Diana memasukkan kunci di daun pintu lalu membuka pintu rumahnya. Setelah masuk Diana melepas sepatunya dan menaruhnya di rak khusus sandal dan sepatu.
Ia menatap sosok yang tiba-tiba berada di hadapannya beberapa meter. Pandangannya yang awalnya kosong seperti tak bernyawa, berubah berkaca-kaca.
"Kakak.." Diana memanggil sosok di depannya itu.
Ia melihat sosok itu tersenyum membuatnya mendekat perlahan sambil berucap lirih, "Kakak, berjanjilah... Berjanji bahwa kau tidak akan pergi. Berjanjilah kau akan selalu bersamaku. Berjanjilah.." suara Diana bergetar.
"...Kau tidak akan meninggalkanku. Kau akan selalu menemaniku, apapun yang terjadi, jangan biarkan aku sendirian.."
Diana sudah berada dihadapan sosok itu.
Diana bersusah payah menelan ludahnya yang terasa menyakitkan di tenggorokannya. Ia berusaha tidak menangis.
Diana menatap sosok itu yang tidak menjawabnya. Sosok itu hanya terus tersenyum lembut padanya.
"Ada apa, kak?" Diana semakin mendekat pada sosok itu lalu memegang bahu sosok yang ia sebut kakaknya.
Mereka hanya bertatapan selama beberapa menit. Diana membuka mulutnya namun tak ada kalimat lagi yang keluar dari mulutnya.
Tangannya yang berada di bahu perlahan turun hingga jatuh di sisi tubuhnya. Selanjutnya Diana berjalan mundur menjauhi sosok kakaknya.
"Jangan bilang ini hanya khayalanku. Jangan bilang kau hanya khayalanku saja!" Diana menggelengkan kepalanya.
Ia memejamkan matanya kuat-kuat. Saat ia kembali membuka matanya, apa yang ia lihat selanjutnya tak jauh lebih baik.
Disana Diana masih melihat sosok itu. Disana Diana melihat sosok itu tak lagi sendirian. Disana, dimana Diana melihat sosok kakaknya. Disana juga ia melihat sosok kedua orang tuanya bersama kakaknya.
Bagaimana bisa?!
Pemandangan itu membuat Diana jatuh terduduk. Matanya sudah mulai berkaca-kaca padahal sebelumnya saat diluar ia masih bisa menahan tangisannya. Tubuhnya juga ikut bergetar.
"Diana." Sebuah suara memanggilnya dari belakang.
Diana tak sadar seseorang baru saja masuk dirumahnya.
Diana melihat kebelakang melewati bahunya. Lagi, Diana membuka mulutnya tapi tak ada suara yang keluar.
Selanjutnya Diana tak merasa air matanya jatuh mengalir. Menetes dengan derasnya.
*****
David berjalan menyusuri jalan yang sepi. Wajar sekarang sudah cukup larut malam. Ia sesekali melihat ponselnya, memeriksa jika ada pemberitahuan pesan yang masuk.
Sebenarnya David tak perlu melakukan itu karena ponselnya tidak dalam mode diam. Tentu saja akan berdering jika ada pemberitahuan pesan atau yang lainnya.
Walaupun begitu, David tetap memeriksa ponselnya karena menunggu balasan pesan dari adiknya. Diana tak membalas pesannya juga tak menjawab panggilannya.
Tapi sepertinya ia tak perlu mengkhawatirkan itu lagi karena kini ia sudah berada tak jauh dari rumahnya. Hanya tersisa beberapa rumah sebelum ia sampai di rumah.
Ketika sampai, David membuka pagar rumahnya dan berjalan beberapa meter sebelum membuka pintu rumahnya yang ternyata tidak dikunci sama seperti pagar rumahnya. Hal itu membuat David semakin yakin bahwa Diana sudah pulang.
David membuka pintu dan melangkah masuk, ia belum menyadari seseorang berada tak jauh dari situ. Tepat setelah David masuk dan menutup pintu lalu hendak membuka alas kaki, dia melihat seseorang duduk di lantai rumahnya.
Orang itu tak lain adalah Diana. Di sana Diana duduk dengan tubuh bergetar.
"Diana." David spontan menyebut nama Diana.
Diana menoleh hingga memperlihatkan sebagian wajahnya dari samping. Ia hendak mengatakan sesuatu. Mungkin menjawab panggilan dari David. Tapi belum ada suara yang terdengar oleh David.
Kemudian mata David melebar melihat Diana meneteskan air mata.
David segera melangkah mendekat pada Diana. Ia tidak peduli bahkan jika belum melepas sepatunya dan langsung berjongkok mensejajarkan diri dengan Diana.
David langsung berada di samping tubuh Diana. Diarahkan tubuhnya menghadap Diana yang menoleh. Tangan David menyentuh bahu dan wajah Diana.
"Ada apa? Kau kenapa?" David bertanya dengan panik.
"Kak.." akhirnya Diana bisa bersuara ketika bahunya dipegang.
