Jin He bersiap, secepat kilat, lantas mengambil kunci mobil yang terletak di atas nakas dan bersiap untuk meninggalkan rumahnya menuju bandara. Ia terlambat menemui Rara di hotel. Jin He menghubungi hotel tempat wanita itu menginap dan mendapati informasi kalau Rara telah check out lima belas menit yang lalu.
Tidak ingin membuang waktu, dengan tenaga kuda ia menekan pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan Korea menuju bandara Incheon.
Jin He tak berhenti memaki saat jalanan padat merayap dan mengakibatkan kemacetan. Berkali-kali pula, ia memukul setir karena tidak sabaran dengan mobil di depannya yang melaju bak siput. Kalau seperti ini terus, ia tidak yakin bisa menyusul Rara dan menghentikan niat perempuan itu untuk balik ke Indonesia.
Dalam keadaan begini, mengapa jarak bandara yang begitu dekat dengan mobilnya sekarang ini terasa amat begitu panjang seperti antrian dosa-dosa yang dilakukannya? Akhirnya pria itu pun keluar dari mobil dan memutuskan untuk berlari saja menuju bandara. Ia tidak ingin waktunya terbuang percuma. Saat ini misi utamanya adalah menggagalkan kepergian Rara menuju Jakarta.
Segera setelah sampai dipintu keberangkatan, netra Jin He menelisik papan jadwal keberangkatan yang terpampang dengan ukuran besar di depannya itu. Dengan napas yang memburu dan bahu yang bergerak naik turun ia mengabsen satu persatu nama pesawat berserta jam dan tujuan keberangkatan. Jin He patut bersyukur, pesawat yang membawa Rara menuju Indonesia sedang mengalami delay. Lantas ia melangkahkan kakinya mencari Rara. Perempuan itu pasti berada di ruang tunggu.
Pupil Rara melebar sempurna ketika melihat siapa yang sedang berdiri sambil memegang kedua lututnya. Dia Jin He. Rara sampai membekap mulutnya dan menahan napasnya beberapa detik karena tidak percaya dengan penglihatannya. Pria ini benar-benar mengejarnya.
"See? Bahkan ke neraka sekali pun, aku akan mengejarmu." Jin He berujar dengan terbata-bata. Pria ini masih ngos-ngosan karena berlari kencang tadi.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rara dengan tatapan tak percaya. Sekali lagi.
"Tentu saja menggagalkan mu pulang ke Indonesia."
"Kau gila ya?!"
"Yah! Aku gila! Karena mu."
Lagi-lagi ada perasaan aneh yang menggelitik perut Rara saat melihat tatapan Jin He yang sangat sulit ia artikan. Disatu sisi, ia senang bisa membuat Jin He, seorang dokter bedah plastik keturunan Korea ini begitu mendampa akan dirinya hingga hilang akal dan mengejarnya sampai ke sini. Disisi lain, ia khawatir kalau Jin He hanya berpura-pura.
Lagipula Rara cukup tahu diri. Dirinya dan pria ini memiliki perbedaan yang sangat kentara. Bagaikan bumi dan langit. Warna kulit mereka kontras, kelopak mata mereka beda serta budaya dan negara mereka lain. Hidup dan penghidupan mereka pun jelas tak sama. Rara sangat mencintai Indonesia. Jin He pun pasti tidak ingin meninggalkan negaranya. Jadi bagaimana mungkin mereka akan bersatu?
Rara menghela napasnya. "Dengar Jin He! Apa yang kita lakukan semalam itu hanya untuk bersenang-senang. Kebanyakan orang yang melakukan one night stand cenderung tidak menggunakan perasaan mereka. Sama halnya dengan diriku. Kau yang salah! Kau seharusnya tidak menggunakan hatimu. Lagipula aku sudah memiliki—" Rara menggantungkan kalimatnya diudara. Jin He pasti tahu statusnya saat ini dan perempuan itu memang tidak menutupinya.
