"Kuberi tahu, ya." Revan menekan nada bicaranya.
"Aku melakukan ini bukan karena dirimu. Aku juga melakukan ini untuk Diana," lanjut Revan mendadak menyebut nama Diana.
Diana sontak mengangkat wajahnya ketika mendengar Revan berbicara begitu. Ia melihat ke arah Revan yang sekarang tepat berada di hadapan Kevin.
Meski begitu, Kevin masih tidak menghilangkan emosinya. Keadaannya sangat sulit waktu itu, adakah yang bisa mengerti perasaannya?
"Jika kau ingin marah dan melampiaskannya, kau bebas melakukannya padaku."
Revan membuat Kevin heran dan ingin menebak-nebak isi pikirannya.
"Kau merasa marah 'kan? Kau juga merasa ingin memukulku? Maka lakukanlah," lanjut Revan.
Kevin mengerutkan keningnya. Ia berpikir, apakah Revan sengaja mengatakan itu dan membuatnya semakin marah? Apakah Revan sedang mengejeknya?
"Tentu saja aku tidak akan melakukannya dengan percuma. Ada satu syarat jika kau ingin memukulku." Revan melanjutkan ucapannya yang membuat orang semakin penasaran dengan isi kepalanya.
Kevin diam mendengarkan.
Revan melanjutkan dengan serius, "Syaratnya saat kau memukuliku, kau harus melampiaskan semua kemarahan mu," lanjut Revan lagi.
"Eh?" Diana dan Kevin tak tahu alasan dari tindakan Revan. Mereka heran dengan perkataannya yang justru memberatkan posisi Revan.
Sebenarnya apa rencana Revan?
"Jadi setelah kau selesai memukulku, kau tidak lagi merasa marah." Itu kalimat terakhir Revan.
Kevin melemahkan tangannya yang mengepal mendengar kalimat terakhir dari Revan.
"Heh?" Kevin terkekeh.
"Jadi begitu," gumam Kevin seolah mengerti tujuan Revan.
"Kau ternyata memang berbeda dengan yang dulu," lanjut Kevin tanpa memandang ke arah Revan.
Revan dan Diana menebak apakah Kevin masih marah atau sudah tidak marah lagi. Lalu apakah tawa Kevin itu sebuah ejekan?
"Kau sudah berubah." Kevin berkata kini sambil membalas tatapan Revan. Kevin tak lagi memalingkan wajahnya.
"Apa kau menolak tawaranku?" tanya Revan mengungkit tawarannya pada Kevin untuk kesempatan memukulnya.
Kevin menjawab, "Tenang saja aku akan menerimanya tapi-"
"Tawaranku hanya berlaku hari ini." Revan memotong perkataan Kevin membuat Kevin mendengus.
"Ya sudah. Aku tinggal memukulmu jika aku mau." Kevin menyeringai setelah mengatakan itu.
"Tapi mungkin aku tidak akan diam saja jika itu terjadi," balas Revan ikut menyeringai.
Perkataan Revan itu sekali lagi membuat Kevin mendengus.
"Baiklah. Aku akan menceritakannya. Sebenarnya, yang terjadi adalah aku sibuk karena menjaga ayah angkatku di rumah sakit. Sekaligus membantu kakak angkatku mengurus perusahaan mereka, yang terabaikan karena ayah kecelakaan."
"Kevin," gumam Diana bersimpati.
Kevin berhasil menjelaskan dengan tenang. Pengaruh Revan ternyata lumayan kuat hingga membuat Kevin tenang.
Setelah Kevin bicara, Diana ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian tidak jadi karena tiba-tiba bel berbunyi, tanda pelajaran dimulai.
Mereka harus segera kembali ke kelas mereka. Ke kelas baru mereka di tahun kedua mereka disekolah.
Ini hari pertama sekolah di tahun ajaran baru.
Percakapan mereka terhenti sampai disini dulu.
*****
"Aku akan membagi kelompok untuk tugas ini." Kalimat itu tak menyurutkan keluhan siswa yang ada di kelas di kelas.
Mereka mengeluh pada guru yang satu ini, karena begitu rajinnya langsung memberi mereka tugas pada hari pertama sekolah.
"Setiap Kelompok terdiri dari tiga orang. Jangan khawatir kalian punya waktu sebulan untuk mengerjakan tugas kelompok ini dan mempersiapkan presentasinya. Jadi aku akan menagihnya bulan depan," lanjut sang guru.
Akhirnya para siswa bisa merasa sedikit tenang dan lega. Sebulan adalah waktu yang lumayan lama untuk sebuah tugas.
"Kelompoknya..." Sang guru lalu membagi kelompok pada para siswa di kelas.
Setelah semua murid dibagi guru itu memandu mereka mencari anggotanya.
"Ayo bergabung dengan anggota kelompok masing-masing."
Para siswa segera menuruti keinginan sang guru, meski sebagian ada yang kurang puas dengan pembagian kelompoknya.
Seperti di kelompok Revan.
Revan menatap jengah pada Kevin yang menyilangkan tangan di depan dadanya.
Kemudian tatapannya beralih pada Diana yang juga berkelompok dengannya. Revan menghela napas.
Setidaknya ada Diana di kelompoknya. Diana tentu saja bisa menjadi penengah diantara mereka.
"Guru, bisakah kami memilih kelompoknya sendiri?" Kevin menyahut secara tiba-tiba yang langsung didukung oleh para siswa yang setuju dengan pendapatnya.
