Setelah mengkondisikan keadaan di kantor, Joni menyusul atasannya ke restoran. Seperti biasa, dialah komandan dari rentetan kegiatan dan semua hal yang berhubungan dengan Kayana ataupun pemiliknya. Siapa yang tidak mengenal orang nomor dua di Kayana tersebut. Joni memasuki area parkir restoran, menjawab sapaan beberapa pegawai yang mengenalnya lalu masuk ke ruangan VIP yang khusus dipesan Panji.
"Makan Jon, ayo." Panji yang melihatnya baru saja masuk langsung memintanya segera makan.
"Iya, Pak. Saya sudah lapar," jawab Joni yang langsung mengambil piring lalu menyendokkan nasi.
"Ini, sudah tak sisihkan untuk Pak Joni," kata Melody menyerahkan piring berisi ikan kesukaannya. Panji menatap cemburu ke arah Joni yang diperhatikan oleh istrinya. Padahal, yang lain juga diperhatikan.
"Cuma kasih piringnya doang, Pak. Tidak disuapi seperti anda tadi," kata Joni berkilah.
"Beruntung kamu, udah sayang biar dia sendiri. Enak betul dilayani," sahut Panji tak terima.
Melody hanya pasrah dengan sikap suaminya, yang ia tahu memang Panji adalah pria yang kaku dan kurang romantis. Namun dalam beberapa hal, suaminya adalah pria yang manis.
Setelah makan siang, Panji mengantarkan Melody pulang. Kabar bahwa ada kiriman kado spesial membuatnya ikut penasaran siapa pengirimnya.
"Apa dari mantan kamu?" tanya Panji kepada istrinya.
"Gak tau, Mas. Gak ada yang ngabarin kasih kado juga." Melody sama halnya dengan dirinya.
"Ya udah, kita pulang, sama-sama lihat siapa yang kasih kado," kata Panji membukakan pintu mobil untuk Melody.
"Jon, Kamu balik kantor duluan, nanti saya nyusul," titah Panji kepada Joni.
"Baik, Pak," jawab Joni. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan kembali ke kantor.
Di rumah, Santi dan Devina sedang berbincang sambil menunggu kedatangan Melody dan Panji. Keduanya menunggu sampai keduanya datang untuk membuka kado dari orang yang mungkin sudah Melody lupakan.
"Maafkan Mel kalau suka emosional jika membahas ayahnya," ucapan Santi kepada besannya.
"Sebenarnya kita juga tidak bisa menuntutnya lebih, luka di masa lalunya masih membekas, apalagi Mel dan ayahnya bekerja di bidang yang sama," jawab bijak Devina.
"Melody tidak hanya enggan bertemu ayahnya, sepertinya anakku sudah menaruh dendam. Kuharap, Nak Panji perlahan membuka mata dan hatinya," ucap santi yang sudah memaafkan mantan suaminya.
"Ma, sudah lama?" Panji dan Melody datang bersamaan menghampiri mereka yang sedang berbincang di ruang keluarga.
"Lumayan, sini duduk. Kamu gak buru-buru kan?" tanya Devina kepada anaknya.
"Sedikit sih, tapi gak masalah. Joni udah handle dikantor. Jadi dpt kiriman dari siapa?" tanya Panji penasaran.
"Itu yang kotak kuning, Mel. Coba diambil sayang," titah Devina kepada menantunya.
"Bentar, Ma. Ini tadi yang diantarkan Reza kan, Mas?" tanya Melody kepada suaminya.
"Sepertinya iya, kan udah nginep semingguan disana, coba bukalah," kata Panji. Ia membantu Melody membuka kotak berwarna kuning tersebut. Melody tidak menduga bahwa kado tersebut dari pria yang pernah dipanggilnya ayah. Tertegun membaca kartu ucapan tersebut, Melody sangat mengenal tulisan tangan itu.
"Balikin, siapapun yang kirim gimana caranya balikin, Mas. Aku ke tas dulu, permisi." Melody meletakkan kotak tersebut di meja. Panji yang penasaran pun akhirnya membaca isi kartu ucapan yang diletakkan Melody di atas kotak.
"Bu, dari siapa? Ini tulisan tangan, saya tidak tahu," ucap Panji bingung. Santi menerima uluran kartu tersebut dan melihatnya. Mengelus dadanya, ia tak percaya jika Prasetyo masih memperhatikan anaknya.
"Ayahnya, saya tidak tahu dia dapat kabar dari mana kalau Mel menikah. Mungkin dari kerabat di Malang," kata Santi kepada menantunya.
