Melody menyadari ada hal yang aneh dengan dirinya ketika berdekatan dengan Panji. Bukan hanya saat ini namun sejak awal dan sekarang ia meyakini bahwa ini benar sebuah ketertarikan wajar antara pria dan wanita. Selama di Bandung, Panji benar-benar memperlakukannya sebagai wanita bermartabat, bukan soal fasilitas belanja no limit yang Panji berikan, namun lebih kepada perhatian yang Melody dapatkan. Hidup mandiri dan tanpa cinta selama beberapa tahun ini membuatnya kikuk menerima perhatian-perhatian kecil dari Panji.
"Duh, kenapa laki orang. Gusti!" Melody teriak dalam hati. Ia seperti terkhianati oleh hatinya sendiri. Bertahun-tahun ia membenci istri baru ayahnya namun apa yang terjadi sekarang. Ia mencintai pria beristri, lalu apa bedanya Melody dengan wanita itu. Pikiran-pikiran berat mengenai resiko menjadi istri kedua menjadikannya susah tidur, padahal seharusnya ia bisa menikmati kemewahan kamar hotel yang ia tempati. Setelah makan malam dengan Panji, ia langsung beristirahat karena pria itu harus bertemu salah satu pengusaha asal Kalimantan yang hendak berinvestasi di perusahaan hasil gabungan dua keluarga.
"Sadar Mel, kamu harus sadar." Melody menarik-narik rambutnya kesal kepada diri sendiri.
Keesokan harinya setelah makan siang, keduanya kembali Jakarta untuk bersiap dengan aktivitas masing-masing. Panji mengantarnya ke apartemen hingga ke unitnya. Ia memperhatikan sekeliling unit studio milik Melody yang terbilang cukup sederhana.
"Kamu nyaman disini?" tanya Panji setelah duduk di sofa sudut ruangan yang hanya tersekat lemari dengan tempat tidur.
"Daripada indekost, disini tentu lebih nyaman bukan," jawab Melody.
"Sudah berapa lama tinggal disini?" tanya Panji yang merasa interior apartemen perlu diperbarui.
"Dua tahun ini, setelah saya naik jabatan tentunya. Uang bonus tahunan saya pakai untuk ambil apartemen ini." Ada nada bangga ketika ia mengucapkan hal ini. Panji cukup menghargai itu.
"Ya sudah, saya harap dalam dua atau tiga hari kedepan kamu mau ketemu Mama. Kebetulan Mama ada di Jakarta. Jadi, sebelum kita ke Malang kamu sudah bertemu Mama, gimana?" Panji menerima gelas minuman dingin yang disodorkan Melody.
"Aku takut, kalau beliau tidak menyukaiku bagaimana?" Melody mulai panik.
"Tidak akan menyeramkan seperti yang ada dalam pikiranmu. Jangan bayangkan adegan sinetron yang kamu dijambak dan sebagainya, tidak akan ada yang seperti itu," jawab Panji terkekeh dengan reaksi takut Melody yang berlebihan.
"Cih, gak lucu." Melody memanyunkan bibirnya protes.
"Oiya, sebelum saya lupa, ini kamu bisa pakai bebas." Panji meletakkan kartu debitnya untuk Melody pakai di tangan kanan wanita itu.
"Untuk apa? Bukannya sudah belanja banyak kemaren." Melody menatap heran kartu debit keluaran sebuah bank swasta ternama yang ia yakini saldonya tidak kaleng-kaleng.
"Untuk kamu pakai sewaktu-waktu, apalagi saya kan juga gak bisa temani kamu terus." Panji sedikit memaksa Melody menyimpan kartunya.
"Terima kasih," ucap Melody kembali.
"Berhenti selalu bilang terima kasih!" Protes Panji.
"Lalu harus jawab apa?" Melody meletakkan gelas bekas minuman Panji di pantry.
"Saya sudah seperti orang yang beramal," ungkap Panji tidak suka.
"Cih, Pak. Makasih banyak udah senengin saya," ucap Melody malu.
"Bapak? Mas!" Panji berkata tegas.
"Baiklah, selamat beristirahat." Melody membukakan pintu apartemennya karena Panji mengisyaratkan akan segera pulang.
"Hati-hati, jangan lupa kunci pintunya rapat," pesan Panji kepadanya. Tentunya dengan sederet pesan lainnya yang meminta Melody berhati-hati dan lain sebagainya.
Setelah kepulangan Panji, Melody bertemu dengan sahabatnya. Ia merasa perlu mendapatkan wejangan atau pendapat dari sahabatnya. Fiki dan Indah, sahabatnya sejak sekolah sudah menunggunya di lobby apartemen untuk menjemputnya.
