"Selain cita-citamu itu, apa kau menginginkan sesuatu yang lain?" tanya David lagi pada Diana.
"Seperti?"
"Hm, seperti hidup bersama lelaki yang kau cintai?" kata David membuat Diana mengerutkan keningnya.
"Keinginan seperti itu?"
"Eh, bisa juga seperti kau ingin melakukan sesuatu untuk jangka panjang." David sadar telah menanyakan hal aneh.
Diana menatap David lama dan menjawab, "Aku ingin selalu bersama kakak."
David tertegun.
"Begitu, kah?"
"Kenapa?" Diana tak mengerti, mengapa ia merasa David ragu dengan ucapannya.
Mungkin ini jawaban yang tidak tepat tapi Diana jujur. Saat ini Diana tak ingin ditinggalkan.
David mengangguk, "Baiklah. Kau cepat tidurlah setelah aku keluar dari kamarmu."
Diana tak langsung memejamkan mata. Ia masih menatap David yang membantu menaikkan selimut menutupi tubuh Diana.
Lalu David keluar, barulah Diana memejamkan matanya seperti perintah kakaknya.
Diluar pintu David sedang bersandar di pintu kamar Diana.
'Aku ingin selalu bersama kakak.' David memikirkan perkataan Diana itu. Namun kemudian David mengingat ucapan dokter Claudia.
*****
"Diana masih tidak bisa menerima kepergian orangtua kalian. Bagi orang lain sepertimu David, mungkin menganggap ini berlebihan, karena kenyataannya kau bisa menerima hal ini tak seperti adikmu."
"Alasannya Diana begitu adalah karena sejak kecil dia terlalu bergantung pada orang tua kalian. Bukan seperti anak manja, ia hanya menetapkan orang tua sebagai tujuan hidupnya. Diana seperti robot yang di beri sistem untuk mengikuti atau patuh pada orang tuanya. Begitu tujuannya hilang, dia bisa berantakan atau bahkan hancur."
"Sebelumnya aku mengira dia bisa membaik jika bertemu orang tua kalian. Tapi ternyata tak sesederhana itu. Karena jika memang sesederhana itu, Diana tak mungkin mengalami trauma karena interaksi Diana dan orang tuanya yang seperti itu banyak terjadi pada orang lain tapi mereka tak mengalami trauma berlebihan."
"Pola pikir Diana berbeda, itulah akar permasalahan ini."
"Menurut anda bagaimana menghadapi hal ini?" David bertanya.
"Diana harus menemukan 'tujuan' yang baru. Aku tak bisa menyimpulkan apa tepatnya itu. Namun mungkin bisa jadi seorang pengganti atau keinginan hati yang dalam."
"Apa aku bisa jadi kemungkinan itu?"
"Mengenai hal itu, aku tidak menjamin. Karena kenyataannya dia tetap mengalami ini bahkan ketika kau ada. Tapi aku tahu kau bisa menjadi sandarannya. Kau harus disisinya, karena jika kau juga pergi dia akan trauma lebih berat. Walaupun begitu, Diana harus menemukan 'tujuan' sebelum kau tak lagi bisa terus jadi sandarannya jika keadaan memburuk. Aku akan berusaha membantu dia menemukan sesuatu."
"Apa pola pikir Diana tak bisa diubah?"
"Aku tak menemukan caranya. Ada beberapa tapi itu berefek kecil, dan tak bisa secara permanen."
*****
Diana melesat melewati jalan dengan menggunakan sepedanya. Jalanan menuju sekolah pagi hari ini masih sepi karena memang masih pagi buta.
Tepat saat Diana melihat gerbang sekolahnya, ia juga melihat sebuah mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Ada seseorang yang keluar dari mobil itu.
Melihat seseorang itu, tiba-tiba Diana teringat hutang budinya pada orang itu.
Mobilnya lalu pergi menjauh setelah orang itu masuk ke sekolah. Diana juga kemudian masuk ke sekolah melewati gerbang dengan masih bersepeda.
Mengayuh menuju parkiran khusus sepeda, ia lalu memarkirkan sepedanya di tempat biasanya.
Setelah kegiatan di parkiran, Diana segera mencari seseorang yang tadi datang sebelum dirinya. Diana menemukan orang itu menuju salah satu gedung sekolah. Mungkin menuju kelasnya.