Tindakan itu membuat Revan mengangkat sebelah alisnya. Diana menghela napas.
Mereka sangat mengerti kenapa Kevin begitu.
"Apa? Tidak bisa. Kalian protes saat aku sudah selesai membagi kelompok kalian. Seharusnya kalian bilang dari awal."
"Yah, kami 'kan tidak tahu dengan siapa kami akan berkelompok," gerutu mereka yang tak puas, perkataan itu memiliki arti, 'kami tidak tahu jika orang yang kami benci bisa sekelompok dengan kami'.
Tapi memang mereka yang salah karena tidak bilang dari awal.
Mungkin ada yang berpikir tak sopan jika menyela guru yang sedang membagi kelompok di kelas. Mungkin karena itu mereka baru mengeluh sekarang.
"Aku sudah mengundi nama-nama kalian dan aku tidak mau mengulanginya," lanjut sang guru ikutan mengeluh.
Revan berpikir, ia juga merasa setuju dengan pemilihan kelompok sesuai keinginan murid sendiri.
Yah meski ia tak jadi berkelompok dengan Diana, setidaknya ia tak perlu berurusan dengan Kevin. Ia bisa berkelompok dengan siapa saja selain Kevin.
"Guru, anda mengatakan bahwa anda membagi kelompok kami dengan mengundi nama kami. Jadi bagaimana jika kami saja yang mengulangi undian itu sendiri. Kami bisa melakukan undian lagi tanpa merepotkan guru." Revan memberi usulan.
Kevin memandangi Revan karena sarannya itu memiliki tujuan yang sama dengannya. Keinginan Kevin yang tidak ingin sekelompok dengan orang yang membuatnya tidak nyaman.
Beberapa murid kurang setuju, mereka berpikir itu tak berpengaruh apa-apa. Siapa yang akan tahu anggota kelompok masing-masing nantinya.
Tapi bagi Kevin, ia berpikir usul Revan tak begitu buruk.
Meski tak sekelompok dengan Diana, setidaknya aku tak sekelompok dengan orang itu. Aku bisa berkelompok dengan siapa saja selain dia, batin Kevin tanpa sadar sepemikiran dengan Revan.
"Biar kami sendiri yang mengambil undiannya, guru!" sahut Kevin.
Diana hanya bisa memandangi kedua temannya itu. Ia menghela napas, mereka sebenarnya sangat cocok jika kekompakan mereka muncul. Mereka ternyata bisa kompak seperti itu.
"Baiklah. Aku akan membiarkan kalian mengundi kelompok kalian lagi. Tapi ini terakhir kalinya dan tak ada yang bisa protes lagi setelah ini."
Sang guru memberi kesempatan sekaligus memperingatkan.
Selanjutnya sang guru membiarkan para murid menyiapkan nomor yang menjadi undian dan kemudian dibagikan kepada semua murid di kelas.
"Baiklah. Sekarang kalian bergabunglah dengan kelompok kalian sesuai hasil undian kalian." Sang guru berkata setelah memastikan semua siswa di kelas sudah mengambil nomor undian.
Mereka harus membentuk kelompok sesuai nomor undian itu. Tidak ada lagi protes atau mengeluh.
Yang terjadi selanjutnya adalah para siswa di kelas heboh mengetahui siapa saja anggota kelompok mereka masing-masing.
Perasaan Diana juga sama hebohnya.
Hanya perasaannya saja. Diana tidak mengungkapkan kehebohannya dengan nyata.
Diana hanya menahan napas saat melihat kedua orang yang menjadi anggota kelompoknya.
Ia tidak mengeluarkan suara yang menunjukkan dirinya heboh seperti murid lainnya di kelas.
Lalu, "Hahaha." Diana tertawa karena tak bisa menahan rasa geli nya.
Akhirnya usahanya untuk tetap tenang gagal. Diana terkekeh.
Ia tadi menahan napas bukan karena rasa tegang, tapi karena rasa geli yang berusaha ia tahan.
Bagaimana bisa Revan dan Kevin kembali menjadi anggota kelompoknya? Padahal mereka berduaah yang melakukan semua ini karena bersikeras tak ingin sekelompok.
Tapi mereka bertiga malah sekelompok lagi. Kali ini mereka tak punya pilihan, terpaksa menerimanya dan tak bisa protes lagi.
Revan dan Kevin cemberut, sangat berbanding terbalik dengan Diana yang merasa terhibur.
"Hei, kalian nanti harus tetap kompak, ya." Diana berkata dengan sedikit jahil setelah tertawa.
Sebenarnya Diana masih tetap ingin tertawa karena belum puas, tapi ia harus bisa menahannya kalau tidak mau kedua partnernya melarikan diri.
Keduanya membatin tak senang.
Kenapa Diana berkata seperti itu?! Diana berkata seolah-olah mereka pernah kompak.
Dan yah, tanpa sadar mereka kompak beberapa kali lagi.
"Itu tidak mungkin." Mereka berdua membalas perkataan Diana bersamaan. Sekali lagi mereka menunjukkan kekompakan mereka.
Spontan mereka berdua melotot karena ucapan mereka sendiri lalu saling melirik sinis pada satu sama lain.
Diana tertawa lagi padahal ia sudah berusaha menahannya tadi.
"Tentu saja mungkin." Diana membalas lagi setelah tertawa.
*****