Melody mengajak Panji mendatangi makam Kakaknya. Setelah sarapan di hotel, mereka menuju komplek pemakaman tak jauh dari rumahnya di kawasan perkampungan padat penduduk.
"Sudah lama meninggalnya?" Panji mencoba menelisik ada apa dengan masa lalu keluarga calon istrinya.
"Setelah main sama temen-temennya, aku minta jemput. Maksain, dan dijalan Kak Erwin ditusuk orang, karena gak ada cctv, jadi polisi juga sulit cari tahu kejadian sebenarnya kayak apa," ucap Melody terbata. Ia dan Panji sudah duduk berdampingan di pusara sang Kakak.
"Sudah ada yang datang, siapa?" tanya Panji yang melihat ada buket bunga diatas pusara.
"Sampai sekarang aku dan ibu gak tahu siapa yang sering datang memberi buket bunga. Ada satu wanita yang Kak Erwin cinta, namun sayangnya mereka terpaksa berpisah," kata Melody sambil mengusap nisan tersebut dengan terisak.
"Sudah, tidak perlu diteruskan sekarang ceritanya. Katanya mau ajak ibu jalan-jalan. Kasian udah kelamaan nunggu di rumah." Setelah merapalkan doa untuk almarhum, Panji mengajak Melody kembali ke rumahnya.
"Maaf Mas, aku terbawa suasana. Itulah sebabnya, ibu jarang berani kesini sendiri. Kalau Mel cuti pulang kampung salah satunya karena ini," ucap Melody. Ia menerima uluran tangan Panji dan keduanya bergandengan tangan keluar dari area makam.
Panji sekilas melihat mobil putih yang ia kenali milik Felishia keluar bergerak menjauh dari area makam. Namun ia ragu, untuk apa Feli ke tempat pemakaman dan di Malang pula, Panji menggeleng dan menjauhkan asumsi yang tidak-tidak mengenai istrinya.
"Mas, kok malah ngelamun. Ayo katanya mau makan sambel buatan ibu," kata Melody yang sudah di depan mobil. Ia tidak sadar jika Panji masih terdiam di depan pintu masuk makam.
"Astaga, maaf sayang." Panji terkekeh mengusir kegalauannya mengenai mobil putih tadi.
DI rumahnya, Santi sedang mempersiapkan makan siang untuk Panji dan anaknya sambil menunggu mereka kembali dari makam. Santi yang sedang menata meja makan sudah biasa jika ada tetangga yang datang hanya untuk menyapa atau menanyakan sesuatu. Namun, Yati berbeda, tetangga depan rumahnya ini terus mendesaknya dengan berbagai pertanyaan dan ucapan yang kurang enak didengar.
"Pantesan anakmu gak mau sama Hasan, seleranya tinggi. Sama yang pejabat itu juga gak jadi mbok ya sadar diri. Nanti disia-sia lagi kasian Mel," ucap Yati merongrong Santi lagi.
"Saya ikuti saja maunya anak bagaimana, yang jalani kan Mel. Semoga ketemu jodoh yang baik," jawab Santi bijak dan santai.
"Itu yang sama Mel calon suaminya yang baru?" tanya Yati lagi.
"Iya, doakan saja semoga lancar. Lagi ke makam Erwin, sebentar lagi juga datang." Santi masih meneruskan aktivitasnya walaupun Yati selalu mengganggu..
"Eh itu mereka datang. Mel, apa kabar?" Yati menghampir Melody yang baru saja masuk ke dalam rumah bersama dengan Panji.
"Eh, Budhe Yati, baik. Ayo duduk ja, santai," kata Melody santai.
"Itu, Mas ganteng gak dikenalin?" Yati melongok ke arah Panji yang duduk di sofa tamu. Rumah Melody memang tidak terlalu besar, dan ruang makan dan ruang tamu di desain tanpa batas tembok dan sejenisnya.
"Saya Panji, salam kenal Budhe," kata Panji menghampiri Yati dan menyalami wanita itu.
"Ganteng, Mel. Yowes, aku pulang dulu," pamit Yati kepada Melody dan Santi yang baru saja keluar dari dapur.
"Udah lama Budhe Yati disini, kok ibu kesel gitu," kata Melody melihat ekspresi jengkel ibunya.
"Gak juga, cuma biasalah masih nguber-nguber kamu biar mau sama anaknya, ibu ngeri aja punya besan kayak dia," ucap Santi sambil mengelus dadanya.
