Chereads / Jangan Kembali / Chapter 10 - Penguntit Tertangkap

Chapter 10 - Penguntit Tertangkap

"Apa yang lain tau kau menemukan ini?" tanya Ruri.

Sesilia hanya menggeleng dan terus melangkah menjauhi rumah. Mereka kembali melewati jalan sempit dengan banyak sampah di sepanjang jalannya. Berjalan setapak demi setapak hingga akhirnya mereka tiba di jalan raya. Jalan yang dilintasi banyak kendaraan menuju tol.

"Kenapa kau tertidur di sofa kemarin? Bukannya kau sudah kami baringkan di dalam rumah?" tanya Sesilia dengan wajah meledek. Sepertinya Sesilia sadar mengapa hal itu bisa sampai terjadi. Dugaan itu diperkuat dengan reaksi Ruri yang coba menghapal jalan menuju rumah Sesilia dan keluarganya.

"Kau harus lebih teliti. Gunakan ingatanmu, meskipun kau sempat kehilangan ingatan masa lalumu," ungkapnya sambil terus berjalan.

Kini pandangan Ruri terhadap Sesilia sangatlah berbeda. Ia begitu terkesan dengan gadis itu. Meski saat ini Sesilia menggunakan celana lea panjang dengan jaket kulitnya. Namun, entah mengapa Sesilia tetap terlihat cantik dengan pakaian kumal yang sedang digunakannya.

"Apa kau tidur sambil berjalan? Mengapa diam saja?" tanya Sesilia yang segera dibalas dengan senyuman.

Kaki mereka terus melangkah hingga akhirnya tiba di loker yang sama tempat mereka kemarin menemukan tas hitam milik Ruri.

"Kali ini, apa kau tau loker deretan mana yang harus aku buka?" tanya Sesilia dengan santainya.

"A, aku enggak yakin."

"Bukannya kemarin kau bisa menebak dengan baik?"

"I, itu karena kartu yang aku temukan. Tertulis jelas 'Selamat datang Mr.p'. Sedangkan kartu yang ada di saku mayat itu sangat berbeda. Tidak ada kode huruf apapun di sana," jelas Ruri dengan sedikit tergagap.

"Baiklah! Aku akan mencoba membuka semua loker di sini!" jawab Sesilia dengan semangat.

Beberapa jam berlalu, tak sebuah lokerpun terbuka. Kejadian ini cukup membuat Sesilia dan Ruri kecewa.

"Aku kira, itu bukan kunci loker di sini."

"Yah, aku akan menyimpannya."

"Berhati-hatilah menyimpannya. Itu terlalu kecil, kau bisa menghilangkannya."

"Aku tidak bodoh, Ruri. Aku akan menyimpannya di sini," ucap Sesilia yang kemudian meraih kalung yang tergantung di lehernya. Menyelipkan kunci itu di sana bersama mainan rantai. Ukuran kunci yang kecil itu membuat ia terlihat sama dengan mainan kalung lainnya.

"Oh ya, mengapa kau tidak mengatakan pada yang lain kalau kau menemukan kartu dan kunci itu di sakunya?" tanya Ruri yang terlihat sangat penasaran.

Sesilia terdiam sesaat, sepertinya ia menyimpan rahasia dalam hatinya.

"Aku mendapatkan benda ini sebelum pria itu mati. Sesungguhnya, aku menemukannya yang jatuh pingsan tak berada jauh dari gedung roboh tempat rumahku berada. Ia terlihat sesak napas, lalu menyerahkan ini padaku. Wajahnya menunjukkan harapan besar. Aku tidak tau siapa dia dan aku juga masih berpikir mengapa ia berlaku begitu padaku."

"Apa dia sempat mengatakan sesuatu padamu?"

"Tidak, maksudku tidak jelas. Namun, jika diperhatikan dari gerak mulutnya, ia mengatakan, 'Tolong mereka'."

"Kenapa kau berekasi begitu?" tanya Sesilia sambil menatap bingung ke arah Ruri yang kini memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya seketika merinding seperti orang ketakutan.

"Hei! Ayo masuk ke sini!" pinta Sesilia dengan wajah cemas.

"Ada apa?"

"Sudah ikut saja!" ucap Sesilia sambil menarik tangan Ruri seakan menggandengnya.

"Kita mau kemana?"

Sesilia tidak menjawab dan terus berjalan. Ia semakin mempercepat langkahnya saat memasuki lorong sempit. Lalu kemudian berlari dan bersembunyi di balik kursi tua yang terbuang di sana.

"Ada apa?"

"Bisa diam tidak?" ujar Sesilia dengan tubuh bersiap. Semakin membuat Ruri bingung dan hanya bisa menatap ke arah yang sama seperti Sesilia lakukan.

"Ada yang mengikutimu," ungkapnya sambil menatap ke ujung lorong. "Aku yakin, dia mengikutimu. Tepatnya saat kita keluar dari ruang loker tadi."

"Kau yakin, kau melihat siapa dia?"