"Mel, tambah seger aja dari Bandung," ledek Indah kepada Melody yang sudah berpenampilan cantik seperti biasanya.
"Berisik!" Melody duduk di sebelah Indah.
"Mau ngopi dimana? Tempat bisa aja ya, sekalian makan malam," ucap Fiki.
"Boleh deh, aku lapar lagi neh," jawab Melody tanpa diminta.
Mereka bertiga menuju sebuah kedai kopi ternama. Kedatangan mereka langsung disambut baik oleh salah satu pelayan di sana, terutama Melody yang sudah langganan di tempat itu.
"Tambahin Lemon butter dory, gue laper Mbak," jawab Melody ketika ditanya soal menu pesanannya.
"Biasanya sama kentang goreng?" tanya Fiki dan Indah bersamaan.
"Ya udah boleh," sahut Melody terkikik.
"Jadi apa gerangan yang membuatku galau?" Indah memperhatikan sorot mata Melody yang sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Gue dilamar Pak Panji, Sabtu ini beliau minta ikut ke Malang ketemu ibu dan yang lebih dangerous lagi, Mamanya Pak Panji minta ketemu dua hari lagi." Melody lemas. Ia masih belum percaya seratus persen ucapan Panji yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Tunggu, Panji yang punya Kayana Group?" Fiki melorot tak percaya.
"Lo pikir ada berapa nama Panji yang gue kenal?" Melody menaikkan satu oktaf suaranya.
"Terima, terima Mel!" Teriak Fiki antusias. Matanya berbinar membayangkan Melody tidak akan bersusah payah melunasi hutang-hutangnya, lebih tepatnya hutang orang tuanya.
"Setuju, terima Mel. Kapan lagi." Indah menimpali ucapan suaminya.
"Masalahnya kalian tahu kan?" Melody mempertanyakan pendapat Fiki dan Indah.
"Ya, memang Pak Panji sudah beristri. Tapi kamu bukan seperti nenek lampir itu, Mel." Indah memberi penjelasan.
"Kamu nikah sama beliau karena ada tujuan, anak. Dan istrinya kasih surat izin, lalu apa masalahmu?" Fiki berusaha membangun rasa percaya diri sahabatnya.
"Betul, gue setuju. Lo bukan pelakor seperti yang Lo pikirin. Pernikahan kalian legal dimata hukum dan agama, dikuatkan izin dari istri pertama, apalagi coba." Indah memberikan pendapat.
"Jadi?" Melody menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Ya nikah, Mel," ucap Fiki dan Indah bersamaan.
"Terus masalah lagi, ibu. Apa ibu mau anaknya jadi istri kedua." Melody belum sepenuhnya tenang. Bayangan ketidaksetujuan ibunya masih mendominasi isi kepalanya.
"Kalau lakinya macam Pak Panji, gue yakin ibu gak nolak. Beliau orang baik kok," ucap Fiki yakin.
"Ya udah. Sekarang makan dulu, beneran gue lapar." Melody mengalihkan topik pembicaraan ketika makanan yang ia pesan sudah datang.
"Boleh, ayo makan dulu." Fiki meraih piring spaghetti carbonara miliknya dan Indah dengan menu soup pilihannya.
Obrolan mengenai polemik Melody masih berlanjut. Melody masih bertanya-tanya, kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan. Apa maksudnya ini, jalannya menemukan kebahagiaan berpasangan dengan pria yang dicintainya masih menyisakan tembok pemisah, status sosial yang menunjukkan Panji telah memiliki istri menjadikan wanita itu maju mundur.
"Lo dah tanggung, Mel. Maju kena mundur juga kena. So, maju adalah pilihan terbaik." Fiki memberikan wejangan lagi.
"Siapkan hati dan mental yang kuat. Cepat atau lambat, media akan tahu. Pak Panji sering muncul di TV, Lo harus sadari dari sekarang." Tak mau kalah dengan suaminya, Indah pun memperingatkan Melody akan posisi Panji yang memang terkenal, walaupun bukan seorang artis.
"Tutup kuping rapat-rapat, Lo gak bisa bungkam mulut netizen. Yang bisa Lo lakuin ya tutup kuping." Fiki yang memang seorang pekerja di dunia entertainment paham betul akan hal ini.
"Oke deh. Semoga semua gak seperti yang gue bayangin." Melody sedikit berlega hati. Berbagi keluh kesahnya dengan dua sahabat yang selalu ada untuknya.
Dan disinilah titik balik kehidupan seorang Melody dimulai. Ia harus mempersiapkan diri akan kemungkinan yang akan terjadi esok, lusa ataupun beberapa bulan bahkan tahun ke depan. Semua masih terlihat abu-abu dimatanya. Sebuah keputusan akan memiliki resiko. Begitulah yang Fiki dan Indah katakan kepadanya.