"Astaga, saya lupa jika Pak Pras berada di Jakarta dan kita tidak memberitahu, Bu." Panji mengacak rambutnya tak percaya bahwa ia melewatkan hal sepenting ini.
"Sudah tidak masalah, lebih baik kamu ke atas susul Mel. Dia pasti nangis, tolong ya, Nak." Santi menggenggam kartu ucapan berwarna kuning tersebut.
"Baiklah, saya tinggal dulu," pamit Panji kepada Santi dan Devina.
Di dalam kamar, Melody memilih masuk ke dalam kamar mandi. Ia menangis sejadinya karena kado tersebut ternyata membuka kembali luka masa kecilnya.
"Sayang, ayo buka pintunya. Saya tahu kamu sedih, berbagilah dengan suamimu." Panji mengetuk pintu kamar mandi karena elody menguncinya dari dalam. Tidak ada sahutan dari dalam, Panji menjadi panik dan mencari cara agar Melody mau membuka pintu untuknya.
"Ayolah, dalam dua menit jika kamu gak buka, terpaksa didobrak, jangan membuatku khawatir." Panji masih berusaha mengetuknya lagi.
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka membuat Panji merasa lega. Melody keluar dari kamar mandi dengan keadaan berurai air mata.
"Kemarilah," ucap Panji dengan lembut. Ia memeluk dengan penuh kasih dan mengecup puncak kepala Melody untuk menenangkan.
"Maaf," ucap Melody sambil mengusap air matanya.
"Tidak masalah, ayo ceritakan padaku, aku ingin tahu sayang," Panji menuntunnya duduk di sofa sudut kamarnya.
"Gak mau," kata Melody sambil terisak.
"Iya biar disimpan ibu dulu, kamu yang tenang yah." Panji mengusap-usap punggung istrinya yang masih sedih.
"Gak, balikin." Melody berkata kepada suaminya dengan tatapan memohon.
"Iya, nanti dibahas. Sekarang kamu jangan nangis lagi, oke." Panji merapikan rambut Melody yang berantakan. Ia masih berusaha membuat istrinya tenang.
Masih di tempat yang sama, Santi memberanikan diri membuka kartu ucapan tersebut dan membacanya bersama dengan Devina.
Dear anakku,
Ayah turut berbahagia untukmu
Ayah merestui pernikahan kalian
Ayah mohon terimalah pemberian kecil dari orang yang pernah kau sebut ayah
Meskipun saat ini, ayah tahu jika kau masih membenciku, aku pantas mendapatkannya
Kelak, jika ragaku sudah menyatu dengan tanah, hanya kamulah yang ayah ingin untuk melantunkan doa di pusaraku nanti.
Hadiah kecil ini anggap sebagai kenang-kenangan jika ayah sudah tidak bisa menatap langit yang sama denganmu lagi.
Santi menitikkan air mata harunya, ia tidak menyangka jika Pras, mantan suaminya sudah berubah. Melalui kado pernikahan yang ia berikan kepada Melody, Santi sudah bisa mengambil kesimpulan jika ayahnya sudah sering mendekati Melody.
"Maaf, saya jadi emosional." Santi menyeka air mata yang jatuh di pipinya.
"Tidak masalah, Jeng. Sudah bisa dibayangkan jika surat itu ditulis dengan perasaan seorang ayah kepada anaknya.
"Mel pasti nangis lagi kalau baca ini. Ya Tuhan, apa tidak bisa hatinya melunak sedikit saja." Santi meresah karena sudah sekian tahun, anaknya masih enggan untuk berdamai dengan masa lalunya.
"Lebih baik tunggu sampai dia tenang dan tidak emosional seperti tadi, aku tidak tega melihatnya," kata Devina memberi saran.
Panji yang sudah bisa menenangkan istrinya kembali ke ruangan dimana Devina dan Santi berada. Ia duduk di sebelah Devina.
"Gimana, Nak?" tanya Devina dan Santi khawatir.
"Tidur, kecapekan nangis juga. Ngomong-ngomong, apa perlu saya temui Pak Pras?" tanya Panji meminta saran kepada dua wanita tersebut.
"Sebaiknya jangan, jika Mel tahu, dia pasti ngamuk. Biarkan dulu saja," kata Santi memberitahu.
"Baik, Bu. Kalau begitu, saya balik kantor dulu, sebelum makan malam saya kembali," pamit Panji kepada Devina dan Santi.