"Hei, menurutmu kenapa Kevin tak berada di rumahnya selama beberapa hari ini?"
Diana memulai percakapan ketika mereka sudah selesai mengikuti beberapa wahana di taman bermain. Saat ini mereka berjalan mencari tempat duduk untuk beristirahat.
Revan belum menjawab.
Diana berkata lagi, "Aku berpikir kemungkinan dia sedang pergi berlibur, karena itu ia tak berada di rumahnya. Tapi kalau begitu, kenapa dia tidak memberitahu kalau dia akan berlibur?"
Tiba-tiba Diana berhenti melangkah.
"Tunggu dulu. Aku ingat." Diana memicingkan matanya menatap kakinya. Ia sedang berpikir.
Revan ikut memberhentikan langkahnya.
"Dia pernah bilang mau mengajakku pergi ke taman hiburan ketika hari libur sudah mulai. Saat itu sedang ujian berjalan beberapa hari."
Diana ingat ketika dirinya selesai mengerjakan ujian lalu keluar ruangan ia bertemu Kevin di depan kelasnya. Kevin mengatakan keinginannya pergi ke taman hiburan itu lalu tak sabar ingin membicarakannya dengan Diana hingga mau menunggu Diana di kelasnya hingga selesai mengerjakan ujian.
Padahal Kevin tahu Diana tipe orang yang mengumpulkan ujian bukan ketika ia sudah selesai mengerjakannya tapi menunggu waktu mengerjakan ujian habis baru mengumpulkan ujiannya. Jadi ia belum keluar meski ia sudah selesai mengerjakan ujiannya dan memilih keluar paling akhir padahal ia dipastikan sisa tercerdas di kelasnya.
Diana baru mengingat tentang kejadian itu saat ini. Ia akhirnya sadar dan sekarang ia tambah merasa gusar.
Kenapa Kevin tak muncul dan mengungkit ajakannya sama sekali. Bukannya Kevin sendiri yang mengajaknya? Ini bahkan sudah hari keempat sejak hari libur dimulai.
Kevin bukanlah orang yang melupakan ajakannya sendiri, sebenarnya apa ada sesuatu yang terjadi pada Kevin?
"Apa kau yakin?" tanya Revan.
Diana mengangguk.
"Jadi sebelumnya kau lupa?"
"Yah." Diana mengiyakan dengan lemah.
"Kau terlihat gelisah", kata Revan.
Diana diam membuat tebakan Revan menjadi jelas.
"Aku tidak menyalahkanmu yang mungkin berpikir terlalu berlebihan. Tapi bukannya banyak yang bilang, jika kau harus terus untuk berpikir positif," sahut Revan.
"Eh?" Diana menatap Revan. "Apa kau mengatakan supaya aku berharap yang baik?"
"Terserah kau menganggapnya apa," kata Revan.
"Tapi bukannya semakin kau berharap nanti akan semakin sedih saat kejadiannya tak seperti harapanmu." Diana berkata dengan melihat ke arah lain.
Kevin adalah temannya yang berharga.
"Jangan lupakan juga jika semakin berharap nanti semakin gembira jika yang terjadi sesuai harapan." Revan membalas perkataan Diana.
"Tapi tetap saja.."
"Maka jika kau memutuskan percaya pada sesuatu, kau juga sebaiknya menduga kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Karena memang tidak semua kenyataannya selalu seperti harapan, tapi jika kau sudah menyiapkan diri kau hanya perlu menjalaninya saja meski awalnya berat."
Diana diam menyimak perkataan Revan. Ia kemudian tersenyum.
"Aku baru tahu kau bisa menasehati orang," sahut Diana.
"Apa kau memujiku?" Revan mengerutkan keningnya. Dalam pikirannya menebak apa Diana sedang mengejeknya atau tidak.
"Terserah kau menganggapnya apa." Diana meniru perkataan itu dari Revan yang sebelumnya berkata seperti itu.
"Yang pasti aku merasa kagum," lanjut Diana.
Revan tertegun. Tentu Diana tak sedang mengejeknya saat ini.
"Aku mengerti kau ingin membuatku tenang. Jadi jika sesuatu terjadi, yang perlu dilakukan hanyalah menjalaninya saja. Tapi selama kita bisa melakukan sesuatu maka lakukanlah, itu kesimpulannya kan?" lanjut Diana lagi.
"Yah, begitulah. Meski sebenarnya ada juga beberapa hal yang mungkin tak bisa di perbaiki meski sudah melakukan apa saja," kata Revan memelan diakhir kalimatnya.
Diana tertegun. Kalimat terakhir dari perkataan Revan entah kenapa bisa menusuk hatinya.
Tentang orang terdekat yang kini tak lagi di sampingnya.
Sebenarnya kalimat itu dimaksudkan untuk siapa. Untuk Diana? Untuk Revan? Atau tanpa disadari untuk mereka berdua?
*****
Diana menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi panjang. Ia memandang langit yang sudah menandakan waktu siang hari.
