Chereads / We Are (Kisah Tiga Remaja) / Chapter 18 - Bab 18

Chapter 18 - Bab 18

"Jangan khawatir. Aku justru senang bisa menjadi temanmu. Sebenarnya ini pertama kalinya ada orang yang memintaku menjadi temannya. Kau tahu biasanya mereka langsung mendekat begitu saja."

Diana menjawab dengan penuh perhatian.

Kini gantian Revan yang tertegun. Ia ingat Diana jarang terlihat bersama orang lain.

Oh, tentu pengecualian untuk Kevin. Tapi setelah mendengar perkataan Diana, apakah Kevin juga tidak pernah mengatakan hal yang sama seperti dirinya? Apa ini hal yang tidak wajar?

"Aku juga. Ini pertama kalinya aku mengajak seseorang berteman." Revan mengaku.

"Benarkah?" Diana terkejut. "Apa kau tidak pernah berteman sebelumnya?"

Itu tidak mungkin Diana tak mempercayai itu.

"Aku punya, tapi tak ada yang benar-benar menjadi temanku sejak sekolah menengah."

Ah, Diana mengerti. Keadaan Revan lebih buruk sejak ia suka berkelahi.

"Tapi setidaknya kau punya teman saat sekolah dasar, kan?" Diana yakin dirinya tak berhasil melawak.

Benar, Diana ingin membuat suasana agar tak terlalu serius.

"Yah ada. Teman yang aku tak ingat satupun wajah mereka," kata Revan geli.

Ah, Diana berhasil rupanya. Ia menciptakan suasana yang lebih santai.

"Jadi.." Diana buka suara. "Aku Diana Claire akan menjadi temanmu." Revan tergelak mendengar itu.

"Aku tak mau mengikuti mu dengan mengatakan itu," kata Revan tapi ia mengulurkan tangannya.

"Tapi aku Revan Gael senang berkenalan denganmu."

Diana tertawa kecil, "Kau kira ucapanku memalukan?" Diana menyambut uluran tangan Revan.

Tapi dia memang orang yang baik. Oh ya, dia juga menghargai Diana, buktinya adalah dia khawatir jika permintaan itu membebani Diana tadi.

Revan juga yakin mungkin Diana bisa menjadi teman baiknya. Ia merasa Diana adalah orang yang juga menghargainya karena pernah mengatakan jika dirinya adalah orang baik.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan sepatu di lantai. Ada orang yang datang. Diana dan Revan melihat ke asal suara.

Di sana mereka melihat Kevin yang berekspresi aneh sebelum terkejut.

"Diana," ucap Kevin terkejut melihat ada orang lain di atap gedung ini. Dan lagi orang lain itu adalah Diana.

Jangan lupa masih ada satu orang lagi disini. Kevin melirik orang yang bersama Diana. Ia menyipitkan matanya.

"Sedang apa kalian?"

Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu, tapi apa? batin Kevin.

"Kalau kau? Sedang apa ke atap sekolah?" Diana balik bertanya.

Kevin mengeluarkan ekspresi yang belum pernah dilihat Diana. Kevin marah.

"Aku rasa kau menjawabku dulu baru aku menjawab pertanyaanmu." Kevin jelas menahan amarah dalam dirinya pada Diana.

"Dan kau harus menjawabnya dengan jujur," kata Kevin tajam.

Diana tau maksud Kevin. Ia pernah berbohong bahwa ia menyukai Revan.

"Tentu. Sejujurnya kami berteman," jelas Diana berusaha mengabaikan alasan Kevin marah padanya.

"Berteman?" Kevin mengerutkan keningnya.

"Ya, kami baru saja berteman," jelas Diana.

Kevin terdiam.

"Dan aku juga sudah bercerita tentang kejadian, kau tahu, saat dulu di sekolah menengah pertama, pada Revan."

"Oh benarkah?" Ekspresi Kevin melemah.

"Begitulah."

"Kau tak pernah lupa dengannya bahkan setelah dia pindah sekolah. Apakah kau juga akan begitu padaku? Jika hal yang sama terjadi padaku apakah kau akan tetap mengingat ku?" kata Kevin.

Diana bingung, ia tak mengerti maksud perkataan Kevin.

"Lupakan. Aku akan pergi." Kevin berbalik meninggalkan Diana dan Revan setelah mengatakan itu.

Sedangkan Revan yang sejak tadi tidak menggangu percakapan Kevin dan Diana juga diam tidak melakukan apa-apa.

"Ada apa dengan dia?" gumam Diana pelan.

"Kau dekat dengannya kan?" tanya Revan.

"Iya, tapi aku tak tahu hubungan kami seperti apa," jawab Diana.

"Maksudmu?"

