Ana keluar dari penginapan itu dan berjalan menuju ke arah utara. Kakinya melangkah melewati kios-kios dan rumah-rumah yang terbuat dari batu granit yang berwarna hitam kokoh. Anak-anak kecil berlarian melewatinya sehingga ia menghindari mereka. Dari jauh patung seorang gadis berambut bergelombang dengan gaun panjang membawa bunga lili di tangannya terlihat. Ana memandangnya dari jauh sambil tetap berjalan menuju bukit itu. Beberapa saat kemudian, sampailah ia di bawah bukit. Bukit itu cukup tinggi dengan pohon-pohon cemara di samping kanan dan kirinya. Sebuah tangga kecil yang terbuat dari batu menuju ke atas. Ana mendongak,
[Cukup tinggi juga naik ke atas,] keluhnya.
Kakinya melangkah menaiki tangga itu satu persatu. Tangga itu bersih dan pegangan di sampingnya pun kokoh. Terlihat dengan jelas bahwa tempat itu dirawat dengan baik. Pohon cemara maupun bunga-bunga di sekitar bukit dibentuk dengan rapi seperti taman yang indah. Ana menaiki tangga itu dan sempat berhenti di tengah perjalanan untuk beristirahat beberapa menit. Setelah menyeka keringat di dahinya, ia melanjutkan naik ke atas. Ana membuang napas lega saat berada di atas bukit itu. Sebuah halaman yang berlantaikan batu membentang di hadapannya. Bunga lili putih yang berada di pot batu memenuhi halaman itu. Di depannya berdiri tegak sebuah patung wanita yang membawa bunga lili di tanganya. Patung itu di pahat dengan sangat halus dan terlihat sangat cantik. Di samping patung wanita itu terdapat sebuah batu besar. Ana berjalan menuju ke arahnya. Matanya mengagumi keindahan patung itu.
[Pasti cantik sekali putri itu,] pikirnya.
Pandangan matanya beralih ke arah batu besar disamping patung dan menatap tulisan di atas batu itu.
Putriku, Imelda.
Wahai putriku, jika aku bisa, aku akan memberikan seluruh kekayaan negeri ini, bahkan dagingku dan hidupku untuk digantikan dengan kebahagiaanmu.
Ana tertegun membaca tulisan singkat yang terpahat dengan indah di atas batu itu. Dari tulisan itu ia dapat mengetahui bahwa Marquess Liere sangat menyayangi putrinya. Saat ia memperhatikan batu itu dan menyentuhnya terdengar suara seseorang berada di belakangnya. Ana berbalik.
Dibelakang muncul seorang lelaki tua yang berdiri dengan gagah. Meskipun wajahnya sayu dan kerutan sudah tampak di seluruh bagian wajahnya tetapi ketampanannya masih terlihat. Kewibawaan masih terpancar dengan jelas. Tubuhnya masih tegap dengan rambut hitam bergelombang yang menyentuh sebahu. Lelaki tua itu mengenakan kemeja putih yang ditutup oleh penutup dada. Ia berjalan menghampiri Ana.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?" hardik lelaki itu pada Ana.
Ana mengerjapkan matanya sebentar. "Ah, aku hanya ingin melihat patung itu. Kudengar dari penduduk sekitar, Marquess Liere membuat patung itu khusus untuk putrinya. Pasti rasa sayangnya sangat besar untuknya."
"Kau pikir demikian?"
Wajah lelaki tua itu melembut dan tersenyum singkat sambil memperhatikan Ana. Ana mengangguk.
Seseorang pemuda yang menggunakan baju pengawal berwarna merah berlari menghampiri mereka. Pemuda itu berhenti di depan mereka dan menghormat padanya. Lelaki tua itu mengangguk. Pemuda itu berdiri di belakang lelaki tua itu sambil melirik ke arah Ana dengan waspada. Sang lelaki membuang napas perlahan dan menatap Ana.
"Aku rasa kau harus pergi. Tempat ini bukan tempat umum untuk hari tertentu."
"Benarkah? aku tidak tahu hal itu." Ana berpikir sejenak. "Kalau begitu permisi," lanjutnya. Ana menganggukan kepala kemudian melangkah melewati lelaki tua itu dan menuruni tangga. Lelaki tua itu memandang sosok Ana yang menghilang di turunan tangga. Ia menghela napas perlahan.
"Dia seperti putriku waktu masih muda, warna rambutnya dan warna matanya." Lelaki itu bergumam perlahan. Seorang pengawal berbaju merah yang berada di belakangnya berkata dengan sopan.
