"Aku pernah bertemu dengannya sekali. Saat itu aku menabraknya setelah mengantarmu di hari pertama kau sekolah."
"Menabrak?" Revan menajamkan pandangannya. Itu terdengar seperti kecelakaan.
Memang kecelakaan tapi kecelakaan kecil.
"Maksudku menabraknya saat berjalan kaki pergi dari sekolahmu. Dia tidak memperhatikan jalannya karena terlalu fokus membaca." Valen menjelaskan tergesa karena sedikit panik.
Revan mengiranya menabrak dengan mobil.
"Kau tidak bisa menghindar?"
Valen tersenyum, "Aku? Tentu saja bisa."
Revan sudah menghilangkan tatapan tajamnya tapi sekarang menyipitkan matanya lagi. Ia mengerutkan kening.
"Aku sengaja membiarkan dia menabrakku. Dia kelihatan terlalu fokus membaca. Saat itu tak ada orang atau siswa lain. Mungkin karena itu dia tidak memperhatikan jalan. Aku ingin melihat reaksinya, dan selanjutnya dia terkejut, sangat membuatku terhibur."
Revan memandang malas pada Valen.
Mungkin Diana terlihat terkejut tadi karena melihat Valen.
"Melihat dia serajin itu membaca buku, seperti seorang kutu buku saja. Tapi bagaimana menurutmu?" tanya Valen sambil melihat Diana yang datang mendekat sambil membawa sebuah tas.
"Yah, kurasa kau benar." Revan mengingat tentang Diana yang selalu terlihat di perpustakaan olehnya.
Diana berdeham, "Ini tasnya," ia tidak mengerti perkataan Revan yang terakhir. Dan Diana tak mau tahu, ia tidak terlalu memedulikannya.
Revan menerima tasnya lalu gantian menyerahkan tas yang ia bawa, "Ini."
"Terima kasih. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan tas yang tertukar ini jika kau tidak datang mencariku. Aku tidak tahu alamat rumahmu."
"Tak masalah. Lagipula kami datang kesini juga untuk makan malam," balas Revan.
"Em, bagaimana keadaanmu?"
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja," jawab Revan.
Revan tahu maksud Diana. Untungnya Diana tak bertanya dengan kalimat yang merujuk pada kecelakaan di tangga.
"Mungkin ini tidak sopan, tapi bolehkah saya bertanya apa hubungan..." Diana melihat Valen dan Revan bergantian. Ia penasaran dan tanpa sadar bertanya.
"Kami adalah saudara kandung. Aku kakaknya Revan." Valen menjawab dengan tersenyum ramah.
Diana mengangguk mengerti.
"Baiklah, aku pamit mau kembali bekerja," jawaban itu seperti dugaannya.
Pantas saja aku merasa familier dengannya ketika bertemu disekolah, ternyata dia adalah kakaknya Revan. Wajah mereka memang mirip, ucap Diana dalam hati.
Revan mengangguk mempersilahkan Diana pergi.
Lalu setelah Diana pergi Valen buka suara.
"Omong kosong. Kau kesini tujuan utamanya adalah karena tas yang tertukar. Mengapa kau tidak mengakuinya dan mengaku makan malam?" Valen mengerakkan alisnya.
"Tapi yang aku katakan tadi tidak salah. Kita makan malam di sini." Revan membalas.
Akan sangat merepotkan jika kakak tahu apa yang terjadi tentang kecelakaan di tangga sekolah, batin Revan merasa lega.
Untungnya Valen tidak curiga dengan pertanyaan Diana tentang kondisinya. Jujur saja Revan masih merasa sedikit sakit di kepala dan punggungnya.
Tapi Revan bisa mengatasinya dan ia mau ke dokter untuk pemeriksaan luka ringan ini untuk berjaga-jaga.
"Oh iya. Namanya Diana ya? Dia pasti anak cerdas. Apakah dia saingan mu disekolah?"
Revan berpikir seperti baru menyadari sesuatu.
"Aku tidak menganggap bahwa dia adalah saingan ku karena aku tidak peduli. Tapi kau benar, dia memang cerdas kalau tidak salah dia peringkat pertama di kelasnya."
"Begini, coba bayangkan dia akan sekelas denganmu lalu dia merebut posisi peringkat pertama yang sudah kau dapatkan? Apa kau tetap tidak peduli?" Valen menyeringai.
"Aku akan mempertahankan peringkatku," jawab Revan setengah cemberut.
"Hahaha. Kau tidak menjawabnya dengan benar, aku bilang jika itu terjadi apa kau tetap tidak peduli? Tapi tak apa. Aku sudah tahu jawabannya."
Revan makin cemberut karena Valen tertawa. "Kau sengaja mengerjaiku."
"Tidak, aku hanya bertanya asal saja dan aku penasaran jawabannya," ucap Valen membalas dengan santai.
"Kau memang seperti anak kecil. Rasa ingin tahumu terlalu berlebihan. Otakmu belum terlalu berkembang." Revan berkata sambil menunjuk kepalanya.