"Maaf, memangnya ada apa, Bu?" tanya Panji ikut berkomentar karena mendengar obrolan keduanya.
"Yati ingin Mel jadi mantunya, kan anaknya udah suka sama Mel dari jaman masih sekolah. Cuma Mel gak mau, terus ibu bisa apa, Nak." Santi memberi penjelasan kepada Panji.
"Begitu ceritanya, kenapa Mel gak mau Bu?" tanya Panji kepada Santi sambil melirik Melody yang menatapnya tajam.
"Kan waktu itu, Hasan masih pengangguran kalau nikah mau makan apa. Ngandelin orang tua juga Mel gak bakal mau," jawab Santi kepada Panji. Ia meminta Panji duduk di meja makan karena makan siang sudah siap disantap.
"Banyak banget, Bu. Ini semua kesukaan saya." Panji menatap hidangan di meja makan dengan mata berbinar. Ikan Gurame goreng dan sayur sawi tumis lengkap dengan sambal memang sayang jika dilewatkan begitu saja.
"Nggak banyak, ayo makan dulu." Santi mengambilkan nasi untuk Panji dan melody bergantian. Suasana kekeluargaan yang sudah lama Panji rindukan, istrinya terlalu sibuk mengejar karir yang tidak ada habisnya. Terkadang, ia merasa kesepian di tengah limpahan harta yang ia miliki.
Santi dan Panji semakin dekat, dua hari ini benar-benar mereka gunakan untuk saling mengenal satu sama lain. Panji mendapatkan kehangatan cinta yang tulus dari ibu dan anak itu. Dan Santi merasa merasa dihargai sebagai orang tua di depan Panji, walaupun ia bukan dari keluarga berada.
"Bu, apa yang kirim buket bunga itu pernah kesini?" tanya Melody kepada ibunya. Sudah sekian tahun, pengirim buket bunga tersebut tidak menunjukkan batang hidungnya di depannya atau sang ibu.
"Sepertinya tadi datang sebelum Mel masuk sama Mas Panji, siap ya Bu wanita itu," kata Melody penasaran.
"Perempuan?" tanya Panji yang tak kalah penasaran.
"Iya, tapi sampai sekarang aku sama dia belum bertemu. Siapa tahu bisa bantu polisi dapat pelakunya." Melody terlihat sedih mengenang saudara laki-lakinya.
"Sambil jalan kita coba cari tahu, namanya usaha gak ada salahnya dicoba," ucap Panji menenangkan Melody dan ibunya.
"Iya Mas, lalu apa Mama gak masalah kalau Mel pakai wali hakim?" tanya Melody penasaran.
"Gak masalah, tapi Mama minta acara di Jakarta sana, gimana Bu?" tanya Panji ragu-ragu.
"Gak masalah Nak, lagian kalau disini juga kasian Mel. Saudara dari ayahnya pasti ngerecokin," jawab Santi.
"Kalau begitu, izinkan orang saya yang urus kelengkapan surat-surat disini. Biar ibu dan Mel tidak repot-repot kesana kemari," kata Panji, ia memanfaatkan uang dan kekuasaan yang dimiliki nama besar Kayana untuk mempermudah semuanya.
"Apa bisa, Nak?" tanya Santi.
"Bisa, Bu Serahkan sama saya. Ada orang saya yang sudah saya tunjuk untuk ngurusin surat-surat. Kita ke Jakarta tinggal tunggu hasilnya, apa ibu tidak keberatan ikut kami?" Panji merasa perlu segera membawa Santi ke jakarta karena merasa ada yang mengincar ibu dan anak itu. Informasi yang didapat dari Joni tidak dapat ia abaikan begitu saja.
"Ada apa dengan masa lalu mereka, kenapa aku merasa kematian Erwin begitu misterius dan terkesan direncanakan," gumam Panji dalam hati.
"Kalian serius bawa ibu tinggal di Jakarta?" tanya Santi sekali lagi.
"Serius Bu, saya sudah siapkan tempat untuk kalian. Setelah menikah, kita bisa tinggal disana sama-sama," ucap Panji meyakinkan Santi.
"Baiklah, ibu ikut apa kata Mel saja." Santi memeluk anak gadisnya terharu. Ia senang karena Panji menunjukkan keseriusannya untuk menikahi anaknya.