Arga tersenyum begitu lebar tanpa ia sadari. Semuanya terlihat begitu sempurna dan sangat indah.
Rambut hitam yang tergerai, kulit seputih susu yang terlihat begitu bercahaya, gaun sederhana yang melekat sempurna di tubuh rampingnya, juga higheels yang begitu mempesona.
Arga tidak pernah menyangka, bahwa gadis polos yang begitu sederhana bisa berubah menjadi perempuan yang sangat anggun dan cantik.
"Kenapa lihatinnya gitu amat, Mas? Yokshi, aku udah tahu, pasti gak pantes banget ya aku dandan dan pakai gaun kayak gini? Emang sih, kelihatan kayak tante-tante. Haduh, harusnya nggak usah dandan aja ya, tampil apa adanya kan lebih bagus!" Mika langsung mengoceh panjang lebar.
Arga langsung menghela napas panjang begitu mendengar ocehan Mika.
"Siapa yang bilang kamu kayak tante-tante? Kamu cantik pakai gaun itu! Dan juga, dandanan kamu itu sama sekali nggak membuat kamu terlihat tua! Kamu cantik, Mika!" seru Arga pelan.
Mika memicingkan matanya, menatap tajam ke arah Arga. Dulu, ayahnya pernah bilang, untuk tidak mempercayai ucapan manis dari pria, karena pada dasarnya, selain ayah, semua pria itu serigala.
Ya, meskipun Arga ini terlihat seperti seseorang yang jujur, dan baik, tapi dia itu tetaplah pria. Dia tetaplah serigala.
"Mas mau modusin aku, ya? Kenapa muji-muji?" todong Mika.
Merasa Mika menyudutkannya, Arga hanya mampu menggeleng lemah. Ia tidak tahu di mana letak kesalahannya hingga membut Mika mendadak galak seperti itu padanya.
"Saya nggak modus! Modusnya besok aja kalau udah sah! Kamu itu lagi saya puji, kok malah marah?!" Arga menatap lembut manik mata Mika.
Mika tersenyum lebar. Sungguh, ia sangat menyukai jawaban Arga. Jika pria itu bersungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan, maka itu bagus! Berarti, ia memang terlihat cantik, jadi tidak perlu mengkhawatirkan penampilan lagi di depan calon mertuanya nanti.
"Eh tapi, kalau sepatu hak tingginya diganti flat shoes aja boleh nggak? Kan nggak lucu kalau nanti lagi jalan di depan mertua, terus kejengklak! Malu, Mas!"
Arga terkekeh pelan mendengar pemilihan kata Mika. Kejengklak? Apa tidak ada kata yang lebih lucu dari itu?
"Tuh, Mas pasti lagi ngetawain aku! Mas pasti langsung bayangin waktu aku kejengklak nanti! Astaga! Pakai sendal jepit ajalah!" Mika langsung merajuk.
Ingin Arga menghentikan kekehannya, namun melihat wajah Mika yang terlihat sangat lucu baginya itu, ia malah tertawa semakin keras.
***
Demi terlihat baik di depan calon mertuanya, Mika rela jalan seperti putri solo dengan higheels-nya. Sungguh, ia sampai menahan napas saat berjalan karena takut akan merusak keseimbangan, dan jatuh terjungkal seperti bayangannya.
"Mas, puter balik yuk," rengek Mika berbisik saat keduanya tengah berjalan menghampiri meja yang sudah keluarga Arga pesan di restoran itu untuk pertemuan pertama mereka.
Arga tersenyum tipis. Ia lalu menoleh ke arah Mika, dan menepuk pelan punggung gadis itu.
"Semangat!" bisik Arga.
Mendengar bisikan Arga yang sejujurnya tidak membuatnya semangat itu, membuat Mika langsung cemberut. Arga terlihat sedang basa-basi, atau ia bahkan terdengar sedang meledek Mika.
Beruntung ada Rian di sana. Jika ia tidak bisa nyambung mengobrol dengan calon mertuanya, setidaknya dia akan nyambung mengobrol dengan adik Arga karena mereka seumuran.
"Maaf Ma, tadi macet jadinya telat," ucap Arga sambil menarikkan kursi untuk Mika duduk.
Di detik itu juga, leher Mika terasa seperti tercekik. Entah hanya perasaannya saja, atau memang mama Arga tengah menatapnya dengan tatapan tidak suka.
"Bilang aja kalian telat karena kelamaan dandan!" ketus mamanya Arga.
