Dan keesokan harinya, Panji dan Melody membawa Santi ke Jakarta. Setelah menyerahkan rumah peninggalan nenek dan kakek Melody ke salah satu kerabat yang dipercaya, Santi meninggalkan kota kelahirannya bersama anak dan calon menantunya.
"Hati-hati, Mel jaga ibumu baik-baik. Saya hanya bantu doa, semoga lancar semuanya," kata Yudi. Kerabat dekat dari keluarga Santi yang dipercaya merawat rumah tersebut selama santi di Jakarta.
"Makasih, Pakde. Titip rumah, tolong ya." Melody seakan berat meninggalkan rumah penuh kenangan tersebut.
"Tentu, sering-sering lah tengok. Kalau ada kesempatan kesini," kata Yudi kepada Melody dan Santi sebelum mereka berpamitan.
Bukan tanpa alasan Santi percaya kepada Panji, ia dengan yakin menghubungi pihak terkait mengenai surat-surat yang harus Melody punya sebelum melakukan pernikahan di Jakarta. Tindakan Panji selama bertemu dengannya pun turut membuatnya yakin jika anaknya bahagia bersama pria tersebut.
"Ibu baru pertama naik pesawat, Mas. Jadi gugup kayak gini," kata Melody yang sedang menggosok tangan ibunya yang berkeringat dingin. Mereka sudah dalam perjalanan menuju bandara Juanda, Surabaya.
"Masih ada waktu, kita ajak minum hangat dulu," Panji melihat kondisi Santi yang berkeringat dingin menjadi khawatir.
"Maaf ya, Nak. Ibu gugup, maklum orang kampung," kata Sant malu-malu.
"Gakpapa, Bu. Nanti akan terbiasa," jawab santai Panji.
Mereka sudah sampai di bandara Juanda, Panji mengajak Santi dan Melody ke sebuah kedai kopi sebelum melanjutkan perjalanan menuju Jakarta, waktu penerbangan masih sekitar satu lagi dimanfaatkan untuk membantu Santi yang mulai tegang.
"Santai, Bu. nanti duduk sama saya dan Mel" Panji sudah memesankan segelas minuman hangat untuk Santi agar lebih rileks.
"Makasih, Nak." santi meneguk minuman hangatnya.
"Tapi ndak pusing kan, Bu?" tanya Melody yang juga khawatir.
"Nggak, hanya gugup saja." Santi meminta anaknya tidak khawatir. Hanya saja, kenangan pahit kembali hadir ketika mengantar Prasetyo mengadu nasib di ibukota. Walaupun karirnya berhasil, namun kehidupan rumah tangga keduanya berakhir dengan perpisahan.
Setelah sampai Jakarta, Panji mengajak mereka menuju ke sebuah kawasan perumahan elite di Tangerang. Sengaja Panji membelikan rumah di daerah tersebut karena pertimbangan tempat bekerja Melody agar tidak terlalu lama di perjalanan.
"Kita lihat rumah dulu, kalau mau balik apartemen gak masalah, biar ibu juga bisa istirahat." Panji meminta sopir pribadinya mengantar ke rumah baru yang khusus ia siapkan untuk Melody dan ibunya.
"Apa gak kemahalan beli rumah disana, Mas. Mbak Feli gak keberatan?" Melody khawatir jika Panji dan istrinya sampai berantem gara-gara dirinya.
"Justru Feli yang bantuin aku ngurusin pembelian rumah itu, kan kamu tahu kalau akhir-akhir ini kerjaan Kayana lagi banyak banget. Tenang yah," Panji mengelus punggung Melody lembut, memintanya agar segera masuk ke dalam mobil.
"Iya, Mas." Melody menurut, masuk ke dalam mobil menyusul ibunya yang sudah lebih dulu.
"Ada apa, Nak?" tanya Santi khawatir. Ia melihat dari dalam keduanya seperti membicarakan sesuatu.
"Gak ada apa-apa, Bu. Mel cuma khawatir kalau saya beli rumah kemahalan. Feli juga tidak masalah, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Panji yang sudah masuk ke dalam mobil menjawab pertanyaan Santi.
"Yang penting semua dibicarakan dulu, terbuka. Ibu hanya minta itu," kata Santi kepada anak dan menantunya.
Setelah melihat-lihat rumah yang akan ditempatinya nanti, Melody dan Santi diantar ke apartemen Melody untuk beristirahat. Mereka akan bertemu kembali nanti malam untuk membahas acara pernikahan yang akan mereka laksanakan segera.
