"Mas," panggil Mika pelan.
"Ya?"
"Mas punya pacar, atau perempuan yang disayang, nggak?"
"Ha?" Arga mengernyit bingung mendengar pertanyaan Mika.
"Aku nggak mau ya, nanti kalau udah nikah, tiba-tiba pacar Mas, temen deket, atau cinta lama Mas yang belum kelar, datang mengusik pernikahan kita. Ya aku cuman mau mastiin aja kalau menikah sama Mas nggak akan bikin aku jadi sad girl!"
Arga tersenyum tipis. Ia mengangguk pelan, karena paham apa yang Mika khawatirkan.
"Kamu tenang aja, saya, eh, aku nggak punya perasaan atau hubungan kayak gitu sama orang lain. Kamu pikir saya, eh, aku ini pria macam apa?!"
"Banyak kasus kayak gitu soalnya. Menikah tanpa cinta, terus pas udah beneran cinta, malah di duain."
Arga terkekeh pelan mendengar ucapan Mika. Memangnya Mika pikir, dirinya itu pria macam apa?
"Kamu mungkin nggak tahu, tapi saya ini bukan tipe pria yang akan membiarkan istri saya nanti terluka, sekalipun itu karena diri saya sendiri. Apa yang sudah menjadi milik saya, akan saya jaga dan saya rawat baik-baik. Jadi, buang jauh-jauh kekhawatiran kamu itu."
Mika tersenyum puas mendengar jawaban Arga. Baiklah, pria itu mendapat nilai lebih di mata Mika.
Pria tampan yang bertanggung jawab.
"Mantan Mas Arga ada berapa? Terus, siapa aja?" tanya Mika dengan santainya.
Ditanya seperti itu, tentu Arga menjadi panik. Apakah sangat memalukan jika dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki mantan? Apa Mika akan menertawakannya?
"Memang apa pentingnya bahas mantan?"
Ditanya seperti itu, Mika langsung menunjukkan cengiran lebarnya.
"Cuman penasaran aja! Aku mau lihat, mantan Mas sama aku itu cantikan mana. Kalau cantikan mereka, aku mau oplas ke Korea." sahut Mika dengan santainya.
"Kenapa gitu?" tanya Arga bingung.
"Ya biar Mas nggak tergoda lagi sama mereka. Sekarang ya Mas, logika aja, aku ini masih muda, masih ingusan, nggak bisa dandan, muka pas-pasan, terus kalau mantan mas semua cantik dan sexy, aku mana punya muka buat jadi istri Mas?! Terus juga nantinya Mas bakal rawan digondol orang! Terus lagi, nantinya aku jadi sad girl!"
Entah apa yang Arga pikirkan, ia langsung tertawa begitu kerasnya. Mengapa gadis di hadapannya itu terlalu berterus terang?
Jika boleh jujur, Mika itu sangat cantik. Bulu matanya lentik, hidungnya mancung, meski agak chubby, dia sangat cantik, kulitnya juga putih terawat. Sungguh, ungkapan anak ingusan yang mukanya pas-pasan sangat bertentangan dengan wajah gadis itu.
"Kok Mas ketawa? Mas ngeledek, ya?" protes Mika.
Arga menggeleng pelan sambil berusaha menghentikan tawanya.
"Habis kamu itu lucu! Saya lebih suka yang natural tanpa make up, jadi kamu tenang aja!"
"Seriusan Mas?"
"Iya. Kamu nggak perlu oplas! Nanti jadinya nggak alami!"
Mika terlihat sangat senang dengan ucapan Arga. Itu bagus untuknya, ia tidak perlu khawatir lagi tentang menjadi cantik, sexy, dan dewasa. Cukup menjadi diri sendiri saja.
"Tunggu, tadi Mas belum jawab yang masalah mantan Mas itu, 'kan?!" desak Mika.
Gadis itu mengambil satu tusuk bakso bakar, dan menggigitnya dengan potongan besar.
"Saya nggak punya mantan!"
Mika langsung memicingkan matanya, dan menatap Arga penuh selidik. Tampan, seorang CEO, dan begitu kaya, mustahil jika Arga tidak pernah berkencan dengan seseorang sebelumnya.
"Kamu kenapa lihatin saya sampai begitu?"
"Mas ini lagi pura-pura aja biar nggak kelihatan playboy-nya, 'kan?!"
"Saya bukan playboy! Kalau saya playboy, ngapain juga saya mau nikahin kamu? Mending jalan aja sama perempuan-perempuan di luaran sana."
"Masuk akal," Mika mengangguk-anggukan kepalanya pelan.
