"Sumpah gue gak paham!" gerutu Arga.
Rian yang tengah menjadi teman curhat Arga itu pun hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Tentu saja ini adalah salah Arga sepenuhnya! Bagaimana bisa ia mengatakan sesuatu yang seperti itu pada Mika?!
"Coba, lo pikir, dimana letak kesalahan gue? Sejak kejadian itu, telepon gue nggak pernah di angkat, gue ke rumahnya, gak pernah ada orang! Mana banyak banget yang harus diurus, ini yang mau nikah kami berdua, bukan gue doang. Nyusahin emang!"
"Lo bisa sedikit lebih peka nggak, Bang?!" sergah Rian.
Arga terdiam. Ia melongo mendengarkan ucapan yang terlontar dari mulut Rian.
Dimana titik ketidakpekaannya itu?
"Yang jelas dong lo kalo ngomong!" seru Arga kesal.
"Lo itu tahu sifatnya makhluk berjenis perempuan, 'kan?! Mereka itu diciptakan terlalu peka, baperan, dan selalu ingin diperhatikan! Nah, dengan lo cuek bebek, bodo amatan sama problem-nya dia, tentu dia bakal baper, kesel, badmood! Paham nggak?!"
Arga merengut kesal, ia tidak bermaksud cuek atau masa bodoh dengan permasalahan itu. Hanya saja, untuk sesuatu yang seperti itu, kenapa harus diributkan?
"Besok jadwal dia, masuk kelas siang. Lo kalo mau ketemu dia, jemput aja pas balik ngampus!" seru Rian, lalu beranjak menuju pintu keluar dari ruang tengah.
***
"Lo masih nyuekin dia, Mi?" tanya Jessi begitu mereka keluar dari kelas.
"Ya abis, sebel banget aku! Ucapan dia itu kek seolah-olah itu nggak penting banget gitu loh! Ya secara aku ini calon istrinya, bisa gitu kan dia pura-pura peduli, terus paling enggak, dengerin dulu apa yang mau aku omongin!"
Jessi menggeleng pelan. Ia tidak tahu bagaimana sifat Arga, tapi mengingat sifat Mika, bisa saja Mika yang baper dan kesal sendiri.
"Mi, lo yakin gak salah tangkep maksud dari ucapan Arga? Bisa aja laki lo itu gak bermaksud gitu, lo nya aja baper! Sensi!"
"Nggak! Pokoknya dia yang salah! Udah ah, pulang yuk! Aku mau makan, laper banget!"
"Emang di rumah lo ada makanan?!"
Mika berhenti melangkah, dan merengut mengingat hanya ada mie instan di rumahnya.
"Tenang aja, minta aja traktir laki lo!"
"Apaan sih? Ngapain juga minta dia nraktir? Aku punya uang sendiri!"
"Ngobrol sambil makan itu biasanya lebih ngalir daripada ngobrol dalam keheningan! Sana, udah ditungguin tuh!" Jessi memberi isyarat pada Mika untuk melihat ke arah yang sedang ia pandang.
Mika pun menghela napas begitu memahami maksud dari ucapan Jessi.
Arga bersandar pada mobilnya dengan begitu santai. Tidak tahukah ia, bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian para wanita di sana? Terlebih para senior Mika.
"Gue balik duluan ya! Ntar malem gue ke rumah lo! Gue bawain ceker saya sayap bakar!"
Setelah mengatakan itu, Jessi pun berlalu meninggalkan Mika.
Dan, dengan enggan Mika melangkah menghampiri Arga.
"Mau jemput Rian atau aku?" tanya Mika tanpa basa-basi.
"Kamu!"
Mendengar jawaban Arga, Mika pun langsung membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya. Gadis itu duduk manis di dalam sana.
"Makan yuk, Mas! Laper!" seru Mika dengan nada yang tidak santai.
Arga yang baru saja duduk, hanya tersenyum dan langsung melajukan mobilnya keluar dari area kampus.
"Mau makan apa?" tanya Arga pelan.
"Terserah!"
"Mau steak?"
"Enggak ah!"
"Mau sate?"
"Nggak."
"Bakso? Kamu kan suka bakso?!"
Mika menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Ayam geprek? Gurame bakar? Cumi krispi?" Arga dengan asal menyebutkan beberapa nama makanan yang terlintas di otaknya.
Mika suka makanan yang digoreng, atau pun bakar, jadi ia sebutkan makanan yang mungkin akan gadis itu suka.
