Rabu malam menjadi hari yang cukup melelahkan bagi Melody setelah melewati hari Seninnya yang menyebalkan. Setidaknya acara anniversary Kayana Group malam ini bisa ia jadikan sebagai alasan untuk pulang lebih awal.
"Mau ke salon dulu gue, Lo tega liat gue gak tampil maksimal di acara Kayana. Gini-gini kan bawa nama PP Engineering, Za!" Melody memberi argumen kepada Reza, General Manager PP Engineering sekaligus anak pemilik perusahaan tersebut.
"Ya udah, Mbak. Kita ketemu disana aja kalau gitu," kita Reza pasrah melihat wajah muram Melody.
"Makasih Reza, gue balik." Secepat kilat Melody menghilang dari pandangannya. Ia takut, Reza akan berubah pikiran jika ia berlama-lama di ruangan pria tersebut.
Acara Kayana tidak hanya membuat Melody ingin tampil cantik dan anggun. Hampir semua tamu undangan ingin melakukan hal yang sama dengan yang gadis itu lakukan. Tidak terkecuali Bella Nafisya, istri dari Prasetyo yang juga turut diundang bersama suaminya.
"Kita wakilin beliau, jadi kuharap kamu tidak berulah disana," Prasetyo memperingatkan istrinya.
"Apaan sih, Pa!" Bella yang sedang memakai anting berliannya merajuk.
"Ngingetin aja, apalagi anakku ada disana. Kalau gak sengaja bertemu ya sapa biasa aja, gak usah mancing!" seru Prasetyo yang tahu perangkai istrinya.
Prasetyo sudah mengetahui dari anak buahnya jika Melody bekerja di PP Engineering. Dalam hati, ia bangga dengan prestasi anaknya. Setitik rasa bersalahnya muncul ketika suatu hari ia tak sengaja melihat Melody sedang membetulkan mobilnya sendiri di tengah jalan.
"Anakku memang hebat." Dalam hati ia berkata agar tidak diketahui oleh Bella. Wanita itu menjadi musuh bebuyutan anaknya. Bella dan Melody sama-sama saling membenci.
Keduanya sudah hadir di acara Kayana. Sebuah hotel mewah di wilayah Jakarta menjadi pilihan Kayana menggelar acaranya malam ini. Para tamu undangan yang hadir bukanlah orang biasa, rata-rata mereka adalah pebisnis sukses dan karyawan dengan jabatan penting di perusahaan masing-masing.
"Selamat datang, Mbak Melody." Sapa Joni yang tidak sengaja berpapasan dengannya.
"Hallo Pak, terima kasih undangannya." Sapa Melody yang malam itu mengenakan dress diatas lutut dengan heels warna senada.
"Cantik dan mahal," ucap Devina yang ikut hadir dalam acara tersebut. Ia tak sengaja melihat Melody yang sedang berbincang dengan rekannya sesama Manager Keuangan di sudut ruangan lainnya.
"Betul, Bu. Saya lagi ngomporin Pak Panji, semoga berhasil." Joni yang berada di sebelah Devina ikut berkomentar.
"Oiya, kamu bantu-bantu lah. Panji itu susah, harus ada yang meyakinkan baru jalan," kata Devina.
"Siap, Bu. Saya kawal sampai dapat." Joni meyakinkan Devina.
"Bagus, lanjutkan Jon." Devina menepuk pundak Joni memberi semangat.
Prasetyo memilih tidak mendekati Melody, ia cukup tahu diri. Kejadian di masa lalu, cukup menorehkan luka di hati anak gadisnya. Ia hanya mampu memandang dari kejauhan Melody yang kini menjelma menjadi wanita muda yang sukses di bidangnya.
Panji sempat menyapa Melody sebentar, banyaknya tamu undangan memaksa Panji harus berbagi waktu untuk menjamu mereka.
"Sukses terus, Pak. Saya tunggu launching air mineral kemasan dari Kayana," ucap salah satu kolega bisnisnya.
"Ah, terimakasih," jawab Panji. Ia sedang berbincang dengan beberapa koleganya dari Surabaya.
Sementara itu, Bella yang mendapatkan kesempatan bertemu dengan Melody tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengerjai gadis itu.
"Masih hidup, Lo?" Bella mendekati Melody yang tengah menikmati hidangan malamnya.
"Masih, dan gue kaya dengan hasil gue sendiri. Bukan ngepet ke laki orang!" Melody menatapnya tajam.