"Hei," sapa Diana sambil menepuk pelan bahu orang itu. Orang itu menghentikan langkahnya dan melihat siapa yang menepuk pundaknya.
"Kau," ucap orang itu.
Diana mengangguk.
"Ini aku. Tak ku sangka ada orang lain yang datang ke sekolah lebih awal dari pada aku."
Orang itu hanya mengangguk saja sebagai balasan dan tak tahu harus berkata apa sebagai balasan.
"Kau sudah mempertimbangkan apa yang kau inginkan? Kau tahu, aku berhutang padamu," ucap Diana mengingatkan Revan tentang kecelakaan di tangga sekolah.
"Oh itu. Aku sudah memikirkan tentang hal ini." Diana fokus mendengar apa keinginan Revan agar tahu bagaimana membalas budi.
"Tentang hal ini, kau tak perlu melakukan apapun. Ini hanyalah kecelakaan."
"Tapi-" ucapan Diana terputus.
"Dan kau juga sebenarnya sudah membantuku. Saat itu aku pingsan di UKS kau yang bertanggung jawab bahkan menjagaku. Oh ya, kau juga mengambilkan tasku dan mengantarku menunggu jemputan saat itu."
Diana menebak-nebak ucapan Revan selanjutnya.
"Jadi aku rasa sudah adil sekarang," ucap Revan memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan tersenyum agak canggung.
"Dan terimakasih juga."
Diana tak yakin Revan ternyata bisa tersenyum pada orang lain.
Dia yang dulunya sensitif dan mudah emosi setiap hari pasti bertengkar dengan orang lain, sekarang dia tersenyum? batin Diana.
Diana tahu itu memang bukan hal yang mustahil tapi tetap saja Revan yang tersenyum itu sangat langka.
Revan memasukkan tangannya kedalam saku celana dan tersenyum canggung. Ia jarang berterima kasih kepada orang lain.
Ternyata gerakan sok cool dengan memasukkan tangannya ke dalam saku celana adalah bentuk pengalihan rasa gugupnya.
Diana menghembuskan napas geli. Hal itu menambah kegugupan Revan yang anti sosial.
"Oke," balas Diana mengangguk dan mulai melangkah.
Revan memperhatikan Diana yang berjalan menjauh.
Saat Diana berjalan langkah kelima, tiba-tiba Diana membalikkan badannya. Yang awalnya membelakangi Revan kini menghadap ke arah Revan. Sekarang mereka saling berhadapan.
"Oh ya," Diana buka suara.
"Dari awal aku ingin menanyakan ini."
Revan menunggu ucapan Diana.
"Apa kau mengenaliku saat kau pertama kali bertemu denganku?"
Revan diam sejenak kemudian berkata, "Maaf, aku-"
"Tak apa aku sudah menduganya." Diana tak terlihat marah.
"Tapi kau tahu? Aku sudah mengenalmu saat pertama kali kita bertemu. Kita pernah satu sekolah saat sekolah menengah pertama."
Tubuh Revan kaku. Ia menegang mendengar kata-kata itu. Saat sekolah menengah pertama, ia pasti dicap buruk oleh kebanyakan orang yang mengenalnya.
"Ternyata kau sudah banyak berubah."
Revan kali ini mengepalkan tangannya yang berada di saku celana.
Revan menunduk dan membatin.
Jadi karena itu dia terkesan tak tertarik denganku saat kami bertemu di perpustakaan, dia sudah tahu sifat burukku dulu.
"Kau dulu orang yang baik sekarang berubah semakin baik, menjadi orang yang sangat baik."
Apa?! Revan yakin Diana salah bicara atau mungkin Revan yang salah mendengarnya.
Revan masih memproses ucapan Diana saat Diana melambaikan tangannya.
Revan tertegun. Diana melambai sambil kembali melangkah beberapa kali tapi dengan melangkah mundur.
Diana juga memberikan Revan senyuman teduh. Senyuman tanpa beban yang jarang muncul sejak kepergian orang tua Diana.
Revan membuka mulutnya, "Tunggu."
Diana diam mendengar ucapan Revan, bermaksud menunggu ucapan Revan selanjutnya.
*****