"Tuan, anda berjalan-jalan lagi tanpa pengawalan."
Lelaki tua itu menatap pengawal berbaju merah dengan santai. "Bukankah sudah biasa? Setiap purnama pertama aku selalu mengunjungi tempat ini."
"Tapi prioritas kami adalah keselamatan, Tuan."
"Hahaha, memangnya apa yang bisa terjadi, sekarang bukan masa perang seperti dulu. Bersantailah sejenak, Ernan."
Lelaki tua itu menepuk bahu pemuda itu dan menggelengkan kepalanya kemudian mencari tempat duduk di dekat patung itu. Raut wajahnya berubah menjadi sendu. Pemuda berbaju merah menatap ke arah patung itu dengan raut wajah yang tidak dapat dijelaskan.
Ana menghembuskan napas perlahan berjalan menuruni tangga. Di tengah perjalanan menuruni tangga, tujuh orang pasukan pengawasan berpapasan dengannya. Mereka menaiki tangga. Salah seorang dari mereka berhenti dan menatap Ana.
"Apa yang kau lakukan? Cepat turun. Ini bukan tempat umum."
Ana mendengus kesal dan menatap tajam pasukan itu.
"Ini juga mau turun," belanya dengan kesal. Ia cemberut sambil menuruni tangga itu. Sesampainya di anak tangga paling akhir. Terlihat empat orang pasukan berdiri berjaga di pintu masuk tempat itu. Ana menggaruk-garuk kepalanya dengan heran. Ia tidak mengerti, kenapa saat ia naik tadi sore masih belum ada pengawal yang menjaga tetapi saat ini menjadi penuh. Jika tempat itu bukan tempat umum kenapa pemilik penginapan tidak mengatakan hal itu padanya. Ia mengerutkan alisnya. Lelaki tua tadi pastilah orang penting.
[Ya sudahlah, saatnya kembali ke penginapan,] pikirnya.
Kakinya melangkah keluar dari wilayah bukit itu dan berjalanan di jalanan yang ramai. Tak sengaja matanya melihat Fleur yang berada di sudut gang sempit sedang bercakap-cakap dengan seseorang berjubah hitam dari kejuhan. Sesudah beberapa saat bercakap-cakap mereka berpisah. Fleur melangkahkan kaki meninggalkan tempat pertemuannya. Ana yang melihat Fleur dari kejauhan berjalan mengendap-endap mendekatinya. Sengaja suaranya mengejutkan Fleur dari belakang.
"Fleur!"
Fleur melonjak kaget mendengar seruan Ana dari belakang dan reflek mencoba menyerangnya. Ana terkejut melihat tingkah Fleur dan menghindari dari serangannya. Begitu mengetahui Ana yang mencoba mengejutkannya, kewaspadaa Fleur menurun dan ia membuang napas lega. Ana menundukkan kepalanya.
"Oh, maaf Fleur, kau pasti terkejut."
Fleur menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Ana, maaf, pasti mengagetkanmu juga."
Ana hanya menggelengkan kepalanya.
"Urusanmu sudah selesai?"
Fleur mengangguk, "Yuk, kembali ke penginapan."
Ana pun menyetujuinya. Mereka berdua berjalan melewati jalanan kota itu menuju ke penginapan tempat mereka menginap. Ana masuk ke penginapan dan mencari pemiliknya. Ia mendapati lelaki itu sedang berada di samping bangunan penginapan dan sedang berbicara dengan seseorang yang menggunakan jubah hitam. Melihat Ana datang, sang pemilik penginapan menghentikan percakapan mereka. Orang berjubah hitam itu pun pergi. Ana melihat orang itu sejenak kemudian menghampiri pemilik penginapan. Lelaki itu berpaling melihat Ana yang cemberut. Ia bertanya dengan santai.
"Kau sudah melihat patung itu?"
"Iya, tapi kenapa kau tidak bilang padaku kalau bukit itu bukan tempat umum?"
"Itu tempat untuk umum."
"Tidak mungkin, aku bertemu pasukan yang mengatakan itu bukan tempat umum."
"Oh, bukit itu memang tempat umum dan siapa saja boleh mengunjunginya," belanya, "Tapi setiap purnama pertama Marquess Liere pasti akan mengunjungi tempat itu dan menutupnya sementara. Apa aku belum bilang sebelumnya? Mungkin aku lupa, hehe…" dalihnya kemudian tersenyum tolol. Ana berdecak kesal.