"Tapi, meskipun Mas bukan playboy, kayak nggak mungkin banget gitu Mas nggan pernah pacaran! Pasti ada! Waktu jaman SMA, Kuliah, atau belakangan ini, gitu?!" Mika masih enggan mempercayai ucapan Arga. Bukan hanya Mika, ia yakin semua orang akan berpikiran sama seperti gadis itu.
"Saya terlalu sibuk buat ngurusin perusahaan, sampai nggak ada waktu untuk mikirin perempuan!"
"Kayaknya, sibuk itu juga bukan sesuatu yang cukup masuk akal buat dijadiin alasan deh! Wait! Mas bukan gay, 'kan?!"
Mata Mika membulat sempurna, mulutnya juga langsung terbuka lebar. Ini pertama kalinya Arga melihat seseorang menunjukkan ekspresi wajah seperti itu di hadapannya.
"Tentu bukan, kamu kenapa bisa kepikiran sampai situ, sih?"
"Banyak tahu, pengusaha kaya, tampan nan rupawan, tapi nggak suka perempuan! Mas pasti tahu itu, 'kan?"
Arga mengangguk pelan. Apa yang diucapkan oleh Mika memang benar adanya. Tidak jarang ia menjumpai klien yang seperti itu. Mereka selalu berusaha mendekati Arga. Akan tetapi, tentu saja Arga langsung menolak mereka mentah-mentah. Pria itu langsung memasang dinding yang begitu tinggi kepada para klien, atau kolega bisnisnya yang memiliki maksud tertentu kepadanya.
"Kamu memang benar, tapi saya bukan salah satunya! Selama ini, saya hanya ingin fokus membesarkan perusahaan saya, kalau saya sudah mencapai target, barulah saya berniat untuk sedikit santai, dan memulai percintaan saya."
Mika langsung bertepuk tangan mendengar jawaban Arga. Pria itu nemang pantas mendapat apresiasi atas kerja kerasnya.
"Kamu sendiri, bagaimana? Berapa mantan kamu?" Arga membalikkan pertanyaan pada Mika.
"Aku ini jomblo dari lahir, Mas!"
"Kamu nggak belok, 'kan?" gurau Arga.
"Enggak dong! Aku itu pecinta oppa, pecinta cogan! Jadi, dijamin lurus selurus-lurusnya, Mas!"
"Terus, kenapa masih jomblo? Kamu cantik, pasti banyak yang ngedeketin!"
Mika kembali tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih, bersih, dan tersusun rapi.
"Mereka nggak kuat mental buat deketin aku!"
"Kenapa gitu?"
"Pertama, mendiang ayah itu orangnya galak kalau sama orang yang deketin anaknya! Kedua, aku punya dua bodyguard yang lumayan serem di sekolah!"
Arga mengernyitkan keningnya. Mika membawa bodyguard ke sekolah? Wow!
"Kamu sendiri nggak pengen punya pacar emangnya?"
"Ya pengenlah, Mas! Aku juga pengen gandengan tangan sambil jalan-jalan di pantai, pamer foto mesra di medsos, dan masih banyak lagi. Tapi sayangnya nggak ada pria yang kuat mental buat deketin aku waktu itu."
"Emang bodyguard kamu seserem itu? Saya jadi penasaran, besok biar saya lihat seseram apa mereka."
"Yakin, Mas?"
Arga mengangguk mantap. Arga pernah belajar karate saat kuliah dulu. Menghadapi beberapa bodyguard tentu bukan masalah besar untuknya.
"Besok biar aku bawa bodyguard aku buat nemuin Mas."
"Atur aja."
Mika mengangguk dengan cepat. Untuk yang satu itu, ia cukup semangat.
"Mas, kok dari tadi nggak makan cemilannya? Mas nggak doyan?" pekik Mika yang baru saja menyadari makanan di hadapan mereka masih banyak. Padahal, sedari tadi ia tidak berhenti mengunyah, tapi seolah makanan itu tidak berkurang sedikit pun.
"Saya kalau makan makanan yang berminyak, suka sakit tenggorokan!"
"Payah ih. Ya udah, ini aja. Kacang rebus itu direbus, bukan digoreng!"
"Saya nggak suka rasanya."
"Jadi, siapa nanti yang makan ini?"
"Kamu masih muda, 'kan? Perutnya masih muat banyak!"
"Tapi, kalau makan kacang, nanti aku jerawatan, Mas!"
"Lho, terus kalau kamu nggak bisa makan, kenapa dibeli?"
"Pengen aja beli!"
Arga menganga tak percaya. Ia masih belum terbiasa dengan kelakuan absurd Mika.