Ibunda Melody masih menelisik motif Panji menikahi anak gadisnya, yang jelas bukan perkara harta karena Santi yakin Panji sudah tidak memikirkan hal itu. Sebagai ibu, wajar jika Santi mengkhawatirkan anaknya. Menikah dengan pria beristri akan membuat image Melody buruk.
"Saya harap ibu mengerti, syarat dari Felishia hanya itu. Keluarganya pun sudah setuju, Bu." Panji dengan tenang berusaha meyakinkan Santi.
"Saya minta jaminan, tolong mengerti Nak Panji. Menjadi istri kedua apapun itu akan tidak mudah untuk Mel," ucap Santi kepadanya.
"Saya mengerti, Bu. Silahkan, ibu minta jaminan apa. Saya tidak keberatan dengan kemauan ibu," jawab Panji sopan kepada calon ibu mertuanya.
Santi diajak beristirahat di hotel karena Panji sudah mempersiapkan sebelumnya agar calon mertuanya itu nyaman berbicara apapun kepadanya. Panji ingin mendekatkan diri dengan Santi yang ia lihat sama istimewanya dengan Melody. Single parent seperti Devina, sang Mama yang membuatnya kagum dan bersyukur dilahirkan dari rahim seorang ibu yang hebat dan bermartabat.
"Wanita itu kuncinya hanya ada dua, Nak. Mandiri dan harga diri." Santi mulai memberikan petuah kepada Melody saat keduanya berada di dalam kamar untuk membantu Santi bersiap.
"Maksud ibu?" tanya Melody yang sedang memasukkan obat ibunya ke dalam tas.
"Walaupun suami kamu kaya, kamu tetap harus berpenghasilan dan tidak terlalu bergantung kepadanya. Kamu mengerti maksud ibu?" Santi membelai rambut panjang anaknya.
"Iya, Bu." Melody menatap sendu ibunya.
"Harga diri kamu harus tetap terjaga di depan keluarga mertua kamu dan keluarga istri Panji. Kenapa, ya agar kamu tidak mudah direndahkan oleh mereka," kata Santi memberi petuah lagi.
"Apa mereka masih mengganggu ibu?" Melody menangkap ada sesuatu yang disembunyikan ibunya.
"Seterusnya akan seperti itu, Nak. Jangan mengharapkan orang itu berubah. Cukup kita lawan dengan sikap. Seburuk apapun kenangan yang ada di rumah ini, ibu tidak akan menjualnya." Santi menjawab dengan tersenyum membuat Melody semakin berpikir keras. Saran Devina untuk membawa ibunya ke Jakarta kembali terngiang di kepalanya.
"Nanti kita pikirkan lagi solusinya, Bu. Sekarang ayo jalan, kasian Mas Panji sudah nungguin." Melody membawakan tas ibunya dan keluar dari kamar.
"Udah siap?" Panji yang sedang menikmati singkong goreng buatan Santi bertanya kepada kedua wanita itu.
"Udah, Mas. Ayo." Melody dan ibunya mengikuti langkah Panji menuju mobil.
"Pantesan gak mau sama anakku, seleranya tinggi," cibir Yati. Tetangga depan rumah Santi mengomel sambil memperhatikan Santi dan Melody masuk ke dalam mobil mewah Panji.
"Sudah, Ibu mau sampai kapan terus-terusan menghina Melody. Salah apa dia sama ibu?" tanya Hasan. Anaknya yang baru saja diangkat menjadi Manager sebuah hotel wisata di kawasan Batu.
"Kamu malah belain anak pembawa sial itu bukan ibumu?" tanya Yati kepada anaknya dengan tatapan tajam.
"Yang ibu bilang pembawa sial itu mau ibu jadiin mantu?" jawab telak Hasan kepada ibunya.
"Dasar, Melody itu masih punya bapak sugih (kaya) tapi Santi aja yang jual mahal. Gak mau poligami, padahal hidupnya dijamin." Yati berujar kepada anaknya.
"Terserah ibu saja, Hasan berangkat dulu," pamitnya kepada sang ibu.
"Ya udah, hati-hati. Pulangnya beliin ibu pizza, jangan lupa." Yati sedikit berteriak kepada anaknya karena Hasan sudah menyalakan mesin motornya.
Sedangkan Melody dan ibunya sudah sampai di sebuah resort ternama di kawasan Taman Hiburan Jatim Park. Sengaja Panji membawa mereka kesana karena pernah secara tidak sengaja mendengar obrolan ibu dan anak tersebut jika keduanya ingin jalan-jalan di tempat itu.