Diana memeluk David sambil terus mengeluarkan air mata. David balas memeluknya. David tau apa yang terjadi.
Adiknya tak akan begini jika ia tak terlalu memikirkan tentang kedua orang tuanya.
Dan adiknya tak akan memikirkan kedua orang tuanya jika tak ada pemicunya. Sesuatu yang berkaitan erat dengan kedua orang tuanya.
Tentu saja di rumah ini semua ada hubungannya dengan orang tua mereka, tapi Diana sudah terbiasa di rumah ini tanpa hilang kendali.
Kecuali satu bagian dari rumah ini, yaitu kamar utama. Kamar yang selalu terkunci. David pikir Diana sudah benar-benar terbiasa. Walau sebenarnya David juga masih tak berani memajang kembali foto kedua orang tuanya di rumah ini.
Kali ini David sadar Diana mengalami sesuatu ketika berada di luar rumah, karena saat ini Diana tak berada didekat kamar utama.
Saat ini David harus segera menenangkan Diana dan mengajaknya beristirahat.
Besok David harus bertindak. Membawa Diana pada seseorang jika hal ini terjadi. Membawa Diana untuk berkonsultasi.
*****
"Darimana saja kau?"
Pertanyaan itu tak dipedulikan oleh Revan. Ia terus menuju ke arah kamarnya. Melewati orang yang bertanya itu.
"Berhenti!" Revan tak merespon dan tetap berjalan.
"Memang tak berubah. Tetap berlaku layaknya anak kurang ajar!"
Revan berhenti. "Kau juga tak berubah. Tetap keras dan pemarah."
Revan tahu resiko jika dia membalas ucapan itu.
Lalu yang terjadi selanjutnya bahu Revan dicengkeram dari belakang, ia dipaksa berbalik.
Sebuah kepalan tangan mengarah padanya. Revan yang terbiasa berkelahi tentu dengan mudah menahan kepalan tangan itu.
"Seharusnya kau tahu, kalau begini yang akan terjadi jika kau mengajakku berbicara dengan keangkuhanmu itu," kata Revan sambil menajamkan matanya lalu melanjutkan.
"Ayah."
Orang yang dipanggil ayah oleh Revan menggertakkan giginya karena amarah.
"Masih bagus aku memanggilmu ayah," ucap Revan melepaskan dengan kasar tangan ayahnya.
"Revan?" panggilan itu bukan berasal dari sosok yang dipanggil 'ayah'.
Revan melihat Valen menatap tajam ke arahnya. Revan menepis sebelah tangan ayahnya yang masih ada di bahunya.
Ia berusaha menahan diri dari kekerasan ketika ada Valen.
"Tak bisakah ego kalian dihilangkan demi hubungan kalian?!" Valen berkata dengan nada ditekan.
Hening.
"Selalu saja begini," sambung Valen lirih.
"Ck," Revan berdecak, ia lalu berbalik pergi menuju kamarnya dan mengunci pintu kamar.
Sama sekali mengabaikan dua orang yang memperhatikan dengan perasaan berbeda.
Yang pasti tanpa perasaan senang.
Walaupun begitu, ayahnya tak akan menyerah. Kata-kata keluar dari mulutnya mewakili amarahnya. Kata-kata menjatuhkan. Revan sudah terbiasa, ia segera memakai headphone.
"Seharusnya kau bersyukur aku masih mau menampungmu karena permintaan Valen! Tapi kau memang tak berguna. Bahkan kau tidak punya rasa terima kasih. Seandainya kau punya sedikit saja sifat kakakmu!"
"Ayah cukup!" kali ini Valen menegur ayahnya.
"Kenapa? Oh benar. Apapun yang aku katakan takkan pernah dia pedulikan." Ayah mereka pergi menjauh setelah perkataan itu keluar dari mulutnya tanpa memberi kesempatan Valen membalas.
"Bukan... Setidaknya, tidak semua perkataan diabaikan. Jika ayah mau bicara dengan perasaan yang damai." Valen bergumam sedih.
Valen tahu, seandainya tidak ada ego diantara mereka maka tak seperti kelihatannya. Mungkin kelihatannya mereka saling menjatuhkan, tapi kenyataannya mereka sebenarnya merasa bersalah.
Perasaan bersalah itulah yang membuat masing-masing Revan dan ayahnya merasa hubungan mereka takkan bisa membaik. Terlalu enggan untuk meminta maaf. Tidak mau mengalah duluan.
Seandainya mereka menghilangkan ego dan mau saling bicara dengan terbuka. Mereka tentu akan bisa saling mendengarkan.
Sehingga mereka tahu bahwa mereka sama-sama tak ingin saling menyakiti. Komunikasi itu sangat penting.
Ibu, bagaimana jika diantara mereka tak ada mau mengalah? Apa mereka akan terus seperti ini? batin Valen menatap pigura foto keluarga yang lumayan besar di ruangan itu.
*****