Devina dan Santi sepakat untuk merahasiakan pertemuan mereka dengan Pras beserta istrinya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan jika Melody semakin membenci keduanya.
"Sejak kematian Erwin, aku sempat tidak mengenal anakku, Melody sebenarnya pemaaf. Tapi, entahlah. Dia tertutup, tidak seperti mendiang Kakaknya," ucap Santi ketika dalam perjalanan pulang ke rumah.
"Kehilangan orang yang kita kasihi untuk selama-lamanya adalah sebuah keikhlasan yang dipaksakan, menurutku biarkan waktu yang membuatnya benar-benar ikhlas." Devina berkata bijak, ia tidak menyangka dibalik wajah anggun dan tangguh seorang Melody menyimpan banyak kedukaan dalam hidupnya.
Santi turun dari mobil Devina, keduanya berpisah setelah Devina mengantarnya pulang. Jarak rumah mereka hanya berbeda blok, di dalam kompleks perumahan elite tersebut. Ia segera masuk ke kamarnya karena waktu sudah hampir larut malam, anak dan menantunya sudah pasti sedang beristirahat dan Santi memilih untuk tidak mengganggu.
Setelah makan malam bersama, Melody dan Feli yang baru saja pulang dari berlibur sepakat untuk bertemu esok hari. Malam ini adalah pertemuan pertama keduanya setelah Melody sah menjadi istri Panji.
Dan di dalam kamar, sepasang suami istri itu sedang menikmati quality time berduaan. Panji yang sudah membuatkan Credit Card atas namanya pun menyerahkan kartu tersebut.
"Kan aku dah punya, Mas. Ngapain buat lagi?" Melody memicingkan matanya tak percaya dengan apa yang dipegang suaminya.
"Limitnya yang kurang, kamu perlu ini untuk upgrade barang-barang kamu, manfaatkan besok untuk bersenang-senang dengan Feli," ucap Panji kepada istrinya.
"Harus ya, Mas?" tanya Melody yang merasa harga barang-barang branded tersebut tidak masuk akal.
"Iya, mungkin kamu gak masalah gak punya Hermes keluaran terbaru tapi pandangan orang yang tahu kalau kamu istriku pasti lain," jawab Panji memberi pengertian istrinya.
"Ya gak usah mikirin mereka, toh kita makan gak minta ke mereka kan?" kata Melody mendebat.
"Kadang kita perlu mendengarkan apa kata orang untuk berkaca, seperti apa pandangan orang terhadap kita. Dalam bisnis, penampilan itu perlu untuk mendukung pekerjaan," jawab Panji memberitahu Melody.
"Maksudnya?" tanya Melody lebih jauh.
"Mudahnya, apa kamu percaya jika ada pengusaha datang menemuimu dengan penampilan biasa namun menawarkan proyek puluhan Milyar? Ragu kan?" tanya Panji membuka wawasannya.
"Iya sih, seperti mengajak ngobrol gak ada isinya." Melody mengetuk-ngetuk pipinya berpikir.
"Kurang lebih seperti itu, belajarlah melihat lingkungan dimana kamu ada. Dan tempatkan dirimu di posisi yang seharusnya, paham?" Panji mengecup kening istrinya yang sudah mulai mengantuk.
"Paham, Mas." Melody mulai mengerti gaya hidup pengusaha seperti suaminya. Ia teringat ucapan ibunya yang masih ia pegang sampai sekarang.
"Ketahuilah Nduk, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono," ucap Santi kala itu. Makna mendalam dari ucapan jawa tersebut adalah seseorang akan dihargai dan dihormati berdasarkan ucapan dan cara berpakaian kita.
Dan disinilah sekarang, Melody dengan Feli sedang berada di sebuah gerai tas branded yang banyak dicari para sosialita.
"Kamu harus ada Hermes seri ini, selain lagi rame orang pakai, modelnya bagus dan dapatnya susah," kata Feli menunjukkan birkin 25 aligator matte yang harganya sudah setara dengan rumah mewah di Malang. Bahkan rumah impian Melody di kampung halamannya saja, harganya masih di bawah tas yang dipuja-puja kaum sosialita di ibukota.
Harganya diatas harga rumah impianku di Malang, Mbak. Tapi ini beneran gakpapa beli?" tanya Melody polos kepada istri pertama Panji tersebut.
"Sekarang aku beneran percaya jika Mayang tidak asal bicara," kata Feli terkekeh.
"Mbak, kok ketawa?" tanya Melody bingung.