"Dialah yang mendekatiku pertama kali. Dia bilang karena dia menyukaiku. Kau pasti tahu itu." Diana menatap Revan.

"Tapi kau tidak?" Revan menebak.

"Benar. Aku tak menyukainya dan sudah menolaknya berkali-kali."

"Dia pantang menyerah," kata Revan.

"Memang. Tapi aku tidak membencinya. Aku menganggapnya seperti seorang teman." Diana tersenyum.

"Kau tahu, aku rasa dia cukup disenangi banyak orang. Maksudku banyak yang berteman dengannya."

Revan berkata ketika ingat Kevin yang akrab dengan semua teman dikelasnya.

Diana berkata pelan, "Dia memang begitu. Tapi saat dia punya banyak teman, dia tetap terus mendekatiku."

"Yah, bahkan setelah kau menolaknya."

"Mungkin alasannya memang karena dia menyukaiku. Tapi menurutku, dia tetap mendekatiku karena aku tak pernah dekat dengan siapapun. Teman sekelas ku bahkan tak ada yang seperti itu."

Revan menyimak ucapan Diana.

"Dia selalu peduli pada semua orang," lanjut Diana.

Revan terdiam.

"Eh. Mungkin ada beberapa yang tidak akrab dengannya," kata Diana sambil melihat ke arah Revan. Revan memutar bola matanya.

"Setelah kau mengenalnya, kau akan tahu dia sebenarnya adalah orang yang baik."

Revan tak mengerti tujuan Diana mengatakan itu padanya untuk apa.

"Lalu kenapa kau menolaknya?"

"Bukannya aku sudah bilang. Aku tidak menyukainya. Aku tidak punya perasaan yang sama dengannya. Takutnya jika aku menerimanya... Entahlah... Yang pasti aku hanya mau jujur dan apa adanya pada Kevin. Aku tidak mungkin memaksa diriku sendiri."

Diana tersenyum saat melihat Kevin yang berjalan di lapangan dari atas atap gedung. Revan ikut melihat juga. Dan akhirnya ia mengerti serta sependapat dengan Diana.

*****

Tinta pena memberi warna hitam pada kertas buku yang putih karena sedang di gunakan oleh Revan yang mencatat jadwal pelajaran untuk ujian semester genap. Tidak terasa sebentar lagi akan naik kelas. Tentu saja bagi yang berhasil mendapatkan nilai yang cukup.

Dan untuk mendapatkan nilai yang cukup harus dicari dengan belajar yang benar. Itu juga berlaku untuk Revan. Ia pintar, tentu saja. Tapi ia tetap harus terus belajar. Itu adalah kebutuhan bagi orang yang pandai.

Revan akhirnya merutinkan datang ke perpustakaan untuk belajar.

Sekarang waktu istirahat dan ia sudah berada di sana. Ia juga sudah beberapa hari ini di perpustakaan bertemu dengan Diana.

Diana juga yang belajar di perpustakaan.

Revan sebagai teman ingin menyapa dan bergabung belajar dengan Diana. Wajar jika ia melakukan itu.

Tapi Revan tak pernah melakukannya. Selama beberapa hari ia tak bisa mendekati Diana.

Alasan ia tak bisa mendekati Diana karena ada Kevin yang selalu menempel pada Diana. Setiap hari.

Lalu memangnya kenapa jika ada Kevin? Bukannya Revan juga temannya?

Masalahnya adalah Revan terlalu malas meladeni Kevin. Bisa dipastikan Kevin akan menolaknya karena tak senang.

Kevin juga mungkin akan melakukan tindakan yang membuat Revan tak suka. Semua itu merepotkan bagi Revan.

Walaupun begitu, Revan masih terus berdebat dengan dirinya sendiri setiap melihat Kevin bersama Diana.

Tak dipungkiri setiap melihat mereka ia tetap ingin mendekati mereka. Seperti hari ini.

Lagi-lagi kenapa Kevin selalu di dekat Diana? Jika dia selalu di sampingnya Diana, apa aku akan terus seperti ini? Tunggu dulu, mungkinkah dia sengaja melakukan itu agar aku tak mendekati Diana?

Revan merasa dirinya benar-benar konyol jika pemikirannya yang terakhir itu benar. Dan jika itu benar, bagaimana bisa ia membiarkan dirinya tidak sadar terperangkap oleh siasat Kevin?

Revan menutup buku yang dari tadi terbuka tapi tidak dibaca karena tidak fokus. Ia kini beranjak dari duduknya dan mengumpulkan semua bukunya yang ada di meja.

Ia sudah memutuskan akan mendatangi Diana. Meski harus menghadapi Kevin yang mungkin menyebalkan.

"Sekarang atau tidak sama sekali", gumam Revan samar.

*****