Arga hanya bisa terdiam menatap deretan foto wanita cantik di hadapannya dengan tatapan tak percaya.
Mengapa ibunya bersikeras untuk menentang keputusannya menikahi Mika?
Tidakkah ibunya mengerti bahwa menikahi gadis itu adalah satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari rasa bersalah?
"Lihat Arga, dia ini model, loh! Lulusan UI, cantik, orang tuanya itu temen mama waktu kuliah," ucap sang mama dengan mata berbinar-binar sambil menunjuk salah satu foto tersebut.
"Kalau kamu nggak suka yang tadi, gimana kalau ini? Dia ini dokter kecantikan! Dia hanya satu tahun lebih muda dari kamu."
"Cukup, Ma!" seru Arga setengah frustrasi.
"Ma, apa Mama tahu betapa sengsaranya Arga setiap kali membayangkan saat-saat di mana ayah Mika meregang nyawa? Dia meninggal karena Arga, Ma!" lirih Arga.
Mama Arga langsung menggeleng dengan cepat, dan menatap tajam putranya itu.
"Itu bukan salah kamu! Itu kecelakaan! Sudah menjadi takdir bahwa dia meninggal dalam kecelakaan itu!" Mama Arga masih bersikeras.
"Takdir? Kalau bukan karena Arga, kecelakaan itu nggak akan terjadi! Ayah Mika nggak akan meninggal! Harus dengan cara apa Arga jelasin ini ke Mama?!"
"Arga, dengerin mama! Mama nggak mau, karena rasa bersalah kamu ini, hidup kamu jadi hancur karena menikahi orang yang salah! Kita nggak pernah tahu, dengan cara apa gadis itu dibesarkan!"
Arga menggeleng lemah.
"Mika gadis baik!" tegas Arga.
"Baik saja nggak cukup! Dia harus berpendidikan tinggi, punya etika yang baik, jelas asal-usulnya, menikah itu nggak boleh sembarangan, Arga!"
Perdebatan panjang mereka membuat Arga merasa lelah. Membujuk ibunya tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
"Memangnya kamu nggak bisa menebus rasa bersalah kamu dengan cara lain? Misalnya ngasih kompensasi, atau biayain dia sampai dia menikah, atau apa gitu?!" seru sang mama dengan kesal.
Sekali lagi Arga menghela napas panjang dan sangat berat. Memangnya apa yang bisa ia berikan untuk menggantikan kepergian ayah Mika?
Ini nyawa seseorang! Tidakkah kompensasi terlalu kasar? Lagipula, Mika bukan orang miskin, jika Arga memberinya uang, gadis itu akan semakin terluka.
"Ada satu cara lagi, untuk menebus semua dosa Arga pada Mika, Ma."
Mama Arga langsung menatap putranya itu dengan penuh antusias.
"Apa? Mama akan dukung asalkan kamu nggak menikah sama gadis itu!"
"Menyerahkan diri ke polisi." celetuk Arga dengan raut wajah, dan nada yang datar.
Mendengar apa yang putranya ucapkan, mama Arga langsung terduduk lemas di sofa, wajahnya langsung pucat pasi.
Rian yang kebetulan sedang mendengarkan percakapan ibu dan kakaknya itu hanya tersenyum tipis mendengar solusi terakhir Arga.
Jika Arga sudah membuat keputusan, ia akan melakukannya apa pun yang terjadi.
"Mama bantu Arga pilih, menikahi Mika, atau menyerahkan diri ke polisi?"
***
"Apa, Mas?" pekik Mika kaget.
"Kamu bisa mengajak satu atau beberapa orang buat nemenin kamu kalau kamu takut datang sendiri!"
Mika menggeleng cepat. Bukan itu masalahnya.
Bagaimana bisa Arga mengatur pertemua keluarga dengan begitu cepat? Jujur saja ia belum siap.
"Ini terlalu cepat, aku belum siap!" sahut Mika pelan.
"Lebih cepat lebih baik. Permintaan terakhir ayah kamu itu harus segera dilaksanakan. Nggak baik terus menunda!"
Mika tahu, karena sebelumnya ia sudah bertanya panjang lebar tentang wasiat ayahnya pada orang yang lebih paham.
"Gimana kalau mereka nggak suka sama aku?" tanya Mika ragu.
"Yang kamu nikahin itu saya, bukan orang tua saya!" sahut Arga tanpa banyak berpikir.