"Nanti saya jemput, kamu istirahat dulu sama Ibu. Oiya, ini pegang buat jajan sama Ibu. Besok kan libur, ajak jalan ibu." Panji menyerahkan kartu debitnya untuk Melody
"Aku masih ada, Mas kalau buat jajanin Ibu." Melody akan menolak namun Panji menatapnya dengan memanyunkan bibirnya.
"Kamu sama Ibu sekarang tanggung jawabku, jadi tidak ada penolakan. Pak Kohar ini sopir yang standby antar kamu kemanapun. Jadi gak usah sungkan sama beliau," kata Panji sambil berpamitan. Ia sudah dijemput oleh Joni.
"Ya udah, hati-hati. Aku naik dulu," pamit Melody kepada Panji.
"Iya, PIN aku dah kirim." Panji mengecup kening Melody lalu masuk ke dalam mobil.
Melody kembali ke unitnya untuk menemui sang Ibu yang sedang beberes kopernya.
"Bu, istirahat dulu. Itu biar Mel yang beresin," ucap Melody kepada ibunya.
"Iya, ini sudah beres," jawab santi kepada anaknya.
Dan, sore harinya mereka bertemu lagi untuk membahas acara pernikahan. Melody dan Santi duduk berhadapan dengan Devina yang baru saja datang dengan beberapa orang wedding organizer.
"Apa kabar Jeng Santi? Udah baikan?" tanya Devina kepada Santi.
"Sudah, Mel yang bantuin. Nak Panji juga baik, terima kasih Jeng sudah terima anak saya," kata Santi.
"Saya juga, ayo kita mulai saja." Devina meminta mereka mengukur tubuh Melody dan Santi terlebih dulu sebelum membicarakan konsep acara dan lain-lain. Walaupun tanpa resepsi, Devina ingin acara pernikahan tersebut berkesan untuk Melody dan Ibunya.
"Jadi warna putih memang paling dominan, nanti bunga-bunganya juga asli. asalkan di dekat tempat duduk pengantin jangan terlalu dekat, anak saya alergi bung," kata Devina mengingatkan tim yang mendekor tempat akad nikah nanti.
"Baik, Bu. Ini sudah fix semua ya?" tanya perwakilan dari mereka kepada Melody.
"Gimana, Ma, Bu?" tanya Melody kepada dua wanita yang ia hormati.
"Terserah kamu, Mama hanya menambahkan seperlunya saja." Devina tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Memiliki menantu sederhana dan keibuan seperti Melody adalah keinginan terpendamnya. Bukan bermaksud untuk membanding-bandingkan Melody dan Felishia, baginya keduanya anak baik dan patuh. Hanya saja kekecewaannya terhadap Feli yang enggan memiliki anak dengan alasan pekerjaan membuatnya terluka.
"Begini saja sudah lebih dari cukup, Ma. Ini udah cantik banget konsepnya, terima kasih." Melody memang pernah mengimpikan sebuah pesta kecil dan sederhana untuk pernikahannya kelak. Ia tak menyangka jika keinginannya tersebut diwujudkan oleh Devina dan Panji.
"Seperti keinginan Mel, pesta kecil dan hanya keluarga saja," kata Santi memberitahu Devina.
"Syukurlah, kalau soal tempat gimana sayang? Apa kamu tidak keberatan jika di villa keluarga Kayana. Kebetulan kami ada villa di Bandung dan cukup luas untuk dipakai acara," kata Devina meminta pendapat Melody.
"Boleh, Ma. Lebih private juga," jawab Melody.
Semua persiapan acara akad nikah sudah diatur oleh pihak wedding organizer, Melody dan ibunya bisa bernapas lega karena Devina audah mengatur sedemikian rupa untuk acara pernikahan keduanya.
"Buat cincin, besok kita jalan cari yang cocok. Kamu harus punya beberapa yang lain juga," kata Devina kepada Melody yang saat itu memakai midi dress bermotif bunga, ia tampak anggun dengan riasan natural seperti biasanya.
"Iya,Ma. Mas, gimana?" Melody bertanya kepada Panji yang sejak tadi sibuk bertanya ini itu kepada salah satu tim WO.
"Apa saja, saya ikut. Tapi cincin cari yang bagus," jawab Panji.
Sedangkan Feli, ia sedang menunggu kabar dari rekannya yang kebetulan pemilik Wedding Organizer yang ditunjuk oleh Devina. Ia ingin tahu, apakah Melody benar-benar seperti yang rekannya ucapkan. Wanita yang sederhana dan manis ataukah berubah materialistis karena dipersunting oleh seorang Panji.