Melody masih tidak percaya, ia membaca sekali lagi pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Benar saja, Panji mengajaknya makan malam secara pribadi.
"Aduh, mana ada gaun bagus kalau dadakan gini," gumam Melody di dalam ruangannya. Setelah mengikuti meeting mingguan dengan jajaran manager lainnya, ia kembali ke ruangannya. Gelisah karena ajakan makan malam dari pemilik Kayana Group yang dadakan, apalagi secara pribadi sudah memintanya datang.
"Mbak, makan siang sama Papa, ada yang ingin dibicarakan," ucap Reza yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Sebenarnya pria itu sudah duduk di depan Melody sekitar 5 menit yang lalu, hanya saja, ia terlalu fokus dengan ponselnya hingga tidak menyadari kedatangan Reza.
"Ya ampun, kamu udah berapa lama duduk disitu?" tanya Melody terkaget.
"Lagian, dipanggil dari tadi kagak nyaut-nyaut!" seru Reza kepadanya.
"Sorry, ini gara-gara sekretaris Kayana neh, ngajakin makan malam, kamu diundang kan?" tanya Melody penasaran.
"Enggak, itu undangan private Mbak Mel sama Pak Panji aja, saya sama Papa hanya sebatas pemberitahuan, karena Pak Panji akan bahas proyek selanjutnya, beliau mau, Mbak yang jadi Project Managernya untuk proyek air mineral dn ada beberapa lagi yang dikasih ke kita," jelas Reza berbinar.
"Project Manager? Mana bisa gue, Za. Lo gak konfirmasi dulu sih ke gue, main iya aja," omel Melody tak terima.
"Bukan aku, Mbak. Pak Panji sendiri yang minta," ucap Reza tak mau disalahkan.
"Lha gue kagak paham, Za." Melody duduk di kursi kebesarannya lemas. Bagaimana bisa ia menjadi penanggung jawab proyek jika gambar saja tidak paham. Gadis itu hanya mengerti soal keuangan dan beberapa hal teknis mengenai produksi.
"Ada banyak tim yang bantuin, Mbak gak bakal kesulitan. Yang penting kita dapat proyek dan kepercayaan Pak Panji dulu," kata Reza menenangkan Melody.
"Ya udah, Pak Hermawan ngajak makan siang dimana?" tanya Melody melirik jam sudah menunjukkan jam 11 siang.
"Papa mau ngemall, mau coba makan di resto yang Mbak Mel ajak kita rame-rame," kata Reza memberitahu.
"Ya udah, jalan." Melody meraih tas dan ponsel setelah mematikan laptopnya. Makan siang dengan pemilik perusahaan tempat ia bekerja sudah hal biasa ia lakukan sejak tiga tahun belakangan. Sejak kondisi kesehatan Hermawan menurun, Reza dan keluarganya cukup bergantung kepadanya. Reza, sebagai anak hanya menuruti apa yang sudah menjadi keputusan Melody dalam hal keuangan. Sedangkan Kakak kandung Reza, Desi hanya sebagai penasehat perusahaan jika Melody dan Reza mengalami kesulitan.
"Pak Hermawan sama Teteh udah jalan?" tanya Melody. Ia dan Reza beriringan keluar dari ruangannya menuju lobby perusahaan.
"Iya, Papa bosen kayaknya di rumah terus. Jadi Teteh ajak jalan ngemall, belanja malahan," ucap Reza terkekeh.
"Sekali-kali Za, masa kamu suruh kerja terus. Ngomong-ngomong, omzet untuk tahun depan udah aman, tapi lebih baik tambahin. Jangan mau kalah sama tetangga sebelah. PP Engineering harus lebih maju," kata Melody bangga. Ia memang bekerja dengan Hermawan sejak perusahaan itu berdiri. Selama 5 tahun ini, ia paham betul Hermawan berusaha agar perusahaannya sejajar dengan yang lain.
"Iya, Mbak kalau mau beli gaun sekalian aja, mumpung di mall. gimana pun juga kan bawa nama PP Engineering," kata Reza sambil membukakan pintu mobil untuk Melody.
"Boleh neh, mau lah aku," jawab Melody. Akhirnya ia mendapatkan solusi.
Sopir perusahaan bernama Pak Mulyadi yang mengemudikan kendaraan, ia sudah tahu kemana Melody dan Reza akan pergi.
"Pak Mul, apa kabar?" tanya Melody sambil memeriksa tabletnya. Pergerakan stok material dan consumable dapat ia pantau dari tablet tersebut.
"Baik, Neng. Setelah cuti lumayan segeran saya," kata Mulyadi terkekeh.
"Za, makasih udah kasih saya cuti," ucap Mulyadi kepada Reza.
"Sama-sama, Pak. Lagian juga bakal sumpek, masa dua tahun gak ada liburnya," jawab Reza realistis.
