Untunglah, perpustakaan itu sangat terorganisir dengan baik. Di samping rak buku tertera jenis buku yang ada di dalamnya, sehingga ia hanya perlu melihat tulisan yang ada di samping rak dan melihat buku-buku di dalamnya sekilas. Ia berpindah dari satu rak ke rak buku lainnya. Kakinya melangkah mengelilingi semua rak buku di lantai satu. Namun, tidak ada buku yang dicari. Ia kemudian berjalan ke lantai dua. Tetap tidak menemukan buku yang dicarinya. Waktu sudah berlalu setengah hari dan akhirnya ia menghela napas.
"Haaah, tidak ada apapun yang berarti. Jangankan tentang bangsa kuno, buku tentang sihir saja tidak ada, "ujarnya kecewa. Ia memandang ke sekeliling dan melihat penjaga perpustakaan yang berada di lantai dua. Segera kakinya menuju ke arahnya. Seorang wanita penjaga perpustakaan sedang mengembalikan buku-buku di raknya.
"Permisi," sapa Ana.
Wanita itu berpaling dan memandangnya dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Apa buku tentang sejarah semuanya sudah ada di perpustakaan ini? Tidak ada yang lain?"
"Tidak ada yang lain. Semua sudah ada di rak itu."
"Apa tidak ada buku tentang sihir?"
Pandangan wanita itu berubah. Matanya menatap Ana dengan penuh curiga dan berbicara dengan penuh penekanan.
"Tentu tidak ada buku semacam itu di sini!"
Suara yang dingin dari wanita itu serta tatapan mata tajam darinya membuat Ana terdiam. Ia mengucapkan terima kasih padanya kemudian bergegas pergi dari wanita itu. Ia turun dari lantai dua dan kembali ke lantai satu. Disandarkan tubuhnya di salah satu rak buku dengan kecewa.
[Sepertinya aku hanya menghabiskan waktu di kota ini. Seharusnya aku segera pergi ke ibu kota,] pikirnya.
"Kenapa kau mencari buku sihir?"
Terdengar suara lelaki di belakangnya yang membuatnya terlonjak kaget. Segera ia berbalik dan mendapati seorang pemuda tampan berambut emas yang pernah menyelamatkannya di Perlaine.
"Kau- kau ada di sini?" Ana mengerjapkan matanya tak percaya bahwa mereka bertemu kembali.
"Buku semacam itu mana ada perpustakaan kota umum."
Pemuda itu menatap Ana dengan tersenyum mengejek dan mengabaikan pertanyaan Ana. Ia mengenakan baju hitam dengan model yang berbeda dengan sebelumnya. Warna bajunya yang hitam sangat kontras dengan warna rambutnya yang terang. Tangan pemuda itu menarik tangan Ana dan membawanya keluar dari bangunan itu. Ana mengikutinya sampai di depan bangunan dan mereka duduk di taman itu.
"Jadi, buat kau cari buku tentang itu?" lanjut pemuda itu dengan pandangan menyelidik.
"Kau pasti tahu kalau sihir dilarang? Tak takut aku melaporkanmu?" Pemuda itu menyeringai padanya.
"Aku hanya bertanya saja, aku tidak melakukan hal yang salah," bela Ana.
Pemuda itu mengangguk."Betul juga kau."
"Bukan kau tapi Ana, namaku Ana."
"Apa aku bertanya namamu?" sahut pemuda itu dengan acuh tak acuh. Ana cemberut kesal dengan sikap pemuda itu dan mendengus. Pemuda yang pernah menyelamatkannya itu memang memiliki sikap yang buruk.
"Bagaimana kalau aku bilang aku tahu bagaimana mendapatkan informasinya?" Mata pemuda itu menatap mata Ana dengan tajam.
Ana tertegun.
"Benarkah?" Perlahan-lahan mata Ana berbinar. Perasaan bahagia karena ada secercah harapan mendapatkan informasi menyelimuti hatinya. Namun kemudian, pemuda itu tersenyum usil.
"Tapi buat apa aku mengatakannya padamu?"
Ana terperangah mendengar perkataan pemuda itu. Sebelum Ana dapat membuka mulutnya mengumpat pada pemuda yang berada di depannya. Pemuda itu telah mendahuluinya.
"Bukankah aku harus mendapatkan sesuatu sebagai ganti informasinya?"
"Ah, apa yang kau inginkan?"
Pemuda itu seperti sedang berpikir.