"Tanya sama suami kamu, boleh apa tidak?" Feli sengaja mengerjai Melody untuk mengetahui sifat asli madunya tersebut. Dan, ia pun menurut, Melody menghubungi suaminya untuk bertanya terlebih dahulu.
"Ngapain minta ijin, beli ya beli aja sayang. Kamu disuruh Feli?" tanya Panji terkekeh mendengar alasan menghubunginya.
"Tapi harganya, Mas? Serius itu, Ya Tuhan!" Melody tak habis pikir dengan mahalnya harga tas tersebut.
"Sudah beli sana, doakan suaminya dapat proyek gede lagi," kata Panji terbahak sebelum menutup sambungan teleponnya.
Hari ini Melody tercengang dengan gaya hidup Feli, yang selama ini hanya bisa ia bayangkan atau saksikan di televisi pun berada di depan matanya. Ia tak menyangka berada di lingkaran kehidupan hedon konglomerat seperti keluarga Panji dan Feli.
"Kamu perlu punya ruangan wardrobe sendiri, aku sudah sampaikan ke Joni untuk siapkan." Feli mengajaknya makan siang di sebuah restoran setelah puas berbelanja.
"Itu mereka yang antar ke rumah, Mbak? tanya Melody kepada Feli. Keduanya sudah berada di restoran sushi yang terletak di lantai 3.
"Iya, sesuai alamat yang kita kasih tadi," jawab Feli. Mereka berbincang mengenai banyak hal. Pembicaraan khas perempuan di antara mereka membuat salah satu kepingan masa lalu Melody ikut terseret.
"Maaf, apa Mbak masih sering berkomunikasi dengan pria itu?" tanya Melody hati-hati, takut jika Feli tersinggung atau marah.
"Masih, aku hanya bisa berkomunikasi dengannya melalui doa." Feli hendak menunjukkan foto terakhirnya dengan pria yang pernah dicintainya dengan tulus. Ia menyodorkan ponselnya kepada Melody.
"Doa? Sudah meninggal?" tanya Melody sambil menerima uluran ponsel dari tangan Feli.
"Betul, sudah beberapa tahun yang lalu. Makanya aku minta sama kamu jaga betul orang yang kamu sayang," ucap Feli sambil menyeka air matanya yang keluar tanpa permisi.
"Ini Mas Erwin, Mbak!" Melody memegang dadanya tak percaya jika wanita yang dimaksud Kakaknya waktu itu adalah Felishia.
"Kamu kenal Erwin? Jadi kamu siapanya?" tanya Feli bingung sekaligus panik.
"Dia kakakku. Ya Tuhan, takdir macam apa ini?" Melody menutup wajah dengan kedua tangannya menangis. Ia masih berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian sekitarnya. Beruntung resto tersebut memiliki sekat antar meja.
"Ya Tuhan, sungguh aku tidak tahu Mel, demi Tuhan kamu harus percaya sama aku," Feli merangkul Melody yang masih terisak.
"Mbak harus cerita, ada apa dengan hubungan kalian saat itu. Aku ingin tahu," kata Melody kepada Feli. Ia masih terisak di pelukan Feli.
"Kamu tahu, menjadi orang kaya tidak selamanya enak dan bahagia, ada beberapa bagian hidup yang harus kita korbankan demi orang-orang disekitar kita," ucap Feli memulai bercerita.
"Berkorban?" tanya Melody, ia melepaskan pelukan Feli perlahan dan menyeka sisa air matanya.
"Betul, berkorban untuk orang tua dan ratusan karyawan untuk menyelamatkan perusahaan Papa," jawab Feli kembali.
"Jadi, Mas Panji?" tanya Melody tak kuasa meneruskan pertanyaannya.
"Panji sama sekali tidak tahu kejadian ini karena dia baru pulang dari Jepang," jawab Feli menyangkal apa yang Melody tanyakan walaupun belum terucap.
"Jadi siapa, Mbak?" tanya Melody sedih. Ia bertanya dengan suara putus asa.
"Aku sudah berusaha mencari tahu, setelah menikah dengan Panji aku tidak bisa seenaknya mengunjungi Erwin. Papa benar-benar menutup akses wartawan atau siapapun untuk mencari tahu apalagi menanyakan peristiwa itu." Feli menyeka air matanya lagi.
"Jadi, Mas Panji benar-benar tidak tahu? Lalu pengirim buket bunga itu siapa?" tanya Melody kepadanya.
Feli menyeka pipinya yang basah untuk kesekian kalinya, air matanya terus mengalir seperti air terjun tiada henti.