Jin He berjalan mendekat ke arah Rara lantas memegangi kedua pundaknya. "Cepat katakan kepada ku. Berapa uang yang diberikan daddy berengsek itu kepada mu huh? Aku akan memberikannya dua kali lipat lebih besar. Kau mau kuasa? Bahkan dengan sekali jentikan jari aku bisa menjadikanmu pimpinan di klinik ku." Tantang Jin He dengan kilatan penuh kesal.
Rara membuang wajahnya. Ia merasa ditampar bolak-balik.
Tangan besar Jin He meraih dagu perempuan itu. Memaksa Rara untuk menatapnya.
"Jawab dengan jujur!" Tuntutnya. "Apakah kau tidak merasa tertarik terhadapku, hm? Bahkan setelah melewati malam panas itu, apakah tidak ada perasaan mu terhadapku walaupun hanya seujung kuku jari mu, hm?"
Rara memilih bungkam.
"Kasi aku kesempatan. Hanya seminggu—tidak! Kasi aku tiga hari saja dan aku akan membuatmu tertarik kepadaku." Ungkap Jin He.
Rara pusing. Permintaan Jin He jelas tidak mengguntungkan buat hati dan jiwanya. Tapi mendapatkan uang dua kali lipat lebih besar dari yang selama ini Gunawan berikan kepadanya sungguh sangat menggiurkan.
"Diam mu berarti iya buatku!"
Belum sempat berpikir, tangan Rara sudah ditarik dan digenggam erat oleh tangan besar milik Jin He. Tangan yang satunya lagi sudah mendorong koper milik Rara.
"Kita mau kemana?" tanya Rara bingung.
"Ke lantai bawah. Kita harus check in ulang. Aku akan membawamu ke pulau Jeju. Kita akan menghabiskan waktu berdua di sana. Bukankah kau belum pernah ke sana? Iya kan?"
Tanpa kedua sejoli ini sadari, ternyata ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka di balik pilar. Dengan cekatan, tangannya mengetik pesan, melaporkan kepada Tatjana bahwa keduanya akan pergi ke pulau Jeju untuk liburan.
***
Rara tidak bisa menyembunyikan raut kegembiraannya ketika tengah liburan ke pulau Jeju. Jin He memperlakukannya seperti ratu. Apapun keinginannya selalu dituruti oleh pria itu. Entah sudah berapa puluh Won uang Jin He ia habiskan, tapi pria itu seolah tidak peduli dan semakin menantang Rara untuk menghabiskan uangnya lagi. Kalau seperti ini terus jelas Rara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk semakin memperkaya diri. Selain itu, yang paling membuatnya senang adalah tidak ada tatapan mencemooh atau tatapan menjijikan dari orang-orang yang selalu ia terima saat berada di Indonesia. Di pulau ini, ia merasa bebas. Tidak ada yang mengenali dirinya sebagai Gundik.
"Kau suka?" tanya Jin He saat mereka sudah sampai di kamar hotel.
Rara mengangguk. Hotel yang saat ini ia tempati jauh lebih besar dan mewah dibandingkan hotelnya.
Tangan Jin He menyentuh pipi Rara dengan lembut lalu beralih ke permukaan bibir perempuan itu. "Bolehkan ku cium?"
Kali ini giliran Jin He yang tersentak kaget saat bibir Rara lah yang memulai permainan. Bibir perempuan ini mengecup pelan bibir miliknya.
Namun, kegiatan mereka harus terusik ketika ponsel Rara berdering. Ingin mengabaikan tapi Rara teringat mungkin saja itu Gunawan. Ia lalu meraih teleponnya dan menjauh dari Jin He.
"Kapan kau pulang, Sayang?" Suara Gunawan terdengar manja di telinga Rara.
"Sepertinya aku tidak bisa pulang hari ini. Dokter memintaku untuk tinggal selama seminggu lagi. Ia harus memantau kondisi hidungku lebih lama."
Dengan berat hati Gunawan mengiyakan permintaan orang yang dikasihinya itu.
"Apa katanya?" Tanya Jin He saat telepon Rara sudah dimatikan.
"Aku akan tinggal lebih lama lagi di sini."
Senyum di bibir Jin He melebar sempurna. "Good girl." Tangannya mendorong punggung Rara agar semakin dekat ke arahnya. Menarik dagu perempuan itu kemudian mencumbunya lagi.