"Akan aku katakan nanti, Aku belum memikirkan apapun saat ini,"
Pada saat itu seekor burung elang melintas dilangit. Pemuda itu mendongak memandang ke arah burung elang dan tiba-tiba raut wajahnya berubah. Wajah yang santai dan usil yang dimilikinya berganti dengan wajah khawatir.
"Sekarang aku ada perlu, di mana penginapanmu?"
"Penginapan Someday."
"Oke, aku temui kau nanti," ujarnya berbalik dan melangkah dengan cepat meninggalkan Ana.
"Hei, kau mau pergi kemana?" Ana berusaha berjalan mengikutinya tetapi pemuda itu berlari dan berbelok arah ke sebuah gang.
"Tunggu!" seru Ana berusaha mengejarnya.
Ana masuk ke dalam gang tempat pemuda itu berbelok. Namun, pemuda itu menghilang dari pandanganya.
"Cepat sekali larinya," monolognya sendiri.
Ana berlari menyusuri gang itu. Akan tetapi, sosok pemuda itu tidak terlihat di mana pun. Ia keluar dari gang dan berlari menyeberang jalan. Tidak disadarainya, beberapa penunggang kuda sedang menuju ke arahnya dari arah lainnya. Sang penunggang kuda yang terkejut akan kemunculan Ana dari dalam gang segera menarik tali kekang dan mencoba menghentikan kudanya. Ana terkejut dan berusaha menghentikan larinya. Ia terjatuh. Kuda yang berada di depannya meringkik dengan nyaring sambil mengangkat kakinya sebelum berhenti. Hentakan kaki kuda yang berhenti membuat debu di jalanan berterbangan ke segala arah seakan-akan membuat kabut tipis.
Ana yang terjatuh di jalan terbatuk sebentar dan mengusap matanya. Wajahnya mendongak ke atas. Dilihatnya tiga kuda hitam yang gagah berhenti di depannya. Seorang pemuda mengenakan pakaian pengawal berbaju merah, seorang pengawal lain yang berbaju biru, dan seorang lelaki tua berambut hitam sebahu berada di tengah-tengah meraka. Ana mengerjapkan matanya. Ia mengenali lelaki tua itu adalah lelaki yang pernah berjumpa dengannya di atas bukit. Pengawal berbaju merah yang berada di atas kuda berteriak marah ke arah Ana.
"Hei, Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tiba-tiba menyeberang jalan? Aku hampir saja menabrakmu!"
Ana bangkit berdiri dan menunduk. "Maafkan aku, Tuan."
Pemuda berbaju merah berdecak kesal kemudian berpaling memandang lelaki tua di sampingnya.
"Anda tidak apa-apa, Tuan?"
Lelaki tua itu hanya mengangkat tangannya dan memperhatikan Ana.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya lelaki tua itu pada Ana dengan suara beratnya. Ana mengangguk
"Aku tidak apa-apa, Tuan."
Mata lelaki tua itu melihat lengan Ana yang terluka. Baju di lenganya sobek dan terlihat goresan-goresan luka akibat terjatuh.
"Tidak. Kau terluka. Ikutlah, aku akan mengobatimu."
"Eh?"
Ana tertegun. Sepertinya pendengarannya bermasalah.
"Ernan, kau bawa dia," perintah lelaki tua itu pada pengawal berbaju merah.
Pengawal itu mengangguk dengan hormat sedangkan lelaki tua itu pergi memacu kudanya, diikuti satu pengawal lainnya. Pengawal itu menghela napas dan turun dari kudanya. Ia menatap Ana.
"Namaku Ernan Vars, pengawal pribadi Marquess Liere. Tuan Marquess sedang mengundangmu ke kediamannya, mari aku antarkan," ujarnya dengan sopan. Tangannya menyentuh dada kiri memperkenalkan diri.
"A- Aku?" tanya Ana masih tidak percaya dengan ucapan lelaki tua yang telah didengarnya tadi. Ernan mengangguk dengan tangan terulur menyambutnya. Pengawal itu akan membantu Ana menaiki kudanya. Namun, karena Ana tidak segera menyambut tangannya, pengawal itu mengangkat tubuh Ana ke atas kudanya dan melompat ke atas kudanya.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Ana terkejut.
"Tuan Marquess mengundangmu. Kami akan mengobatimu, kau tenanglah!" seru pengawal itu sambil memacukan kudanya.