Chereads / Game Billionaire / Chapter 17 - Desa Hujan Darah

Chapter 17 - Desa Hujan Darah

Langit berdehem liar ketika menjadi saksi perlombaan maut.

Tertera angka tiga ratus dua puluh di papan digital besar. Jika sampai lima ratus, mereka belum masuk desa, semua berakhir. Usaha mereka bakal seperti menabur benih padi di tengah gurun pasir. 

Adik Sutris bakal kehilangan kesempatan untuk menghirup udara segar selamanya.

Sembari mengambil bambu egrang, Sutris bersiap pergi. "Bangunkan Akiko, kita harus segera--"

Aris mencegat suara Sutris. "Dia pingsan Tris, bukan tidur. Akiko kehilangan banyak darah."

Sergei berdecak. "Tinggalkan dia di sini bersama Maya. Lagi pula jarak ke desa dekat, panitia akan memungut mereka. Ayo, waktu kita terbatas." Dia menjadi yang pertama dari kelompok Sutris keluar hutan membawa bambu egrang, seperti pertapa. Beberapa langkah dia lalui tanpa beban, lalu melirik Sutris yang sibuk membantu Akiko. Langkahnya tertahan. "Hei, apa yang kau lakukan? Taruh saja di sana bersama Maya."

Dengan tangan terluka Sutris membawa Akiko memakai punggung.

"Apa kau gila?" keluh Sergei, melangkah mundur menuju desa seakan punya mata ketiga di belakang kepala. "Tinggalkan saja, dia akan dijaga!"

Sutris membisu. Langkahnya gontai. Dibantu Aris, dia maju menuju desa.

"Sergei benar," sela Anna, mengiringi langkah mereka. "Tinggalkan saja di sana bersama Maya. Dia hanya menjadi beban. Lihat, sekarang sudah empat ratus peserta yang lolos."

Sutris menggeleng, netranya lurus ke depan seperti kucing melihat whiskers. "Akiko berjuang sampai sini. Dia pingsan, tidak bisa memilih mau terus atau keluar. Biar dia menentukan ketika sadar kelak."

Mendengar ucapan Sutris, Anna tersenyum kecil lalu tertawa gurih. Dia mengamati wajah Sutris seakan melihat malaikat. "Hari ini kalian berteman, di lomba selanjutnya bisa saling bunuh. Tinggalkan saja di sana, dia akan baik-baik saja. Anggap mengurangi potensi musuh hebat di babak selanjutnya."

Tegas Sutris menjawab, "Esok ya esok, sekarang dia temanku."

Anna kehabisan kata-kata. Mengongkang senapan serbu milik Maya, dia maju ke depan. "Lima puluh kursi terakhir di desa. Aku yakin bakal banyak pembantaian demi kursi itu."

"Hei, cepat!" Sergei berteriak seperti Tarzan. Dia berbalik berlari menuju desa tapi larinya semakin berat ketika melihat pembantaian di depan. 

Cahaya biru menyabat angin di depan gapura desa putih yang bagian bawahnya basah merah darah. Mayat bergelimpangan di sekitar sana.

Pria berjas panjang dengan pedang listrik membantai banyak peserta yang berusaha masuk desa, membuat angka di papan digital bergerak semakin lambat. 

Melihat terror itu, Sergei melangkah mundur hingga nyaris tersandung, "Sut, Sutris!" berbalik menghampiri kelompok Sutris. 

"Ada apa, kau takut pedang?" tegur Anna, melangkah lebih cepat tanpa takut. "Putin bangga padamu."

Sergei berusaha mencegah Anna maju, tapi gagal. "Anna, kau tidak tahu siapa dia--"

Belum rampung Sergei bicara, Anna menghabiskan isi magazine senaoan serbu, menembaki pria misterius. 

Sambaran listrik muncul dari jubah hitam. Rentetan aliran peluru-peluru seperti genangan air terjun menghantam batu di tengah perjalanan menuju jurang. Peluru-peluru seperti enggan menyentuh pria misterius, beterbangan ke kiri dan kanan. 

Berlari membelah angin, pria misterius menyerang Anna, siap membelah tubuh gadis itu. 

Anna sigap melempar senapan, mengganggu jalur serangan lawan. Mengangkat dua belati beracun, dia melindungi diri hendak menepis pedang, tapi belatinya terpotong dua oleh tebasan pedang. Dia melompat ke belakang menghindari serangan. 

Sergei maju mengeker sambil menembaki pria misterius. Peluru pistol seakan jijik menyentuh pria itu. "What the …."

Pria misterius menusuk lelaki yang berlari hendak masuk desa. Dia menilik papan digital, tertulis empat ratus delapan puluh lima. Netra sipit nan indah nya mengintip Sutris yang membawa Akiko.  

Suara gadis terdengar dari atas atap gubuk dekat gapura. Seperti kucing dia duduk di sana. "Aigo, cepat sedikit. Lihat langit semakin murka karena kau membunuh seenak--"

"Diam." Pria misterius menghabisi beberapa wanita dan pria yang mencoba menerobos masuk, lalu mengintip papan. 

