Rasa penasaran yang tertanam dalam jiwa masing-masing akhirnya terobati.
Tiga pasang mata fokus pada layar laptop dipangkuan Aris. Setiap adegan mereka hayati, sampai sumsum memanas meletup-letup. Semua memori selama di hutan neraka kembali pulih. Semua karena rekaman recap yang mereka tonton.
Ternyata bukan hanya kisah Sutris dan teman-teman, tapi banyak kisah pilu, manis, dan darah tercipta dalam babak pertama.
"Kesetiaan yang gagal teruji." Suara dalam video diikuti adegan seorang gadis memotong kemaluan pria. "Mereka berdua ikut lomba demi uang hadiah, untuk biaya pernikahan dan bulan madu keliling dunia. Siapa sangka sang lelaki berselingkuh di hutan ketika lomba."
"Robot Amerika melawan siluman China, datang pemberani Rusia. Siapa pria asia itu?" Lalu muncul foto Sutris. "Pahlawan yang dikelilingi wanita. Melawan OKB, melawan robot."
Lalu muncul pria Korea berjas panjang. "The Hottest man has come."
Seketika kerongkongan Sutris menjadi kering seperti gurun sahara. Dia menggeleng kecil tanpa kedip, tidak percaya dengan apa yang dilihat. "Keparat, jadi mereka merekam semuanya?"
"Semua," jawab Anna. "Drone di mana-mana. Para orang kaya memilih tontonan, memberi dukungan pada peserta dengan memberi bintang. Lihat, namamu masuk dalam lima besar peserta favorit."
Melempar batu ke nyala api, Sutris angkat kaki masuk ke rumah. Dia hendak menggebrak meja tapi urung lantaran sadar, si putri tidur sedang istirahat.
Kesal dia duduk di kursi ujung ruang, mencoba mengatur napas yang menggebu. Terbayang keluarga kaya duduk di sofa menonton kematian setiap peserta. Terlintas reaksi puas di wajah penonton ketika melihat Maya menjerit memeluk mayat Anton. Mungkin pula mereka menyeringai puas saat Sutris tertangkap robot. Ini bukan acara settingan, orang-orang nyata kehilangan nyawa!
"Kenapa?" tegur Anna, duduk di kursi lain dekat Sutris. "Tiba-tiba gusar seperti itu. Hati-hati, lenganmu bisa tambah parah."
"Kita seperti badut yang ditonton banyak orang. Bagaimana mungkin acara seperti ini ditayangkan?"
"Uang." Anna menuang air putih ke dalam gelas. "Dari dulu selalu begitu. Dengan uang, keinginan gila manusia bisa terwujud. Kau tahu, butuh berapa dolar untuk subcribe ke chanel rahasia Game Billionaire di dark web?"
Bungkamnya Sutris cukup menjawab pertanyaan Anna.
"Setengah tahun satu juta dolar. Itu satu orang. Bayangkan berapa banyak orang kelebihan uang di dunia ini?"
Jika dipikir lagi, uang hadiah dua Milyar Dolar sekitar dua ribu juta Dolar, belum lagi biaya perlombaan dan pastinya adanya Game Billionaire penyelenggara pasti mengambil untung. Semua demi uang.
"Siapa para penyelenggara?" selidik Sutris, mengepal tangan ke atas meja.
"Entahlah--"
Menggebu-gebu Sutris berbicara, "Kenapa pihak berwajib tidak menghentikan acara biadab ini?"
Selesai minum Anna menaruh gelas ke meja. "Negara mana yang mau game ini berakhir? Amerika? Rusia? Negara-negara munafik selalu bilang demi keadilan dan kemanusiaan. Nyatanya demi kekuasaan. Dengan adanya perlombaan seperti ini mereka bisa beradu kekuatan, teknologi, juga hak untuk sombong ketika mengalahkan negara superpower lain. Game Billionaire adalah taman bermain bagi mereka."
Seakan menjadi debu di tengah pusaran ribuan bintang, Sutris merasa lemah. Selama ini dia percaya akan kemampuannya mampu menembus cobaan yang Tuhan beri, tapi sekarang … mungkin Tuhan punya rencana lain.
Anna mengisi gelas dengan air putih, mendorong mendekati Sutris, bangkit menepuk lembut pundak sehat berotot lelaki itu, "Istirahatlah, esok orang-orang kita akan datang menjemput ke Tokyo." melangkah pergi.
"Anna, dari mana kau tahu lokasi selanjutnya Tokyo?"
Di depan pintu Anna menjawab, "Rahasia membuat wanita menjadi wanita. Tidurlah, jangan banyak berpikir." Dia pergi tertelan keheningan malam.