Revan membalas kejengkelannya dengan ejekan.
Urat di pelipis Valen menegang. Valen jelas sekali kesal dengan ucapan Revan yang bahkan tak merasa bersalah seolah mengatakan hal biasa.
Beruntung pesanan mereka datang dan mencegah Valen melempar Revan keluar restoran lewat dinding kaca disebelah mereka.
Walaupun begitu, Valen tak akan melepaskan Revan begitu saja.
Lihat saja nanti saat mau pulang! Valen mulai memikirkan strategi balas dendamnya.
*****
"Sekarang kakak sudah pulang belum, ya?" Diana bergumam.
Saat ini Diana keluar dari sebuah supermarket setelah membeli beberapa bahan makanan. Ia berjalan kembali ke restoran untuk mengambil sepeda miliknya.
Jarak antara restoran dan supermarket tidak terlalu jauh sehingga Diana memilih tidak membawa sepedanya.
Ia hanya enggan memarkirkan sepedanya di parkiran supermarket yang penuh dengan motor atau mobil.
Tiba-tiba jalan Diana terhenti.
"Pesawat diperkirakan jatuh pada pukul 18.15," terlihat sebuah tayangan berita muncul di layar LED display yang menempel di bangunan.
Diana melihat berita itu dengan napas berat. Tubuhnya perlahan-lahan bergetar. Ia berusaha keras untuk tetap memegang plastik belanjaan yang tiba-tiba terasa sulit, padahal belanjaan itu tidak terlalu berat.
*****
Revan mengumpat dalam hati disepanjang jalan. Ia kesal pada kakaknya yang meninggalkannya saat membayar makanan mereka.
Revan mengira Valen pergi menunggunya diluar restoran, tapi ternyata Valen juga pulang duluan dengan mobilnya.
Revan kesal karena Valen tidak mengatakan apa-apa dan langsung pergi. Revan tak masalah jika Valen memberi tahu karena ia tentu bisa pulang sendiri.
Hanya saja Valen membuat Revan menghabiskan waktunya untuk mencari kakaknya seperti orang bodoh.
Revan terus melangkahkan kakinya sampai ia melihat seseorang.
Dia? Revan membatin setelah melihat Diana berdiri mematung memperhatikan sesuatu.
Revan menyadari tubuh Diana yang bergetar. Selanjutnya Revan terkejut dengan pemandangan yang ia lihat.
Air mata Diana mengalir tanpa hambatan di pipinya. Diana menangis tanpa suara tapi dengan tubuh bergetar.
Spontan Revan ingin mendekat. Ia mulai melangkah satu langkah dan langkah selanjutnya terhenti.
Revan melihat Diana menegang seperti menahan napas lalu sedetik kemudian menghapus air matanya dan berbalik.
Revan selanjutnya melihat seseorang yang membuat Diana berbalik. Orang yang menepuk pundak Diana.
Orang itu mengatakan sesuatu pada Diana yang dibalas Diana sambil tersenyum. Lalu Diana membuka mulutnya berbicara pada orang itu seperti berada dalam kondisi biasa. Orang itu juga kemudian tersenyum pada Diana.
*****
"Eh, orang itu seperti Diana," gumam Kevin melangkah mendekati orang itu lalu menepuk pundaknya.
Tampaknya dia agak terkejut merasakan tepukan di pundaknya.
"Ternyata memang Diana," kata Kevin.
Diana tersenyum, "Kevin? Kukira siapa."
Kevin tersenyum, "Kebetulan sekali, ya? Sepertinya ini tanda kalau kita berjodoh."
Senyum Diana yang memang sudah dipaksakan kini semakin terlihat aneh karena perkataan itu.
"Aku harus pulang sekarang." Diana segera menjauh dan melanjutkan perjalanan yang tadi tertunda.
"Eh, baiklah. Hati-hati!" Kevin melambai pada Diana walau tahu Diana tak melihatnya.
Kevin menghembuskan napas lalu ia juga pergi. Ia juga harus segera pulang.
*****
Revan berdiri di tempat Diana tadi berhenti. Ia melihat kearah yang sama dengan Diana dan melihat berita yang masih membahas kecelakaan pesawat. Revan mengerutkan keningnya.
Tadi sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku, Revan mengangkat bahu.
Mungkin mereka tidak melihatku karena terlalu jauh.
Malam itu Revan yang tidak pernah peduli dengan orang lain mulai merasakan perasaan berbeda. Ia memiliki firasat akan ada hal terjadi diluar perkiraannya.
Revan sekali lagi menghembuskan napas. Ia kemudian menengadah kepalanya melihat langit malam yang gelap tanpa sedikitpun cahaya bintang.
Kenapa aku malah repot memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan denganku. Masalah pribadi saja sudah membuatku...., Revan menggelengkan kepalanya.
Revan memutuskan mengambil headset dari tasnya. Ia lalu berjalan menuju halte sambil mendengarkan musik. Pikirannya menjadi lebih tenang.
*****