Dalam permainan setan, nama Tuhan terdengar asing. Nama yang lama menghilang dari telinganya, sekarang merangsang niat untuk bersujud.
Begitu lembut suara itu membelah deras hujan, menebar undangan bagi mereka yang ingat pada Sang Esa untuk beribadah.
Melihat Sutris mengambil air wudhu membuat Aris menyeringai. "Islam ternyata."
"Masalah?" sahut Anna, duduk di sebelah bocah itu sambil mengeringkan rambut. Dalam kaos oblong dan jaket kulit, penampilannya seperti biker. "Kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput, wajar jika dia bersembah sujud pada Tuhannya."
Aris mengangguk kecil. Tiada debat dalam hal itu.
Aroma daging bakar menendang rasa lapar. Sergei menaruh dua piring berisi daging hitam berminyak dan berasap ke atas meja kayu. "Makan malam kalian."
"Bocah ini vegan," celetuk Anna, menghampiri meja makan. Lincah tangannya mengambil garpu, menusuk daging yang paling besar.
"Vegan?" Sergei terkekeh mengejek Aris. "Kau mau diet atau bagaimana? Makan lah, badanmu terlalu kurus untuk ikut lomba."
"Agamanya melarang memakan daging sapi," sahut Anna, menjilat saos di garpu.
Langit semakin gelap ketika kodok bersahutan di luar, memelas supaya hujan kembali datang. Udara dingin menerkam seluruh jiwa penghuni desa minim listrik.
Aris mengisi perut dengan apel manis. Terlukis nyala api unggun di netra matanya, api yang seperti berdansa di depan rumah singgah. Nyala merah kekuningan yang menciptakan suara gemeretakkan khas kayu bakar.
Muncul wajah sendu wanita paruh baya terbaring di kasur. Infus menusuk tangan yang mengelus pipi Aris. "Jangan lakukan itu, Nak. Dia menyayangimu."
"Dia janji akan datang! Mana? Mana dia?"
"Tris, nih aku dapat ular untukmu," tegur Sutris, menenteng ular menghampiri api unggun. "Kau butuh banyak tenaga, buah dan sayur tidak bisa mencukupi semua itu."
Seketika bayang memori di api unggun sirna. Menghapus air mata, Aris duduk di atas ember terbalik. "Wah, enak nih, tapi harus bayar berapa tuh?"
Senyum Sutris menambah berat napas Aris. Pasti ada maunya, begitu pikir bocah yang mulai paham sifat teman-teman barunya.
"Ris, laptopmu bisa buat ngintip CCTV enggak?"
"Benar kan … kenapa, mau ngintip orang mandi? Langsung ke situs bokep aja."
Renyah suara Sutris menyambut tebakan cenayang palsu. "Enggak, bukan begitu." Menunggu ular matang, Sutris duduk di anak tangga teras di dekat Aris. "Kamu ahli komputer kan? Bisa bukai CCTV di daerah Wonosari Solo?"
"CCTV Polisi?"
"Bisa kan?"
Dari nada bicara yang serius, Aris paham Sutris sedang berusaha melihat sesuatu melalui CCTV. Aris penasaran apa yang membuatnya sampai membayar dengan ular bakar. "Ntar, ambil laptop dulu."
Cahaya lampu remang menerangi ruang berdinding kayu. Mengambil laptop, Aris kaget oleh keberadaan sosok yang tak dia kenal, melangkah keluar melalui pintu lain.
Cemas, seperti kelelawar dia menghampiri sisi gelap ruang, di mana kasur tempat Akiko terlentang berada. Mengecek napas, raut wajah Aris penuh kelegaan. Masih hangat nafas teratur gadis itu menerpa kulit jari tangannya.
Lalu kenapa pria aneh masum kemari? Menyapu seisi ruang, Netra Aris gagal menangkap sesuatu yang aneh. Barang-barang mereka masih terjaga di tempat terakhir mereka berada. Apa dia kesasar? Pikir Aris, tak mengambil pusing pergi menenteng laptop menuju api unggun.
Duduk di atas ember plastik yang terbalik, Aris memangku laptop. Jarinya seperti kaki orang sedang clubbing.
"Kamu jago banget komputer, masih muda pula."
"Waktu kecil hanya komputer teman bermainku." Aris fokus ke layar laptop. Enggan dia membongkar masa lalu, walau pada Sutris sekalipun. "Kenapa mau lihat CCTV di daerah Wonosari? Kangen pacar?"
"Keluarga."
"Loh, sudah nikah?" Aris menoleh sejenak. Senyum merekah ketika dia kembali ke laptop. "Kasihan Akiko, kecewa."