Tiba-tiba ada beberapa orang gadis mendatangi Diana. Otomatis Diana mengalihkan perhatiannya dari langit dan berpindah melihat pada mereka. Diana menghitung jumlah mereka, ada tiga orang.
"Hai, Diana," sapa salah satu dari mereka bertiga.
Kemudian Diana baru menyadari siapa ketiga gadis ini. Mereka adalah teman seangkatannya di sekolah.
"Oh, hai," balas Diana.
"Kami lihat kau ke sini dengan seseorang," kata salah satu mereka.
Diana langsung mengerti siapa yang mereka maksud.
"Benar." Diana tidak berbohong.
"Apa kau berkencan dengan Revan?" yang lain bertanya.
Diana melotot mendengar pertanyaan itu. ia terkesiap.
"Tidak... Bukan, kami hanya teman saja." Diana menjawab dengan cepat dan sedikit panik.
"Eh, benarkah?" tanya mereka dengan nada yang seolah terdengar senang.
Diana mengangguk.
"Tapi kenapa, ya? Padahal banyak yang mau berteman dengannya tapi tak ada yang bisa mendekati Revan. Bahkan teman sekelasnya juga tak terlalu akrab. Tapi kau yang berbeda kelas bahkan bisa dekat dengannya."
Wajar jika mereka berpikir yang aneh-aneh. Revan adalah siswa populer dan Revan tak pernah dekat dengan siapapun. Apalagi saat ini Revan hanya berdua dengan Diana tanpa Kevin. Diana sadar itu.
Memang benar yang mereka katakan. Kenapa Revan begitu saja pada Diana?
"Jawabannya sederhana. Aku hanya merasa tak nyaman saja jika terlalu akrab dengan mereka. Karena itu aku tak ingin didekat mereka. Bukankah semua orang hanya ingin dekat dan berteman dengan orang yang membuat mereka nyaman?" sahut sebuah suara di samping mereka.
Diana spontan menengok ke samping. Ia melihat Revan sedang memegang dua minuman gelas kemasan yang cukup besar ukurannya.
Tentu para gadis terkejut dengan kehadirannya. Ketiga gadis itu secara bersamaan menyebut nama Revan.
Revan mengernyit tak suka. Ia langsung menyerahkan satu gelas minuman kepada Diana.
"Eh?" Diana tak langsung menerima.
Revan mengerakkan alisnya bermaksud menyuruh Diana mengambil minuman yang ia sodorkan.
Akhirnya Diana dengan ragu mengambil minuman itu.
Tadi Revan mau membeli minuman tapi Diana tak menemaninya dan memilih duduk beristirahat.
Ia mengeluh capek, karena itu Revan pergi sendirian. Padahal dari tadi Diana yang terus mengajak Revan berkeliling di taman hiburan.
Setelah Diana memegang minuman yang diberikan Revan, tangannya yang lain tiba-tiba ditarik.
Diana tak mengerti yang terjadi hingga akhirnya ia sudah menjauh dari tiga gadis teman sekolahnya.
Pelaku yang menarik tangannya masih terus berjalan tanpa melepas genggaman di tangan Diana. Diana menoleh ke arah tiga orang gadis tadi yang ternyata sekarang melihat mereka berdua dengan aneh.
Entah apa tatapan mereka, yang pasti itu membuat Diana tak nyaman.
Sebenarnya dari awal sejak ia bersama Revan ia sudah tahu jika ia akan diperhatikan oleh ada teman sekolahnya yang melihatnya. Bahkan sejak mereka pergi bersama di hari libur yang pertama.
Tapi ini pertama kalinya ia didatangi langsung oleh mereka para penggemarnya.
Diana berpikir terlalu jauh hingga akhirnya ia berpikir apakah aku akan mengalami pembully-an?
Diana merinding dengan pemikirannya sendiri.
Kembali dari alam pikiran ke kenyataan. Diana masih merasa kehangatan di tangannya. Ternyata tangannya masih di genggam Revan. Diana berhenti melangkah. Hal itu membuat Revan ikut berhenti juga.
Rasanya aneh, saat tangan satu merasa dingin karena minuman dan satunya lagi hangat karena digenggam.
Revan membalikkan badannya melihat Diana yang menunduk melihat ke arah genggaman tangannya. Revan segera melepaskan cengkeram tangannya dari tangan Diana.
Diana mengerjapkan matanya setelah merasa kehangatan di tangannya menghilang.
Diana sadar mereka dalam keadaan yang canggung langsung mengalihkan keadaan.
"Eh, kau memberikan ini padaku? Kau membelikan ini untukku?" Diana bertanya mengurangi rasa aneh yang dirasakannya.
"Apa?" Revan balik bertanya seolah menjadi orang bodoh.
"Minuman ini?" Diana mengangkat minuman di tangannya guna menunjukkan pada Revan maksud perkataannya.
Seingat Diana, ia tidak meminta dibelikan minuman pada Revan tadi. Ia tidak menitip apa pun pada Revan.
"Kalau kau tidak mau, sini kembalikan padaku."
"Eh?!" Diana merengut ketika Revan mengulurkan tangan lalu mengambil kembali minumannya.
*****