Percakapan mereka di dalam perjalanan menuju sebuah mall di kawasan Serpong, Tangerang hanya seputar bagaimana Mulyadi menjalani waktu cutinya selama 5 hari di kampung halamannya di Bogor, pria itu memang merupakan orang yang dituakan di perusahaan.
"Buat jajan udah dikasih Reza, Neng, ini masih lebih," tolak Mulyadi ketika Melody akan memberinya uang jajan selama menunggunya bertemu dengan Hermawan.
"Gakpapa, buat yang lain, Pak," jawab Melody menyerahkan uang dua lembar seratus ribu kepada pria itu sebelum keluar dari mobil.
Melody bertemu dengan Hermawan dan Desi di sebuah restoran sushi, keduanya bahkan sudah memesan beberapa menu untuk mempersingkat waktu.
"Apa kabar, Mel?" Hermawan mempersilahkan Melody duduk di sebelah Desi, anak pertamanya.
"Baik, Pak," jawab singkat Melody.
Makan siang mereka berjalan normal, suasana kekeluargaan yang diciptakan Hermawan dan anak-anaknya lah yang membuat Melody nyaman.
"Omzet nambah terus, Mel. Kamu gak butuh tambahan staff?" tanya Hermawan sambil menikmati hidangan penutupnya.
"Nambah, Pak. Saya lagi tes anak bawah dulu, nanti buka lowongan kasir aja Teh, lebih hemat biaya tapi target tercapai," ucap Melody.
"Boleh, kapan Mbak?" tanya Desi.
"Seminggu lagi, semoga besok sudah dapat kandidatnya yang mana," jawab Melody yakin.
"Dengar Za, kamu bantu Melody juga, jangan cewek aja diurusin," omel Desi kepada adiknya.
"Mbak, jadi cari gaun tidak? Papa udah kelar lan?" tanya Reza mengalihkan pembicaraan.
"Gaun buat ketemu sama Pak Panji, Mbak?" tanya Desi memastikan.
"Iya, Teteh kan tahu, saya mana ada baju model gaun-gaun begitu, mana acaranya di tempat bagus," ucap Melody gelisah.
"Sama aku aja, biar Reza yang balik kantor setelah antar Papa pulang, gimana?" Desi mengambil inisiatif menemani Melody karena ada beberapa hal yang ingin ia bicarakan dengan orang kepercayaan Hermawan itu.
"Okelah, urusan belanja memang lebih baik sesama wanita, ayo Pa." Reza mengajak Hermawan kembali ke rumah.
"Duluan ya, Mel." Hermawan berpamitan kepada Melody, pria tua itu semakin menggantungkan harapannya kepada Melody atas keberlangsungan perusahaan.
Melody dan Desi sedang memilih beberapa gaun untuk dicobanya, ia mengambil kesempatan ini untuk menanyakan sesuatu yang mengganjal di hatinya sejak beberapa bulan belakangan.
"Mbak, maaf ya aku nanyain kamu lagi, Reza gak mainin uang Papa kan?" tanya Desi gelisah. Ia paham betul tabiat adiknya jika sudah mengenal wanita.
"Aman, Teh. Semua uang keluar sepengetahuan saya dan Pak Hermawan, Reza hanya mendapatkan gaji dan beberapa fasilitas umum layaknya karyawan, normal." Melody merasa perlu memperjelas posisi Reza di perusahaan. Anak kedua dari keluarga Hermawan ini terkenal suka foya-foya dan banyak wanita.
"Kamu tolong awasi dia juga, walaupun akhir-akhir ini dia udah baik sejak Papa sakit," kata Desi cemas.
"Teteh tenang aja, selama masih saya pegang, kan Teteh tahu berapa keuangan perusahaan dan seperti apa keadaanya, makanya saya selalu minta meeting bulanan dengan keluarga, biar semua tahu dan data saya kasih semua," jawab Melody.
"Gak tahu lagi kalau gak kamu yang pegang gimana, Mbak. Papa masih sakit hati sama adiknya, keterlaluan banget kan?" Desi mengingat betul waktu awal Melody masuk ke perusahaan itu semua berantakan dan tidak terorganisir dengan baik. Audit menyeluruh Melody minta sebagai syarat jika ia diterima di perusahaan tersebut.
"Doakan saya sehat terus, Teh. Kerjaan banyak dan saya butuh staff yang masih muda untuk diajak lembur," kata Melody.
"Ambil aja, Mbak. Reza biar bantu juga," ucap Desi.
Acara makan siang dan mencari gaun untuk Melody semakin mengeratkan hubungannya dengan orang kepercayaan Papanya. Desi berharap, Melody dapat seterusnya membantu perusahaan agar lebih maju dan berkembang. Dan, disisi lain ia juga sadar sejauh apa peran Melody di perusahaan keluarganya.