Hari ini adalah hari kedua sejak Oliver datang. Kevin masih berada di panti saat ini.
Kevin ternyata masih menunda penjelasannya pada adik-adiknya. Ia terus mengajak mereka pergi ke beberapa tempat dan menghabiskan waktu bersama mereka.
Ia ingin menjelaskan pada mereka setelah hari ketiga.
Kemudian pada esoknya hari ketiga. Kevin membeli banyak barang untuk diberikan pada mereka bahkan jumlahnya lebih dari yang di butuhkan.
Kevin membelikan mereka pakaian, sepatu, sendal, mainan, alat tulis dan barang lainnya yang dibutuhkan.
Kemudian mereka berkumpul semuanya menanti jawaban yang selama ini ditunda oleh Kevin.
Kevin juga selama beberapa hari itu berusaha mencari jawaban apa yang tepat untuk dikatakan pada mereka.
"Aku bingung harus mulai dari mana untuk membicarakan ini." Kevin menggaruk tengkuknya sebagai bentuk pengalihan rasa tidak nyamannya.
"Kalian bisa bertanya padaku apa yang mau kalian tanyakan." Kevin tersenyum kaku karena perkataannya. Seharusnya ia sudah menjelaskan tapi malah bingung seperti ini.
"Kenapa?" sahut seseorang yang berada paling jauh dari Kevin.
Seseorang itu berdiri menyandar di dinding. Ia tidak ikut bergabung dengan yang lainnya, tidak ikut duduk di dekat Kevin.
"Jessie." Kevin melihat ke arah sumber suara. Ia melihat Jessie menunduk.
"Kenapa kau berbohong?" Jessie mengangkat wajahnya. Ia sadar mungkin pertanyaannya membuat Kevin makin tak nyaman.
Tapi dengan pertanyaan itu ia tidak perlu bertanya panjang lebar karena semuanya tahu apa maksud pertanyaannya.
'Kenapa kau berbohong dan ingin pergi?'
Jessie hanya takut saat ia bertanya dengan mengatakan pertanyaan secara detail, ia tak mampu. Ia tidak akan bisa mengontrol suaranya saat mengatakan kata 'pergi'.
Bahkan Jessie yakin jika ia menambah satu kata saja setelah kata 'berbohong' suaranya pasti akan bergetar.
Jessie ingin dirinya tetap tenang menghadapi Kevin. Meski sebenarnya dalam hatinya saat ini, perasaannya sudah tidak terkontrol.
Kevin menarik napasnya, "Aku awalnya menolak. Tapi kemudian tuan Oliver bertanya apa alasanku menolak dan menawarkan solusi dari alasanku itu. Kurasa kau tahu apa yang selanjutnya kukatakan."
"Ceritakan." Jessie kembali mewakili anak-anak lain. Mereka semua memperhatikan Kevin dengan serius.
Kevin harus menceritakan semuanya dengan detail.
"Aku tidak ingin pergi meninggalkan kalian. Aku berpikir bagaimana jika kalian ada masalah dan aku tidak ada saat itu? Tapi tuan Oliver mengatakan bahwa aku akan tetap bebas pergi ke sini kapan pun itu. Dan jika saat aku dan kalian membutuhkan sesuatu, aku bisa mendapatkannya tanpa bekerja. Jadi jika kalian butuh sesuatu tinggal katakan padaku saja."
Jessie tahu Kevin adalah orang yang tidak akan menyakiti mereka. Tapi jawaban yang Kevin tetap membuatnya terharu.
Bahkan jika dia hidup jauh dari tempat ini, dia tidak akan meninggalkan kami. Bahkan yang dia lakukan itu, jika dia pergi, dia melakukan itu juga karena kami, batin Jessie sedih sekaligus haru.
Jessie tersenyum lemah, "Aku percaya padamu," ucapnya.
Kevin tertegun, matanya perlahan memunculkan selaput tipis bening yang membuat pandangannya memburam.
"Itu cukup." Kevin merasa suaranya bergetar.
Ia tak perlu kata terimakasih dari mereka, dari adik-adik. Ia tak perlu dipuji dan dianggapsebagai superhero yang melakukan kebaikan untuk mereka. Ia tak perlu mereka bangga padanya.
Tapi rasa percaya dari mereka itu sangatlah cukup untuknya.
"Kau memang akan selalu tetap menjadi orang yang baik," sahut Jessie lagi sembari berdiri dari sandarannya.
Ia lalu pergi menjauh setelah memberikan senyum terbaiknya pada Kevin.
Ia membiarkan Kevin dan saudara-saudaranya saling mengucapkan harapan dan doa sebelum Kevin pergi besok.
Jangan lupa tangisan yang timbul selanjutnya saat mereka mengucapkan perpisahan meski mereka tidak benar-benar berpisah.
