Dicky berusaha menempel ke Melody. Setelah makan siang, ia masih berusaha mencuri kesempatan berdekatan dengan mantan pacarnya itu.
"Kami pamit dulu, Pak Dicky. Sampai jumpa," ucap Hermawan. Ia mewakili Melody berpamitan karena melihat keduanya terlibat perdebatan lagi.
"Baik, Pak Hermawan. Sampai jumpa lagi, Mbak Melody." Dicky menjabat tangan keduanya profesional.
Akhirnya Melody terselamatkan dari teror Dicky yang masih berusaha mendekatinya lagi.
"Mel, masih cinta itu." Hermawan berkomentar mengenai hubungannya dengan Dicky.
"Dia bukan cinta sama saya Pak. Tapi sama tabungan saya," ucap Melody getir
"Sudah, kalau tidak mau kembali gak masalah. Bicarakan baik-baik. Maaf ya," sahut Hermawan tak enak hati.
"Tidak masalah, Pak." Melody menyunggingkan senyum manis kepada atasannya.
"Kayana tidak masalah kan Mel?" tanya Hermawan mempertanyakan progres pekerjaannya.
"Gak ada Pak. Semua masih on the track, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Melody meyakinkannya.
"Baiklah, apa karena berita yang kudengar dari Desi betul?" tanya Hermawan menggodanya.
"Berita yang mana ya Pak?" tanya Melody penasaran. Ia masih belum yakin jika kedekatannya dengan Panji sudah sampai di telinga Hermawan.
"Dinner sama Pak Panji sepertinya gak hanya soal kelancaran PP Engineering tapi lebih ke pribadi, gakpapa Mel. Saya dukung kamu daripada kembali dengan Dicky yang penuh resiko." Hermawan memberi pendapat yang di luar dugaannya.
"Tapi Pak Panji ada istrinya, Pak. Bapak gak salah?" Melody menatap heran Hermawan.
"Mel. saya tahu kehidupan Hermawan dari kecil sampai ke pernikahannya. Gak ada salahnya kamu nikah sama dia. Toh diperbolehkan sama agama jika mampu dan ada ijin dari istri pertama." Hermawan terbahak melihat ekspresi wajah Melody.
Pembicaraan mereka terhenti ketika mobil yang mereka tumpngi sudah memasuki lobby perusahaan. Melody lebih memilih diam dan tidak menjawab ucapan Hermawan.
"Mel, pulang cepat saja. Toh hari ini tidak ada yang urgent untuk besok." Hermaan menepuk pundaknya lalu menuju ke ruangannya.
"Iya, Pak," Melody menghela napasnya perlahan. Sepertinya hampir semua orang mendukungnya. Entah karena sudah terlalu lama sendiri ataukah memang Panji adalah sosok yang cocok sebagai suaminya terlepas ia sudah beristri.
Melody kembali ke ruangannya, melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Larur dalam pekerjaannya, sebuah notifikasi pesan singkat masuk ke ponselnya.
"Aku jemput sore ini, kita jalan sebentar." Dicky mengirimkan pesan singkat tersebut dilengkapi dengan emoji hati.
Melody kembali merasa terganggu, Dicky memang masih sering berusaha mendekatinya walaupun tidak intens namun seiring dengan perkembangan proyek Kayana yang sudah dipegangnya, intensitas itu mulai bertambah,
"Wajar saja aku beranggapan kamu memang cuma cinta sama uangku, bukan benar-benar ingin bersamaku," gumam Melody menatap nanar ponselnya. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Dengan malas ia menekan simbol berwarna hijau untuk membuka pesan.
"Apa Dicky mengajakmu dinner?" tanya Panji. Sepertinya, Panji cukup paham siapa Dicky, terbukti tebakannya pagi tadi benar-benar terjadi. Melody menjawabnya dengan mengirimkan screenshot pesan singkat dari Dicky kepadanya yang belum ia jawab.
"Lalu, mau kamu bagaimana?" Panji memang sudah mencari tahu seluk-beluk hubungan Melody dengan Dicky. Ia hanya ingin tahu reaksi wanita itu.
"Tidak ada kesempatan kedua, saya gak mau. Tapi, masalahnya gak hanya ini. Dia pasti nekat datang ke kantor," jawab Melody resah.
"Mau aku datang jemput kamu?" tawar Panji. Kebetulan, ia akan mengajaknya membeli gaun untuk pertemuan dengan Devina.