"Mas, apa gak berlebihan sampai kesini segala?" Melody bertanya kepada Panji namun ia tidak dapat menyembunyikan wajah bahagianya berada di tempat itu.
"Biar sekalian liburan, kamu kan di Jakarta juga sibuk dan ibu juga biar istirahat." Panji meminta sopir dan salah satu pegawai hotel untuk membantu membawakan tas keduanya.
"Tapi ini bukan punya Mas kan?" tanya Melody curiga.
"Bukan, rekanan saja. Kamu curigaan aja bawaannya," jawab Panji terkekeh. Santi yang memperhatikan interaksi keduanya hanya menghela nafasnya. Tidak dapat ia pungkiri bahwa sorot mata Panji mengatakan bahwa cintanya memang tulus untuk anaknya.
"Bu, kita ke dalam dulu. Sudah mulai dingin udaranya," kata Panji mengajak Santi dan Melody masuk ke dalam lobby hotel. Setelah reservasi, Panji mengajak mereka masuk ke villa yang sudah dipersiapkan.
"Ibu sama Mel bisa istirahat dulu, nanti makan malam kita bisa video call sama Mama," kata Panji meminta Melody ke kamarnya bersama sang ibu.
"Baiklah, makasih Nak." Santi menepuk pundak Panji sambil menyunggingkan senyumnya.
"Mas juga istirahat, aku sama ibu dulu," pamit Melody kepada Panji.
Panji menghubungi Devina setelah masuk ke kamarnya, ia menanyakan keberadaan sang Mama untuk memastikan bisa berbincang santai dengan Santi. Dan setelah makan malam, Devina benar-benar menghubungi Santi untuk menyampaikan maksud kedatangan Panji ke Malang bersama dengan Melody.
"Saya harap njenengan tidak keberatan dengan lamaran anak saya, walaupun Panji sudah memiliki istri, saya jaminannya jika Panji akan membuat Mel bahagia," ucap Devina terharu karena Panji diterima dengan baik oleh Santi.
"Saya tidak minta apa-apa, asalkan anak saya bahagia sudah cukup, karena hanya dia yang saya punya." Santi menitikkan air mata karena akan melepas anak gadisnya menjadi milik orang lain.
Inti dari pembicaraan dua ibu tersebut hanya ingin anaknya bahagia, Panji pun sempat menyampaikan permintaan Devina untuk mengajaknya tinggal di Jakarta agar Melody tidak terus mencemaskannya.
"Apa tidak merepotkan kalian nantinya?" Santi mempertanyakan keinginan Panji dan Melody untuk membawanya tinggal di Jakarta.
"Nggak, Bu. Justru akan membuat Mel tenang karena setiap hari bisa ketemu ibu," jawab Panji bijak.
"Lalu rumah ibu bagaimana?" Santi mengkhawatirkan peninggalan kakek dan nenek Melody.
"Nanti Panji bantu urus, Bu. Yang penting rumah itu terawat dan jika diizinkan saya akan merenovasi bagian bangunan yang sudah menua," ucap Panji hati-hati.
"Boleh saja asal tidak memberatkan kamu dan Mel." Santi dengan senang hati menyambut baik keinginan Panji yang duduk di sebelah Melody, anaknya dengan tenang menyimak obrolan Santi dan calon suaminya.
"Terima kasih, Bu." Panji berinisiatif meminta pelayan untuk menambahkan minuman hangat karena udara di tempat itu cukup dingin.
"Ini lebih dari cukup, Nak. Kamu sudah habis banyak," kata Santi mengomentari mewahnya hidangan yang disajikan untuk makan malamnya kali ini.
"Untuk ibu tidak ada kata mewah dan sebagainya, ibu dan Mel layak mendapatkan ini," kata Panji mengelak jika ia dibilang berlebihan memberikan jamuan kepada Santi.
"Nak, apa tidak keberatan jika memakai wali hakim? Mel tidak mau bertemu ayahnya," kata Santi khawatir.
"Sebenarnya lebih baik ayahnya langsung, tapi jika tidak memungkinnkan, wali hakim juga tidak masalah," jawab Panji menenangkan keduanya.
"Maaf, Mas. Bagiku, aku sudah tidak memiliki ayah," ucap lirih Melody sedih. Terlihat kekecewaan yang mendalam dari ucapan wanita itu jika sudah menyangkut ayahnya dan Panji bisa memaklumi hal itu.