Anehnya Sutris malah tersenyum kecut, sebelum memberi jawaban, "Dia sudah punya pacar."
"Maksudmu?" Aris menilik senyum kecut lengket di bibir Sutris. "Ah kalian ini, yang satu punya keluarga, yang satu punya pacar tapi nggak bilang. Dah nih, tersambung sama CCTV."
Lambang kepolisian Indonesia terpampang pada bagian kiri atas layar laptop. Layar laptop terbagi menjadi empat, empat CCTV yang tertanam di lampu rambu lalu lintas. Bukan sesuatu yang mencengangkan ketika sudah melihat kehebatannya membajak satelite US MARINE.
Di kejauhan layar kanan, terdapat warung makan yang mengambil tempat di halaman depan rumah sederhana. "Tolong fokus ke warung itu."
Aris menuruti keinginan Sutris sambil memperhatikan raut wajah pria garang yang semakin sayu. Dia hanya menebak-nebak kenapa netra Sutris mulai terendam air mata.
"Tolong dekatkan ke sana."seperti cicak ujung telunjuk Sutris menempel ke bagian layar laptop, telat ke sosok seorang gadis.
Layar semakin dekat ke sana, tapi buram. Gadis berpakaian kasual sibuk menata piring kosong ke nampan, lalu membersihkan meja. Dia menyambut pelanggan yang baru datang.
"Wakau gambarnya buram, kelihatannya dia manis. Pacarmu?"
"Adik."
Aris mengangguk. "Dia jomblo?"
Sutris menoleh pelan menantang senyum Aris dengan aura panas seperti singa hendak menerjang kijang.
"Kan tanya doang, over protektif banget sih."
Sutris terkekeh memporak-porandakan rambut bocah di sebelah. "Ya dia jomblo, kenapa, naksir?"
"Kalau lihat foto beningnya … mungkin. Eh, Sutris, jangan lama-lama loh, nanti ketahuan. Itu CCTV pantau lalu lintas." Aris menerka-nerka. "Apa dia alasanmu ikut lomba? Ayolah, kan sudah aku bantu, kasih tahu lah. Tris, Sutris, ealah. Lain kali enggak aku bantu loh."
Ancaman Aris membuat Sutris mengangguk. "Aku berjanji padanya akan membiayai operasi ginjal, tapi takdir berkata lain."
"Ginjal … gagal ginjal?"
Sutris mengangguk.
"Jadi dia setiap sebulan sekali cuci darah?"
Menghela nafas, Sugris mengangguk pelan. "Ini taruhan terakhirku. Jika menang, dia akan bahagia."
"Tris, biaya operasi sekitar delapan ratus juta."
Sutris mengangguk. "Game ini, berkah, atau hukuman?"
"Hukuman? Maksudmu apa?"
Seakan melihat setan wajah Sutris menjadi serius. Dia menepuk-nepuk lengan Aris. "Tolong fokus ke orang itu, cepat!"
Dalam kebingungan, Aris memprogram kamera fokus ke sudut kain warung. Seorang pemuda berpenampilan sederhana duduk di salah satu kursi.
"Kenalanmu Tris?"
"Yuda. Mau apa dia di sana?"
Jari Aris sibuk mengetim sesuatu. "Kenapa tidak tanya langsung, kau punya nomor teleponnya kan?" Terkaan Aris tepat sasaran.
Sutris berusaha menghubungi seseorang, tapi, "Anjrit, pulsaku habis. Beli pulsa di mana coba …."
"Tenang bro, rileks. Mana nomornya." Menerima nomor Yuda, Aris menghubunginya pakai telepon satelit lipat.
"Halo Yuda, ngapain kau ke rumahku?"
Sayup terdengar suara Yuda menjawab, "Jagain keluargamu. Eh, nih cewek cantik banget, adikmu?"
"Jauhi Susi, atau kukirim kau ke neraka!" Dadanya kembang kempis, meremas telepon. Sutris benar-benar seperti singa ketika anaknya diganggu.
"Kemarin Bambang mengirim orang untuk menculik keluargamu, untung ada aku. Hei, kau loos ke ronde ke-dua? Selamat ya?"
"Jaga keluargaku baik-baik. Kau dengar?" Menggelegar suara Sutris, lalu merendah. "Terima kasih." Sutris menyudahi telepon, hendak pergi dari sana, tapi Anna datang membuatnya urung.
"Kamu tahu, namamu terkenal sekarang." Anna duduk di anak tangga, menepuk pundak Aris. "Buka situs rahasia Game Billionaire."
"Situs apaan?"
"Jangan berlagak bodoh. Cepat buka." Remasan Anna pada pundak Aris semakin erat.
****