"Kalau tidak merepotkan," jawab Melody pasrah. Ia sudah lelah menghadapi Dicky yang datang hanya ketika membutuhkannya.
Proyek besar dengan kayana memang tidak hanya sekedar membangun pabrik namun membuat kawasan industri yang akan menyerap banyak tenaga kerja. Seingatnya, Dicky memiliki perusahaan keluarga walaupun tidak sebesar PP Engineering.
"Oke, jam 4 saya berangkat." Balasan terakhir Panji kepadanya. Pria itu langsung meminta Joni untuk memundurkan jadwal yang tidak penting.
Melody akhirnya bisa bernapas lega, setidaknya Dicky tidk kan macam-macam kepadanya. Melirik jam tangannya, masih ada waktu dua jam untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada. Melody mengecek laporan hutang piutang bulanan.
"Za, udah pulang?" Melody menghubungi Reza, General Manager sekaligus anak Hermawan. Pemilik PP Engineering.
"Belum, Mbak ada yang mau dibicarakan?" tanya Reza kembali.
"Iya neh. Herona belum bayar tagihannya apa gimana ya? Tumben udah lewat seminggu," kata Melody terdengar gelisah.
"Saya udah bantu follow up tapi pemiliknya susah ditembus, Mbak saya ke tempat Mbak aja, sekalian bawa dokumen dari Papa," kata Reza sebelum menutup sambungan telepon. Ia langsung membawa dokumennya menuju ruangan Melody tak jauh dari ruangannya dan Hermawan tentunya.
"Gimana?" Reza meminta pendapat Melody mengenai beberapa tagihan yang sudah jatuh tempo.
"Kayaknya besok pagi deh, coba gue japri atau call mereka satu-satu." Melody menyerahkan data piutang macet yang sudah di print out kepada Reza.
"Ya udah, harusnya sampai di level SPV tapi apa mau dikata," ucap Reza meresah.
"Ya kalau gak gini, gue gak ada kerjaan." Melody terkikik. Meredakan keresahan yang Reza rasakan.
"Mbak ini, oiya ini dokumen dari Papa. Udah ditandatangani dan besok Mbak udah bisa bawa ketemu Pak Panji." Reza menyerahkan sebendel dokumen dan flashdisk.
"Gak sama kamu, Za?" tanya Melody menerima dokumen itu.
"Saya ke pabrik, Mbak. Kayaknya ditemani Teteh, besok dia free," jawab Reza.
"Oke deh, gue balik jam 4 ya? Hhhmmm…." Melody terdengar ragu menyampaikan sesuatu namun Reza sepertinya sudah paham apa yang akan dikatakan Melody.
"Sebenarnya Mbak gak perlu ditemani, pawangnya udah Mbak dapatkan. Gak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali mantan Mbak yang rese itu," ucap Reza kepadanya.
"Pawang? Pawang hujan?" kata Melody terbahak.
Belum sampai Reza menjawab ucapannya, seorang staff nya datang memberitahu jika ada tamu yang mencarinya.
"Siapa Bud?" tanya Melody penasaran. Antara Panji dan si rese Dicky.
"Orang Kayana katanya," ucap Budi sebelum berpamitan kembali ke ruangan. Otomatis Reza menatap Melody dan terbahak.
"Duh, Mbak. Biar saya ajak ke atas ya, bahaya kalau Tuan besar tidak disambut." Reza bangkit dari duduknya dan setengah berlari menuju lobby. Ia yakin bahwa yang datang adalah Panji.
"Sore Pak Panji, apa kabar?" Reza menghampiri Panji dan asistennya yang sedang duduk di sofa tamu.
"Ah baik, saya kesini cuma mau jemput Melody," ucap Panji santai. Tak lama kemudian, wanita yang ditunggunya datang dengan menjinjing hand bag nya berbarengan dengan kedatangan Dicky.
"Oke, berhubung sudah datang, saya pamit dulu, Pak Reza." Panji tanpa sungkan menggandeng tangan Melody. Semata-mata untuk melindungi wanita yang dicintainya dari laki-laki macam Dicky.
Melody berpamitan kepada Reza dengan mengangguk dan ia menyadari kedatangan Dicky. Hal yang sebenarnya ia hindari namun sudah terlanjur terjadi. Tepat sekali, ia harus bicara kepada pria itu.
.