Ketika Revan tiba di meja yang diduduki Diana dan Kevin, Revan segera menaruh bukunya di meja tepat di samping Diana.
Hal itu membuat Revan berhadap-hadapan dengan Kevin karena Kevin dan Diana duduk berhadapan.
Tindakan Revan membuat kedua orang berbeda gender itu spontan melihatnya. Revan tak bersuara. Ia langsung duduk di samping Diana seolah tak memperdulikan kedua orang itu yang memperhatikannya.
"Hai, belajar untuk ujian?" Diana yang memulai bicara. Tentu itu ditujukan pada Revan.
"Kalau mau bergabung jangan langsung duduk begitu saja. Apa kau tak mengerti tentang permisi?"
Revan sudah tahu Kevin akan begitu.
"Yah, aku mau belajar di sini tak apa, kan?"
"Tentu saja," balas Diana.
"Tapi sepertinya ada yang tidak suka aku berada di sini," kata Revan melihat ke arah Kevin dengan penuh makna.
Kevin merasa dongkol karena Revan.
"Kau benar. Aku memang tak suka. Kau sadar ternyata. Tapi, orang yang bahkan datang tanpa permisi, apakah ia akan pergi hanya karena ada yang tak suka dengannya? Bahkan jika dia tidak diperbolehkan, dia tetap tidak akan peduli." Kevin tersenyum penuh makna.
Rasanya puas membalas Revan dengan seolah-olah pasrah membiarkannya di sini.
"Baiklah, aku tak akan membela siapa pun di sini. Kalian berdua punya hak yang sama, oke?!"
Ucapan Diana membuat Revan dan Kevin melihat ke arahnya sebelum mereka berdua saling melirik dan membuang muka bersamaan setelahnya.
*****
Beberapa hari kemudian, hari pertama ujian telah tiba. Hari yang mungkin tak ada yang menantikannya.
Bahkan bagi orang yang cerdas. Mereka juga tak menantikannya, mereka hanya menjalaninya saja. Yah, mereka ada yang sangat peduli ada tak berlebihan. Hanya sedikit saja.
Yang pasti jarang ada siswa yang mengabaikan ujian, kecuali dia memang tidak peduli naik kelas atau tidak.
"Diana, setelah ujian aku ingin mengajakmu ke rumahku," kata Kevin pada Diana.
Saat ini mereka sama-sama menuju perpustakaan saat istirahat dari ujian sebelumnya.
"Untuk?" Diana menyipitkan matanya curiga.
"Kau memikirkan apa? Kau seperti mengira aku berbuat aneh." Kevin tertawa.
"Entah," balas Diana.
"Aku hanya merayakannya saja."
"Hah? Merayakan apa?" Diana mengangkat sebelah alisnya.
"Mungkin merayakan selesainya ujian," jawab Kevin asal.
"Oke. Tapi jika aku ada waktu."
"Memangnya kau sibuk terus?" tanya Kevin sedikit kecewa.
"Kapan aku bilang begitu? Aku kan sudah bilang oke, tapi aku tidak tahu apa ada waktu tidak." Diana menjawab.
"Iya-iya, kalau begitu kapan kau ada waktu?" Kevin tahu Diana kesal.
"Aku ada waktu ketika aku libur." Diana menjawab sambil mengingat waktu kerjanya.
"Libur?" Kevin mengulang satu kata Diana.
"Libur kerja maksudnya." Memang Diana harus menjelaskan karena ucapannya memang kurang jelas.
"Oh, benar. Aku lupa kau kan juga biasanya memang kerja paruh waktu."
Diana mengangguk. "Kau tahu itu."
"Tentu, meski kau tak pernah menjelaskan itu."
Memang Kevin tahu karena dia melihat langsung dan bukan karena Diana yang memberi tahu.
Lagipula Diana tak akan membicarakan itu. Karena, "Bukan hal yang terlalu penting untuk dijelaskan." Menurut Diana.
"Sekarang aku mau cari buku dulu untuk materi pelajaranku." Diana segera menyusuri rak-rak buku setelah men-scan kartu anggota perpustakaan.
Kevin juga menyusuri rak buku untuk mencari materi pelajarannya, lebih tepatnya materi kisi-kisi ujiannya.
Lalu ujian selesai setelah beberapa hari. Kevin tidak perlu lagi meluangkan waktu untuk belajar.
Ia akhirnya bebas setelah penuh perjuangan belajar di perpustakaan yang mana ketika hari-hari ujian ia tetap ke perpustakaan juga.
"Aku baru tahu ternyata kau punya rumah yang mewah."
Diana memperhatikan bangunan di depannya. Setelah menemukan hari yang tepat, akhirnya ia bisa memenuhi ajakan Kevin.
Hari ini mereka segera pergi ke rumah Kevin setelah melihat pengumuman hasil ujian semester genap.
Diana masih mempertahankan peringkatnya. Kevin berhasil masuk peringkat sepuluh besar dikelasnya. Hal yang sangat mengejutkan. Yeah, hasil tak akan mengkhianati usaha.
