"Aku bisa mengambilkan tasmu dikelas. Kau sekelas dengan Kevin, kan?" Diana berkata sembari berdiri dari kursinya yang ada di sebelah Revan.
Revan mengangguk. "Tunggu dulu, jadi aku tertidur disini dan kau juga membolos?"
"Iya, kau sudah diberi izin. Jika kau khawatir ketinggalan materi aku bisa membantumu."
Revan menggeleng menolak bantuan Diana.
Sebenarnya bukan itu maksud Revan. Dia sama sekali tidak khawatir tentang pelajaran, tapi ia heran dengan Diana yang menghabiskan waktu berjam-jam menemaninya? Dia bisa meninggalkannya.
Semuanya dilakukan Diana karena rasa bersalah.
Oh iya, Revan belum sempat menjawab permintaan maaf dari Diana tadi. Diana sekarang sudah pergi keluar ruangan. Revan baru sadar.
Setelah Diana membawakan tas Revan. Ia menunggu kelas Revan kosong dan mencari tas yang tersisa dan tertinggal. Ia juga mengambil tasnya sendiri di kelasnya. Kemudian ia kembali ke ruang UKS dan kembali menanyakan keadaan Revan.
Diana mau mengantar Revan hingga di depan sekolah dimana Revan biasanya menunggu jemputan.
Saat tiba diluar sekolah yang sepi, Revan menyuruh Diana pulang duluan.
"Kau bisa pergi duluan. Tidak usah ikut menungguku pulang."
Revan sudah ditemani hingga diluar sekolah dan Diana tak perlu juga ikut menunggu.
Awalnya Diana ragu, tapi Revan meyakinkannya dan ia tak perlu merasa bersalah lagi. Semua itu adalah kecelakaan dan bukan salah siapa-siapa.
"Kalau begitu aku berhutang padamu, ucapan terimakasih takkan cukup," ucap Diana.
"Itu juga tidak perlu."
"Aku akan membalasnya, katakan apapun yang kau inginkan," ucap Diana merasa Revan berbeda dari yang dia kenal dulu.
Meski begitu, Diana ingat Revan juga pernah baik dulu padanya walaupun hanya Diana yang menyadarinya. Setidaknya begitu menurut Diana.
"Baiklah. Aku akan memintanya nanti setelah aku berpikir apa yang ku mau." Revan menyerah, ia tidak tau bagaimana menolak tawaran Diana yang kedua kalinya up karena sudah menolak Diana untuk menunggunya tadi.
"Oke, aku pergi sekarang." Diana mulai berjalan sambil melambai. Ia tersenyum lega.
Revan menatap punggung Diana yang sedang mengayuh sepeda.
Kemudian Revan baru sadar sesuatu. Pergelangan kaki Diana dibalut perban. Ia juga mengingat kembali saat Diana menyerahkan tasnya, jika diperhatikan tangan Diana memerah dan membengkak di salah satunya tangannya.
Entah karena apa Diana terluka, tapi dia berlagak biasa saja. Apa karena terjatuh saat bersamanya tadi? Dia bahkan tetap masih bisa menaiki sepedanya.
Benar-benar gadis aneh, batin Revan melihat Diana yang mengendarai sepedanya dengan kaki terluka.
*****
Diana sekarang sudah sampai di tempat kerja. Ia segera mengganti seragamnya. Saat ia ingin mengambil tisu basah di tasnya, ia tidak menemukannya. Benda miliknya itu tak ada.
"Apa?!" Diana terkejut.
Bagaimana mungkin ia menemukan benda miliknya jika saja tas itu bukan miliknya. Awalnya Diana tak merasa aneh dengan isi tas itu karena memang tas itu isinya rapi tak seperti tas kebanyakan laki-laki.
Tas Diana tidak berisi hal-hal berbau kecantikan seperti teman gadisnya.
Tasnya sama berisi buku-buku paket pelajaran. Ia lupa buku seangkatan itu sama jika kelasnya tidak berbeda jurusan.
"Jangan bilang tas kami tertukar," gumam Diana mengingat ia tadi membawakan tas Revan.
Tas disekolah memang diseragamkan sehingga semuanya sama.
Aku benar-benar ceroboh, bisa-bisanya ini terjadi? batin Diana frustrasi.
*****
"Kau mau pergi kemana?" Valen bertanya pada Revan yang bersiap membuka pintu rumah.
"Keluar," Revan menjawab singkat.
Kalau pergi dari rumah, ya pasti keluar, lah, Valen membatin.
"Tapi sebentar lagi waktunya makan malam," kata Valen membuat Revan berbalik dari pintu yang belum sempat terbuka sepenuhnya menghadap kearah Valen.
"Mungkin aku akan makan diluar."
"Tidak boleh. Kau harus makan bersama denganku." Valen ingin Revan makan di rumah bukan di luar.