Seketika, Arga, Rian, dan juga papa Arga langsung menoleh dengan kompak ke arah sang mama.
Mika langsung menyadarinya, bahwa ketakutannya itu terjadi juga. Mama Arga tidak menyukainya.
Karena mama mertuanya tidak menyukainya, tentu kehidupan pernikahan mereka tidak akan berjalan dengan baik-baik saja. Mama mertua pasti akan terus mencari kesalahannya, dan berusaha memisahkannya dari Arga. Akan tetapi, Mika sudah mempersiapkan diri sebelumnya.
Di dalam kebanyakan drama yang pernah Mika tonton, jika menantu selalu mengalah dan lembek kepada mertuanya, ia akan semakin tertindas dan menderita. Jadi, ia tidak ingin mengalah dan terlihat lemah. Ia tidak ingin menjalani hidup dengan tekanan mertua.
"Kok Tante tahu? Wah, hebat! Mika memang dandan lama, mencoba terlihat sebaik mungkin di depan Tante sama Om! Maaf ya kalau Mika justru membuat tidak nyaman karena terlambat!" sahut Mika dengan santainya.
Mama, dan papa Arga langsung terheran-heran mendengar jawaban Mika. Tentu saja itu bukanlah jawaban yang mama Arga harapkan. Dari mana keberanian gadis itu berasal? Bukankah seharusnya ia menunduk dan merasa menyesal karena telah membuat mereka menunggu?
Papa Arga langsung tersenyum senang. Ia cukup mengkhawatirkan hubungan mertua dan mantu itu. Ia takut Mika akan merasa tertekan karena sifat keras kepala, dak kekanak-kanakan istrinya itu. Namun, sepertinya ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan hal itu. Menantunya tidak selemah yang ia bayangkan.
"Kamu nggak perlu repot-repot seperti itu, Mika. Sebentar lagi, kita akan menjadi keluarga, jadi kami pasti menerima kamu apa adanya."
Mika langsung mengangguk, dan tersenyum lebar setelah mendengar ucapan calon papa mertuanya itu.
"Eh, ya nggak bisa gitu dong! Keluarga kita itu bukan keluarga sembarangan! Kalau ingin menjadi bagian dari keluarga kita, ya harus mengikuti aturan kita! Kalau nantinya dia benar-benar menyandang status sebagai istri Arga, dia harus memantaskan diri untuk itu!" seru mama Arga dengan sangat tegas.
Mika mengambil napas panjang, dan tersenyum semampunya.
"Maaf karena bertanya, memangnya, peraturan apa yang harus saya ikuti jika menjadi bagian dari keluarga besar Mas Arga?" tanya Mika dengan sangat serius.
Ia tidak suka berbasa-basi untuk sesuatu yang seperti ini. Secara tidak langsung, mama Arga telah menganggapnya tidak memenuhi kriteria untuk menjadi istri Arga dengan mengucapkan hal-hal seperti itu. Jadi, gadis itu ingin memperjelas segalanya.
"Menjadi sempurna! Memiliki sopan santun yang baik, memiliki penampilan yang pantas, unggul dal segala hal, jangan ada kekurangan sedikitpun!"
Belum apa-apa, Mika sudah merasa sesak napas. Tuhan saja tidak pernah memaksa hambanya untuk menjadi sempurna, kenapa manusia yang satu ini memaksanya untuk seperti itu?
Serius, memangnya ada, orang yang sempurna di dunia ini?
"Ma, jangan mulai! Ingat tujuan kita ada di sini!" sela papa Arga sebelum mama Arga membuka mulut.
Arga dan Rian hanya bisa terdiam. Ini adalah pertemuan keluarga secara resmi untuk pertama kalinya. Mereka tidak ingin merusak semuanya dengan pertengkaran. Begitupun juga dengan Mika, ia ingin menyanggah pendapat mama Arga tentang kriteria istri Arga, akan tetapi akan sangat canggung jika mereka berdebat di hari pertama.
Ia setuju jika menjadi seorang istri harus memiliki etika yang baik, akan tetapi, unggul dalam segala hal? Apa-apaan itu? Dirinya hanya manusia biasa, bagaimana manusia bisa unggul dalam segala hal? Bukankah itu akan sangat tidak adil untuk manusia lainnya?
"Sepertinya Mama lapar, makan aja yuk, Ma!" seru Rian sambil menatap mamanya dengan tatapan penuh arti.