"Tris, aku tidur di kasur ya," ujar Aris, menguap lebar, melangkah menghampiri dipan di sebelah Akiko. "Jagain."
Malam semakin larut hingga kokok ayam menjadi alarm bagi mereka untuk membuka mata. Sutris baru selesai beribadah ketika helikopter pertama mendarat ke lahan pertanian di dekat desa.
Lebih banyak helikopter mendarat, menciptakan angin rusuh yang membuat pepohonan bergerak liar. Suaranya menjadi bom yang memaksa semua orang bangun. Dari arah barat tiba berpuluh-puluh mobil. Sepertinya para penjemput datang nyaris bersamaan.
Suara keras dengung seperti telinga kemasukan air terdengar dari arah desa. Pria berjas hitam berdiri di tengah lapangan desa memegang mic. "Perhatian perhatian, para peserta Game Billionaire."
Sutris bersandar tembok memperhatikan banyaknya peserta yang keluar rumah sekedar mencari tahu sumber kegaduhan.
Suara ketukan tiga kali terdengar dari tengah desa. "Baiklah, pertama-tama kami sampaikan selamat untuk lima ratus peserta yang sukses maju ke babak selanjutnya.
"Kalian diberi waktu satu Minggu plus dua hari untuk beristirahat dan menyiapkan segala kebutuhan lomba berikutnya. Lokasi lomba selanjutnya diadakan di kota Tokyo. Untuk lomba sendiri masih rahasia. Akan kami beritahu ketika waktunya tiba.
"Sekarang yang harus kalian lakukan, ambil kertas nomor dan simpan baik-baik kertas itu. Setelah itu kalian bebas pergi ke mana pun sampai ronde selanjutnya mulai.
"Satu aturan baru yang berlaku sampai lomba babak ke-dua tiba. Kalian dilarang membunuh, jadi jalani hidup satu minggu ini dengan santai. Sampai bertemu di Tokyo, para kontestan Game Billionaire!"
Sutris mengawasi kerumunan pria bermata sipit yang menghampiri Ren. Bukan, dia bukan fans mereka, hanya ingin tahu siapa yang bakal menjemput Akiko.
"Sutris sahabat terbaikku!" Dengan dua tangan terbuka, Bambang menghampiri.
Kasar pukulan Sutris mendarat ke mata kiri Bambang, hingga meninggalkan jejak lebam di sana.
"Bedebah! Apa-apaan kau?" Keluh Bambang, menjaga mata kirinya.
"Berani kau menyentuh keluargaku, pertemuan selanjutnya aku ambil nyawamu!" Bentak Sutris, beruntung Sergei menariknya dari belakang.
Merapikan jas hitamnya, Bambang bergumam, "Untung kau terkenal sekarang, jika tidak, sudah kuhajar kau."
"Apa kau bilang?"
"A-ah bukan apa-apa," sahut Bambang berusaha tenang, tapi gagal. "Oh iya Tris, naiklah ke helikopter, pesawat jet pribadi menantimu. Pastikan beri yang terbaik untuk kamera."
Suara helikopter melintas di atas desa. Kendaraan berwarna putih itu menyebar banyak kertas ke desa. Sutris memungut kertas terdekat, tertulis angka 10 dengan tinta merah.
"Sepuluh?" Celetuk Bambang. "Apa maksudnya ini?"
Sutris menoleh ke samping, mendapati Sergei membawa nomor seratus satu.
"Aku dapat sembilan sembilan," sahut Anna, lalu meninjuk Aris dengan jempolnya. "Dia dapat nomor dua puluh."
"Tris, aku nebeng ya!" Aris sok dekat dengan Sutris, merangkul lengannya. "Please, boleh ya, ya, yaa." Siapa yang bisa menolak wajah memelas bocah ini?
Sutris melepas rangkulannya. "Bagaimana kabar Akiko?"
"Eh, tadi masih tidur. Coba cek, sekalian ambil kertas untuknya."
Sutris memungut kertas yang tertiup angin di dekat sisa api unggun. Kertas putih sedikit kotor, masih jelas tertera nomor tujuh tujuh di sana. Angka indah, angka keberuntungan. Mungkin ini pertanda jika Akiko bakal beruntung?
Dia berlari kecil masuk ke rumah. Betapa terkejutnya Sutris mendapati dipan kosong. "Akiko, Akiko!" Dia berlari melalui pintu samping, menemukan jejak sepatu.
Ketika menoleh ke arah sawah, nampak dua oria berjas hitam membawa Akiko memakai tandu, naik ke helikopter berbaling-baling besar dua biji.
"Akiko!"
"Biar saja, dia bakal lebih aman bersama mereka," sahut Ren. "Dia tidak membutuhkanmu."
****