"Enggak mau!" sahut Mika pelan.
"Tadi kamu bukannya bilang terserah?!" protes Arga.
"Iya, terserah aja, yang penting makan!" ketus Mika.
"Kalo emang terserah, sebut salah satu nama makanan!" Arga mulai kesal.
"Nasi goreng!" jawab Mika asal.
Arga menghela napas lega, ia lalu melajukan mobilnya ke salah satu kafe yang berada tak jauh sana.
***
Arga terdiam, ia menunggu dengan sabar sampai Mika menyelesaikan makannya. Gadis itu terlihat sangat lapar, terbukti dengan sepiring nasi goreng yang hampir habis, dan dua gelas es jeruk yang sudah hampir kosong.
"Sekarang, kalau mau ngomong, ya ngomong aja." celetuk Mika setelah menyeruput sisa es jeruk di hadapannya.
"Kamu marah kenapa?" tanya Arga tanpa basa-basi.
Mika menghela napas panjang. Amarahnya sedikit mereda karena perutnya yang sudah terisi penuh.
"Simpel aja! Mas itu milik aku, karena Mas calon suami aku! Begitupun sebaliknya! Harusnya, Mas juga merasa aku ini milik Mas! Tapi, ternyata, Mas sama sekali nggak peduli tentang rumor yang beredar mengenai aku, jadi bisa disimpulkan kalau Mas itu enggak menganggap aku penting. Mas enggak berpikiran sama seperti aku."
Arga menggeleng pelan. Ia sedikit terkejut mendengar penjelasan Mika. Siapa sangka gadis itu akan berpikir sejauh itu?!
"Kamu berpikir terlalu jauh! Bukan karena saya nggak peduli sama kamu! Tapi, sebelum kamu telepon, Rian sudah lebih dulu menjelaskan duduk perkaranya. Jadi, karena saya sudah tahu yang sebenarnya, saya nggak merasa khawatir, ataupun curiga! Dan karena saya sibuk saat itu, saya minta kamu buat tenang dan nggak perlu mempeributkan masalah itu lagi, karena itu akan membuang-buang waktu, toh saya kan sudah tahu yang sebenarnya terjadi!"
Mika merengut kesal. Penjelasan Arga sama sekali tidak merubah penilaiannya terhadap pria itu.
"Aku cuma ingin merasa di perhatikan, ingin merasa di anggap penting sama pasangan! Apalagi ini calon suami! Jangan-jangan, besok kalau kita udah nikah, Mas juga kayak gini, masa bodoh sama apa yang terjadi ke aku?!" Mika menatap tajam kedua manik mata Arga saat mengucapkan kalimat itu.
Cukup lama Arga terdiam, ia mengingat kalimat yang Rian ucapkan sebelum Arga meninggalkan rumah, tadi.
'Jangan terus membantah ucapan Mika, karena itu akan memperburuk keadaan! Cukup minta maaf dan ngaku salah, biar dia tenang!'
Arga menatap lembut gadis yang duduk di hadapannya itu.
"Maaf, saya salah. Lain kali, saya akan berhati-hati, dan lebih memperhatikan kamu. Ini pertama kalinya saya dekat dengan perempuan, jadi maaf kalau saya banyak kurangnya!"
Arga sudah berusaha melunak. Tapi, melihat raut wajah Mika, sepertinya ia tidak goyah mendengar permintaan maaf Arga.
"Kan kita udah sepakat, kalau kita akan berusaha mencintai satu sama lain. Ini juga bagian dari mencintai, Mas! Mempedulikan satu sama lain! Bahkan kalau Mas udah tahu apa yang terjadi, atau Mas denger dari orang lain, tetep aja Mas harus dengerin penjelasan dari aku!"
Arga tersenyum mendengar ucapan Mika. Apa yang gadis itu ucapkan memang cukup masuk akal.
Sekali lagi, Arga salah menilai gadis itu. Ia pikir, Mika hanya gadis manja, kekanak-kanakan, dan belum dewasa. Akan tetapi, gadis itu bisa berpikir jauh ke depan, dibandingkan dirinya.
"Jangan senyam-senyum aja! Lain kali, jangan kayak gitu lagi, Mas! Mungkin bagi Mas, aku ini lebay, baperan, tapi terserah aja! Aku cuman mau Mas tahu apa yang aku pikirin!"
Arga mengangguk pelan.
"Iya, makasih." Arga berujar pelan.