"Seingatku, aku tak pernah mengajakmu ikut bersama kami. Apa kau itu penguntit?" Kevin menunjuk Revan yang berdiri di samping Diana.
Revan memang tak diajak. Ia awalnya tak tahu tentang ajakan Kevin pada Diana.
Tapi kemudian Revan mendengar rencana mereka berdua, saat Diana mendatangi Kevin yang sedang melihat pengumuman.
Sedangkan Revan berada tak jauh dari Kevin karena itu ia mendengarnya.
Revan akhirnya memutuskan ikut meski ia tak diajak. Keinginan itu datang begitu saja. Dan Revan tak tahu kenapa.
Ia hanya merasa perlu ikut campur. Lagi pula apa yang akan mereka lakukan berdua saja di rumah Kevin?
"Aku hanya menemani temanku saja," kata Revan memegang pundak Diana.
Kevin mengernyit tak suka. "Apa Diana mengijinkan kau menemaninya?"
"Kau bisa tanyakan itu padanya sendiri," jawab Revan santai.
Diana memijit pelipisnya. Lagi-lagi mereka berdua mencari masalah satu sama lain.
"Diana-" Kevin mencoba mencari pembelaan pada Diana.
"Dia sangat menyebalkan kau tahu. Kenapa-"
"Sudahlah." Diana angkat suara. Ia tiba-tiba mendapat ide jahil untuk mengerjai mereka berdua.
"Kevin, sekarang kau menganggapku sebagai salah satu temanmu, kan? Revan adalah temanku. Jadi, akan bagus jika kalian berdua bisa berteman juga. Karena kalian berdua adalah temanku."
"Apa?! Itu tidak akan terjadi!" kata mereka berdua bersamaan.
"Wah, kalian sepertinya memang sangat cocok satu sama lain." Diana mengabaikan penolakan kedua pemuda itu.
Lalu yang terjadi selanjutnya kedua pemuda itu akhirnya diseret masuk ke rumah Kevin oleh Diana.
Mereka melewati satpam yang menjaga gerbang rumah Kevin. Diana menyapa satpam itu yang dibalas dengan anggukan olehnya.
Sebenarnya siapa tuan rumah disini, sih? batin kedua laki-laki itu pasrah ditarik oleh Diana.
Begitu mereka masuk dalam bangunan, Kevin segera pergi ke dapur sebentar. Ia menyiapkan dua minuman.
"Apa ada orang lain di rumahmu sekarang? Kemana keluargamu?" Diana bertanya.
"Sepi ya? Mereka sedang tak berada di rumah." Kevin menjawab.
Ia lalu melihat Revan yang tampak mengabaikan dirinya.
Revan terlihat meminum minuman di salah satu gelas mendahului Diana.
Urat di pelipisnya Kevin menegang melihat tindakan Revan itu.
Dasar tak tahu malu, ucap Kevin dalam hati.
Kevin kesal karena ia menyiapkan dua minuman itu hanya untuk Diana dan dirinya.
Jelas ia tak akan menyiapkan minuman untuk Revan. Tapi sekarang Revan dengan tenangnya malah meminumnya.
"Rumah sebesar ini pasti kau merasa sepi," ucap Diana.
Revan akhirnya bersuara setelah minum, "Tapi kau pasti akan selalu ditemani pembantu yang mengurusmu di rumah ini. Oh ya, kenapa kau yang menyiapkan minuman ini? Kenapa tidak menyuruh pelayan saja?"
Kevin tak menyangka Revan akan secerewet ini.
Dia memang cerewet dan sekarang lebih cerewet lagi, batin Kevin.
"Kenapa memangnya?" tanya Kevin dengan ketus.
"Kurasa Diana juga ingin tahu." Revan membalas dengan menggunakan nama Diana.
Kevin menjadi lebih kesal lagi.
Kenapa dia selalu menyerang ku dengan menggunakan Diana? Dan kenapa Diana membiarkannya? Semua itu yang ingin ditanyakan Kevin.
Entah kenapa Kevin merasa Diana selalu membela Revan atau setidaknya tak pernah berada di pihaknya.
Karena itu, Revan terlihat seolah selalu berhasil menyerangnya.
Sebenarnya Diana hanya diam saja dan bertindak agar sebisa mungkin tak memihak dan membuat munculnya perdebatan.
Lupakan tentang itu sementara. Sekarang Kevin mengalah. Ia akan menjawab pertanyaan itu.
"Aku tak terbiasa menyuruh dan lebih suka mengurus hal sepele itu sendirian. Itu bukan hal yang sulit jika hanya membuat minuman."
Sebenarnya itu berlaku untuk semua keperluan Kevin di rumah ini. Ia terbiasa mandiri. Bahkan dia kadang menyiapkan makanannya sendiri.
Jawaban Kevin menimbulkan keheranan bagi Diana dan Revan.
*****