Ia tahu akan berat bagi Mika mengingat mamanya yang belum sepenuhnya memberi restu. Karena itu, ia berusaha meyakinkan Mika, bahwa meski mamanya tidak bersikap baik kepada gadis itu, ia akan tetap menjaga Mika.
"Bener juga sih, tapi aku takut aja kalau sampai orang tua Mas nggak suka sama aku."
"Nggak usah takut, kamu inget aja ucapan saya yang barusan. Yang akan kamu nikahin itu saya, yang akan menjaga kamu nantinya itu saya, bukan mereka. Jadi, nggak ada keharusan juga bagi mereka untuk suka sama kamu, karena itu nggak akan mempengaruhi apa pun."
Mika mengangguk paham, meski tentu saja ia sangat berharap orang tua Arga akan menerimanya. Tapi, ada baiknya juga jika ia memikirkan kemungkinan terburuk dalam hubungan mereka, agar setidaknya ia bisa menyiapkan diri.
"Saya, eh aku, mau ngajak kamu ke suatu tempat!"
Lamunan Mika seketika buyar saat mendengar deep voice miliki Arga. Ia lalu tersenyum tipis mendengar Arga yang masih saja kelupaan, dan sangat canggung saat mengatakan 'aku.
"Mas, kalau nggak nyaman pakai panggilan aku-kamu, ya udah nggak usah dipaksain! Nanti, kalau kita udah semakin deket, pasti berubah sendiri panggilan itu! Kalau kayak gini, malah jadi canggung tahu!"
Arga meringis lebar, menyadari betapa kakunya ia dalam hal seperti ini.
"Ya udah, maaf ya. Soalnya ini pertama kali saya deket sama perempuan!"
"Emang Mas nggak punya temen perempuan?"
Arga menggeleng pelan. Ia terlalu malas berada dekat dengan para makhluk berisik yang selalu mengganggunya itu.
"Kok bisa?" pekik Mika tak percaya.
"Ya bisa aja pokoknya!"
"Kalau saudara perempuan? Sepupu, atau siapa gitu?"
"Ada, tapi nggak deket juga, kalau ketemu paling cuman saling sapa habis itu udah!"
"Anyep banget hidup Mas!"
Arga terkekeh pelan mendengar komentar Mika tentang hidupnya. Anyep? Apa maksudnya itu Dingin? Ah, atau Hambar? Apa sih yang dia maksud?
"Oh iya, tadi Mas mau ajak aku ke mana?"
"Main bola!"
"Hah?"
"Tiap hari minggu, saya sama temen-temen suka main bola. Mereka itu sering ajak pacar atau istri, cuman saya aja yang belum pernah. Jadi, sekarang saya mau ajak kamu!"
Mika terdiam, namun beberapa detik setelahnya, ia langsung tertawa.
"Mas yakin mau ajak aku? Tapi, aku ini nggak paham sama sekali lho soal bola. Nanti Mas malu lagi," ucap Mika sambil menunjukan cengiran lebarnya.
"Satu-satunya kegiatan yang saya suka selain kerja, itu ya bola. Jadi saya mau berbagi aja ke kamu."
"Owh gitu, kalau Mas mau berbagi hobi Mas ke aku, aku boleh juga dong berbagi hobi aku sama Mas?"
Arga mengangguk, mengiyakan permintaan Mika.
"Aku itu seorang fangirl. Aku suka sama KPOP, bentar lagi, boygroup favorit aku ngadain konser di sini. Mas mau nemenin aku nonton konsernya, 'kan?"
Kedua mata Arga langsung terbuka lebar. Menonton konser di mana mayoritas penontonnya adalah perempuan yang hobi teriak-teriak? Luar biasa!
"Gimana Mas? Bagus juga lhoh, kita bisa saling memahami kesukaan masing-masing."
Ingin rasanya Arga menolak mentah-mentah, akan tetapi, ia adalah orang pertama yang mengusulkan hal ini. Akan sangat memalukan jika ia menolaknya.
"Boleh." Arga berujar pelan, setelah berpikir untuk waktu yang cukup lama.
"Kalau gitu, aku ke kamar dulu ya. Oh iya, aku harus pakai baju apa? Olahraga?"
"Pakai baju yang nyaman dipakai aja."
"Baju tidur?" tanya Mika dengan wajah polosnya.
Seketika itu juga, raut wajah Arga langsung berubah menjadi horor.
"Bercanda!" seru Mika, lalu menjulurkan lidahnya sambil mengerlingkan sebelah matanya.