"Hah? Memangnya kenapa? Terserah aku maunya dimana." Revan memberi tatapan mengejek.
"Sejak ayah di rumah kau selalu keluar rumah. Sekarang ayah pergi lagi, kau tetap keluar rumah."
Valen tidak ingin makan sendirian, ia mau bersama Revan. Sudah cukup seharian Revan tidak bersamanya, setidaknya saat makan malam mereka harus bersama.
Valen ingin menghabiskan waktu dengan saudaranya seperti kebanyakan orang. Sayangnya adiknya terlalu dingin. Tapi tidak mungkin Valen mengatakan semua itu dengan jelas.
"Seharusnya aku tidak heran, kau memang selalu kekanak-kanakan."
Lihat! Revan belum tentu tahu keinginan Valen yang sebenarnya tapi sudah mengejek Valen seperti itu. Bagaimana jika Revan tahu, mungkin Valen akan lebih diejek habis-habisan oleh Revan.
"Terserah apa katamu, aku begini karena merasa khawatir padamu, tahu. Kau selalu sendirian, tak pernah mengatakan apapun jika tidak ditanya. Jangan-jangan kau terlalu malu untuk bercerita?" balas Valen.
"Kalau kau mau, kau bisa ikut denganku," kata Revan tak memberi jawaban tentang pertanyaan Valen dan akhirnya melanjutkan kegiatan membuka pintu rumah lalu berjalan keluar. Ia seperti menghindar.
"Eh, tunggu!" Valen mensejajarkan langkahnya dengan Revan.
"Kita bisa memakai mobilku untuk pergi," Valen menawarkan.
"Saranmu tidak buruk," Revan menjawab sambil mengangkat bahu.
"Omong-omong tas itu, bukannya tas sekolahmu? Untuk apa kau membawanya? Memangnya kau mau kemana?" Valen menunjuk tas yang ternyata dipegang Revan.
Revan menghela napas, "Aku akan menjelaskannya."
*****
"Ada lagi, tuan?"
"Itu saja yang kami pesan, dan bisakah aku bertemu dengan Diana Claire?"
"Maaf, kurasa itu akan menganggu pekerjaan..."
"Hanya sebentar saja, kalau perlu semenit saja sudah cukup," balas laki-laki itu.
"Hm, baiklah. Tunggu sebentar."
Pelayan itu berjalan mendekati salah satu teman kerjanya yang sedang berada di belakang.
"Diana, ada yang ingin bertemu sebentar denganmu. Orang itu ada di sana," ucap pelayan itu menunjuk salah satu meja dalam restoran.
Terlihat dua orang pemuda dimeja itu.
"Oh, baiklah, tapi setelah aku mengantar ini," Diana mengangkat pesanan salah satu pelanggan.
*****
"Bagaimana jika dia tidak membawa tasmu bersamanya sekarang?" Valen bertanya pada Revan setelah mendengar cerita tentang tas yang tertukar.
"Kalau seperti itu aku tidak akan kesini."
"Kenapa kau yakin sekali? Aku 'kan hanya bertanya," balas Valen tak habis pikir dengan sifat Revan yang dingin bahkan kepada kakaknya.
"Aku tahu dia langsung kesini begitu pulang dari sekolah." Beruntung hari ini Diana bekerja.
Kalau tidak, Revan akan malu pada kakaknya karena Diana tidak ada. Diana punya jadwal kerjanya yang tidak mengharuskan dia bekerja setiap hari.
"Darimana dan bagaimana kau bisa tahu?" Valen menatap Revan curiga.
Apakah ada sesuatu yang tidak ia ketahui tentang sifat Revan yang sebenarnya?
"Apa-apaan tatapanmu itu? Seharusnya aku yang kesal karena kau terlalu banyak bertanya." Revan menyipitkan matanya.
"Oke-oke. Terserah kau saja," ucap Valen mengalah.
Revan memutar bola matanya.
"Permisi, ada apa anda mencari saya?" Tiba-tiba seseorang mendekat di meja Valen dan Revan.
Ia terlihat sedikit terkejut mengetahui siapa yang mencarinya. Juga ada seseorang yang pernah bertemu dengannya pada insiden tabrakan di sekolah dulu.
"Aku datang karena ini." Revan mengangkat sebuah tas.
Mata Diana melebar. "Apakah seperti yang aku pikirkan?"
Revan mengangkat bahu, "Aku tak tahu apa yang kau pikirkan. Melihat reaksimu kurasa kau sudah mengetahui tentang tasku dan kau yang tertukar."
"Ah, benar. Aku akan mengambil tasmu. Tolong tunggu sebentar." Diana tanggap segera pergi mengambil tas Revan.
"Jadi dia ternyata," gumam Valen tersenyum.
Revan mengangkat alisnya, "Kenapa?"
*****