Bella yang mendapatkan jawaban telak dari Melody memilih bungkam dan meninggalkan anak tirinya itu. Ia masih mengingat pesan dari suaminya untuk tidak membuat keributan. Sementara itu, Melody yang sudah hilang selera makan ditenangkan oleh Hidayat yang mengetahui kondisinya.
"Gak usah dipikirkan, Neng. Senengin diri sendiri, makanan enak jangan dianggurin." Hidayat berusaha membesarkan hati gadis itu.
"Betul juga, rugi saya gak kenyang pulang dari sini," jawab Melody terkekeh. Ia tidak mau merusak penampilan mahalnya malam ini hanya karena nenek lampir macam Bella.
"Ngomong-ngomong, owner Aero Engineering nyariin. Gak pengen nyamperin," kata Hidayat menggodanya. Pria itu tahu, Melody menjadi incaran pria di lingkungan pekerjaannya.
"Ah, itu orangnya Pak. Saya sapa dulu," jawab Melody ketika melihat Arief mendekati dirinya.
"Hallo, Mel. Apa kabarmu?" Arief adalah pemilik perusahaan Aero Engineering, Mereka sering bertemu di acara tender perusahaan dan terlibat proyek bersama.
"Baik Pak, seperti yang bapak lihat," jawab Melody sambil tersenyum.
"Betah ya ikut Pak Hermawan, gede ya Mel gajinya?" Arief masih penasaran dengan pendapatan gadis itu.
"Relatif, Pak. Yang penting cukup," jawab Melody bijak.
"Kamu, sebijak atasanmu," kata Arief mengomentari tentang dirinya.
Panji kembali melihat Melody berbincang dengan pria lain yang ia ketahui bernama Arief. Di luar prediksinya, ternyata gadis itu cukup populer di kalangan perusahaan manufaktur.
Acara tersebut berlangsung meriah dengan hadirnya artis ibukota yang menghibur tamu undangan, Melody menikmati acara tersebut sampai usai dan menjelang pukul sebelas malam ia berpamitan kepada Panji sebagai pemilik acara untuk undur diri.
"Terima kasih, Mbak Melody. Saya harap kerjasama dengan PP Engineering terus berlanjut," Panji menjawab ucapan Melody dengan tidak meninggalkan kesan profesional.
"Sama-sama, saya permisi Pak." Melody meninggalkan Panji dan Joni yang sedang menikmati hidangan penutup. Pria itu bahkan belum menyentuh makanan utama karena sibuk menyambut tamu-tamu yang hadir.
Melody memegang jantungnya yang berdegup kencang, ada rasa tak biasa ketika berjabat tangan dengan Panji tadi.
"Astaga, sadar Mel!" Teriak Melody dalam hati. Ia mengemudikan mobilnya kembali ke apartemennya. Kembali merasakan kesendirian dan kehampaan.
"Tuhan, gue cuma mau pasangan hidup tapi bukan laki orang!" Melody memandang jalanan malam itu yang mulai lengang.
Lelah hati dengan kesendirian masih membuatnya bersyukur, setidaknya Melody mempunyai pekerjaan dan jabatan yang patut untuk dibanggakan. Ia berjalan gontai menuju unit miliknya di lantai tujuh. Angka favoritnya. Menyalakan pendingin ruangan dan membuka kulkas untuk mengambil air mineral. Meneguknya hingga tersisa setengahnya, Melody merasa lebih baik.
"Gue harus kuat demi ibu, gak boleh cengeng!" serunya. Sekelebat wajah sendu ibunya menghampiri ketika ia ingin menyerah dengan kehidupan.
Melody memilih membersihkan dirinya di bawah guyuran air dingin untuk menenangkan diri. Ia harus berpikir logis dan optimis, karirnya sedang bagus dengan penghasilan yang memadai, tidak semua orang bisa mendapatkan hal itu di usia muda.
Sementara itu, Prasetyo mengomeli istrinya yang mencoba memancing emosi Melody.
"Udah dibilangin, kamu bandel sih!" Prasetyo memasang wajah masam kepada Bella.
"Nyapa doang, Pa," ucapnya berdusta.
"Nyapanya gak elegan, terlalu ekstrim, sayang!" seru Pras kesal.
Bella terkekeh dengan omelan suaminya, ia berusaha meredam emosi suaminya dengan memeluk pria itu.