Jessie berjalan menjauh dengan menggigit bibirnya dan menggenggam kedua tangannya di depan dada. Walau pikirannya terkendali tapi hatinya tidak.
Jessie tahu hatinya masih tak ingin Kevin pergi. Perasaan ini berbeda dengan saudaranya yang lain.
Kevin memang sosok yang berharga untuk mereka semua, tapi bagi Jessie lebih dari itu.
Perasaannya lebih dalam dibanding saudaranya yang lain.
Akhirnya perasaan Jessie sudah tak tertahan saat air matanya mengalir. Jessie semakin mempercepat langkahnya.
Ia ingin sendirian saat ini.
*****
Diana memandangi layar ponselnya yang menampakkan kontak nomor telepon Kevin.
Diana lalu menghela napas. Sampai saat ini masih tak ada kabar apa-apa dari Kevin.
Saat Diana hendak menaruh dan menyimpan ponselnya ke atas meja rias samping kasur, tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk.
Revan, Diana membaca nama yang tertera di layar ponsel dalam hati.
Diana menekan tombol terima lalu mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Halo, Revan?"
"Diana. Apa kau masih mengkhawatirkan tentang orang itu?" Revan bertanya dengan santai tapi dengan pertanyaan yang tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" Diana mengerutkan alis.
"Kevin. Orang itu tak perlu kau khawatirkan lagi." Lagi Revan menjawab santai dengan nada datar.
Kebetulan sekali tadi Diana baru saja memikirkan Kevin.
"Kenapa?" Diana berharap Revan sudah mengetahui sesuatu.
"Dia bahkan tidak peduli padamu lagi, kenapa kau juga peduli padanya."
Diana melebarkan matanya tak percaya mendengarkan perkataan Revan.
Bagaimana bisa dia mengatakan itu dengan nada bicara yang santai.
"Apa yang kau katakan?! Kevin adalah temanku. Dan dia mungkin saja dalam masalah dan bukan tidak peduli denganku. Kenapa kau berkata seperti itu?"
Diana tahu Kevin tak mungkin tidak peduli padanya.
Meski ia menolak perasaan Kevin tapi mereka sepakat menjadi teman.
Apa mungkin Kevin seperti itu? Apakah dia merasa muak padaku jadi dia mengabaikan temannya ini?
"Buktinya dia tidak mengabari mu bahkan saat dia bisa melakukannya." Revan melanjutkan.
"Memangnya kau tahu saja keadaannya Kevin yang sebenarnya?" Diana membalas dengan marah.
"Kau akan tahu nanti saat tahun ajaran baru." Revan lagi-lagi mengatakan sesuatu yang tidak jelas.
"Hah? Apanya? Tahu apanya?" tanya Diana tidak sabaran.
"Tahun ajaran baru tinggal lima hari. Saat itu kau akan terkejut," balas Revan.
"Perkataanmu sama sekali tidak bisa aku mengerti." Diana menggerutu.
"Sekarang kau memang tidak akan mengerti. Karena itu, bersabarlah."
"Apa-apaan-" ucapan Diana terputus.
Revan memotong ucapan Diana, "Aku harus segera pergi. Cukup sampai disini dulu."
Diana mendengar nada panggilan terputus. Perlahan Diana menurunkan ponselnya dan melihat ponselnya.
Bisa-bisanya Revan mengatakan hal aneh yang membuat Diana merasa geram.
Yang membuat Diana lebih kesal lagi adalah Revan yang langsung memutuskan panggilan sebelum Diana menyetujuinya.
*****
Tahun ajaran baru telah dimulai. Diana mencari namanya diantara deretan nama yang tertera di kertas pengumuman.
Setelah ia menemukan namanya, ia melihat di kelas manakah dirinya ditetapkan, lalu mencari letak kelasnya itu.
Ketemu, batin Diana saat melihat papan nama yang tergantung di bagian atas dekat pintu kelas.
Papan itu menunjukkan nama kelasnya untuk kelas dua nanti selama setahun. Hanya setahun.
Tentu saja Diana akan naik kelas. Diana terlalu pintar hingga kemungkinan untuk tertinggal kelas hampir tidak mungkin.
"Diana kau di kelas ini juga?" seru sebuah suara di belakang Diana.
Diana membalikkan badannya dan melihat seorang pemuda tersenyum lebar padanya.
"Kau?! Kevin!" Diana ikut berseru.
"Lama tak bertemu," ucap Kevin semangat.
"Kukira kau pindah sekolah," kata Diana tak percaya.
"Kapan aku bilang begitu?"
Diana hendak membalas perkataan Kevin tapi disela sebuah suara.
"Seperti yang aku katakan, kau terkejut." Sebuah suara di belakang Diana menyahut.
Lagi, kedua kalinya seseorang berbicara dengan Diana dari belakang.
*****