baru akan berangkat. Tak beberapa lama berselang, kereta itu sudah penuh. Kereta mulai berjalan melewati jalanan yang menanjak kemudian menuju jalan yang datar. Di sepanjang perjalanan terlihat banyak kereta kuda dan pasukan penjaga kota yang bertugas. Sekitar 30 menit kemudian, alun-alun pusat kota sudah terlihat. Sebuah patung seorang lelaki berbaju besi menggendarai kuda dan membawa tombak panjang berada di tengah-tengah bundaran rumput yang besar. Di belakang bundaran terlihat sebuah kastil yang megah dengan halaman yang luas dan pagar yang menjulang tinggi. Beberapa pengawal berjaga di depan pagar kastil itu. Seragam besinya lengkap dengan pedang dan tombak di samping kanan dan kiri dengan waspada. Di samping kanan bundaran, terdapat sebuah bangunan kapel yang besar dan di samping kiri terdapat bangunan berwarna putih bertuliskan perpustakaan.
Kereta kuda itu berhenti di depan bundaran rumput dan para penumpang turun. Ana melihat bangunan putih di depannya. Kakinya melangkah ke bangunan itu. Dua orang pengawal menjaga perpustakaan itu. Ana mengangguk ke arah mereka dan masuk ke dalam bangunan itu. Seorang lelaki tua dengan kaca mata besar di wajahnya sedang membaca buku dengan serius. Ia seperti tidak terganggu saat orang lain masuk ke dalam ruangan. Ana merasa ragu untuk menyapa lelaki tua yang terlihat sangat serius membaca, sehingga ia langsung masuk ke ruangan itu dengan berhati-hati.
Kakinya berhenti. Ia melihat ruangan besar dengan rak-rak buku yang tebal berderet di depannya. Atap batu dengan motif berbatu menonjol dengan dihiasi lentera di sudut-sudut dinding. Beberapa orang terlihat sedang membaca degan tenang dan duduk di kursi di sudut ruangan. Ana melihat mereka menggunakan seragam akademi untuk keluarga terpandang. Matanya melihat mereka sejenak kemudian beralih menyusuri rak pertama dari sudut paling kiri. Ia tidak memperhatikan seorang pemuda yang menatapnya dengan tajam.