"Kasihan, cinta membuat buta juga tolol," ujar pria berpakaian serupa dengan si misterius, bersandar tembok kayu rumah. "Hati-hati hujan."

"Diam." Pria misterius memandang langit. Aliran listrik di pedang, juga sekeliling jas panjang sirna. Melangkah mundur dia menyimpan pedang dalam sarung.

Rombongan Sutris berhasil masuk, menyisakan satu kursi di desa untuk para anjing jalanan yang saling bunuh di belakang mereka. 

Langkah Sugris melambat ketika berpapasan dengan pria berjas. "Kau tidak membunuh kami?"

"Kalian menolongnya, kita impas."

"Kenapa?"

Pria berjas melangkah santai menghampiri gubuk terdekat. "Sialan, hujan."

Hujan langsung mengguyur bumi, memberi nuansa segar dengan suara gemercik, juga membilas aroma kematian di sekitar desa. 

Tanpa ada manusia yang masuk, tiba-tiba angka empat ratus sembilan puluh sembilan berubah menjadi lima ratus. Bagi mata biasa pasti aneh, tapi bagi mereka yang pernah berhadapan dengan tentara China, tahu siapa yang baru masuk. 

Dibantu beberapa penduduk, Sutris menghampiri puskesmas, "Dokter! Dokter!" Menerobos kerumunan peserta yang cedera hingga sampai di ujung depan. "Tolong temanku cedera, segera obati dia!"

"Matamu nang ndi cok!" Dokter orang Jawa, bermasker, memakai jas dokter putih. Sarung tangan operasi berlumur darah memegang gunting. "Lihat aku sedang apa!" Bahasa jawa yang kental menggelegar. 

Di meja kayu berbaring pria yang mengerang berlumur darah. Ususnya meluncur keluar. Suster berusaha memasukan semua itu kembali ke tempatnya.

Sutris sadar banyak peserta yang membutuhkan perawatan. Luka dirinya dan Akiko masih lumayan. 

"Hei, sudah, kau tidak akan dilayani sekarang. Lagi pula gadis ini hanya pingsan," ujar gadis berpakaian kembar dengan pria misterius. "Kalian pacaran?"

Sutris malas meladeni gadis yang kepo, tapi setidaknya dia paham satu hal, ucapannya benar.

"Siapa nama temanmu?" sekidik Sutris, dibantu Aris menaruh Akiko ke ranjang di rumah sebelah.

Gadis misterius bersandar daun pintu dengan satu kaki menginjak belakang. "Yang mana? Ada dua pria tampan di sana."

"Maniak pedang," sela Aris. Insting lelaki menyuruhnya maju, mengusap bokong lalu mengajak bersalaman. Raut manis bak kucing menginginkan sesuatu terpancar dari wajahnya. "Hai, kenalkan, Aris."

Gadis itu mengajak bersalaman, bukan Aris, tapi Sutris. "Yuna Hierin." Cara memandangnya mengisyaratkan rasa menginginkan sesuatu.

Sutris menyalami tangan itu, memperkenalkan diri dengan baik. "Siapa nama temanmu?"

"Ren Jun. Panggil Ren saja."

"Kalau aku Aris, eh, kamu dipanggil Yuna, Hie, atau--"

"Sutris, panggil Yuna saja ya." Sambil menjinjit, dia menarik Sutris mendekat, berbisik, "Gadismu punya masa lalu dengan Ren, apa kau tidak cemburu?" dia tertawa kecil, kabur keluar ruang. Sebelum pergi dia melambai kecil, membuat Aris melambai balik. 

Gadis periang, sedikit genit. Dengan badan mungil dia melompat tiga kali, sampai ke rumah sebelah.

Seperti CCTV, Sutris mengawasi tiga sosok berjas hitam yang berteduh di halaman depan rumah kayu. Bukan cemburu, tapi penasaran. Pria itu membantunya karena Akiko, siapa sebenarnya Akiko?

Suara resleting menarik perhatian Aris dan Sutris. Melepas suit ketat, badan Anna hanya berbalut pakaian dalam. "Daripada memikirkan lawan, pikirkan lenganmu. Kita diberi waktu satu Minggu untuk menuju Tokyo, tempat tes selanjutnya."

"Tokyo? Dari mana kau tahu?" Selidik Sutris. 

Tiada jawab dari yang ditanya. Anna seakan biasa saja mempertontonkan tubuh langsing berdada menantang, mengambil pakaian bersih yang disediakan pemilik rumah, masuk ke kamar mandi. 

"Kenapa banyak wanita cantik di lomba seperti ini?" gumam Aris. "Aku harus bisa dapat pacar, minimal satu dari mereka."

"Seperti gadis Sparta, mereka memiliki tubuh atletis nan indah juga wajah cantik, karena mereka rajin bergerak liar," sahut Sergei, dudum berselonjor bersandar tembok, menyulut rokok yang basah. "Terima kasih untuk bantuan kalian."

Duduk di kursi kayu, Sutris bertanya, "Apa rencanamu selanjutnya?" 

"Bersama kalian, sampai tim kiriman Amerika dan China musnah."

Tiba-tiba handphone Sutris berdering. Rupanya sinyal telah kembali. Telepon dari Bambang. 

****