"Tidak dengan wajahnya. Namun, tubuhnya gemuk dan pendek serta bermbut putih. Tepatnya ia seperti kakek tua."

"Jika dia tua, mengapa tidak kita tangkap saja?" tawar Ruri dengan wajah tak merasa bersalah.

"Apa kau gila?" ucap Sesilia dengan kedua mata yang terbelalak.

"Tenang saja, aku tau kau bisa. Bukannya kau Sesilia?"

Merasa tertantang, Sesilia pun bangkit dan berjalan penuh percaya diri keluar dari lorong. Sikap ini cukup membuat Ruri tersenyum geli, namun mendadak takut. Pikiran buruk pun datang.

"Bagaimana jika dia bukan kakek tua? Bagaimana kalau ia membawa senjata? Bagaimana kalau Sesilia terluka dan aku dibunuh? Ya Tuhan ... bodohnya aku. Mengapa aku menantangnya. Sesilia gadis yang tak bisa ditantang. Ia pasti akan nekad menunjukkan kehebatannya. Bagaimana caranya agar aku bisa menghentikan Sesilia!" gumamnya dengan wajah cemas.

"Sesil!"

Panggilan Ruri tak digubris. Sesilia terus saja berjalan dengan gagahnya. Dada membusung dan senyuman penuh percaya diri. Ia melangkah dengan sikap tubuh yang bersiap melawan musuh. Sedangkan Ruri hanya bisa terus berada di belakang, mengikutinya. Hatinya sangat cemas, ia tidak tahu apakah Sesilia memiliki kemampuan bela diri atau tidak.

Sepertinya tak ada lagi yang mengikuti mereka. Terlihat dari sekitaran, orang-orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ruri menjadi lebih tenang dan bisa bernapas normal. Berjalan santai di samping Sesilia yang masih menunjukkan sikap siaga.

"Sudahlah! Mungkin di sudah pergi dan tidak mengikuti kita lagi," ucap Ruri mencoba menenangkan Sesilia.

"Kau salah. Penguntit tidak akan semudah itu pergi. Ia pasti menunggu untuk kembali menguntit. Hingga menemukan target dan mendapatkan apa yang ia mau."

Ruri kembali terdiam. Rasa takut kembali menghantuinya. Namun, perlahan rasa itu lenyap. Karena sepanjang jauh mereka berjalan semua tampak biasa saja.

"Aku ingin makan, perutku lapar!" ucap Ruri dengan malu-malu.

"Kau tau caranya makan gratis?" ucap Sesilia dengan jutaan ide di wajahnya.

"Kau mencuri?"

"No, no. Aku tidak akan mencuri."

"Jadi, apa kau ingin bekerja mencuci piring agar bisa makan?"

"Salah!"

"Atau kau akan pulang, makan masakan Ibu?"

"Terlalu jauh, keburu aku pingsan karena lapar. Salahku, kita pergi terlalu pagi sampai tidak sempat sarapan," ungkapnya.

"Jadi?"

Sesilia berjalan mendekati sebuah kota donat yang sudah termakan sebahagian. Ia mengambil dan berjalan tenang mendekati toko donat.

"Hai, sepertinya kau kurang memberikan jumlah donat pesananku. Keju dan cokelat belum ada di kotak," ungkap Sesilia dengan percaya diri sambil berpura-pura mengunyah dan tangan kanan memegang donat yang ditemukan tadi.

"Maafkan kami. Ini dua donat yang kau inginkan," ucap pelayan pria itu.

Ruri hanya bisa menatap takjub ke arah Sesilia. Keduanya bisa menikmati donat gratis tanpa harus melakukan kejahatan. Makan berdua di atas kursi halte, mereka sangat menikmati waktu yang ada. Hingga mengabaikan penumpang lain yang menunggu bus di sana.

"Ayo!" ucap Sesilia yang lebih dulu bangkit mendadak, sedangkan Ruri belum sempat menghabiskan donatnya.

Tersadar, ada seorang pria yang terus berjalan mengikuti mereka. Ruri menjadi kaku setelah menyadari hal ini.

"Kau berjalan saja, biar aku mengikuti. Agar aku tau siapa yang mengikuti kita," bisik Sesilia yang dengan sengaja mengecup pipi Ruri seakan melakukan perpisahan sepasang kekasih.

Ruri kaget bukan main, dadanya bergemuruh dengan pipi yang merona. Ini pertama kali ia di cium, setidaknya begitulah kata ingatannya. Ia nyaris menggagalkan rencana karena terlalu lama berdiri mematung di sana. Namun, segera tersadar dan berjalan tanpa tahu arah. Benar saja, seorang pria mengikuti Ruri. Namun, kini ada Sesilia yang juga mengikuti pria itu.

Tanpa rencana, Ruri memilih jalanan sepi dan ini menjadi kesempatan emas untuk Sesilia menangkap penguntit itu. Pria itu terus berjalan mengikuti Ruri, tanpa tahu keberadaan Sesilia. Hingga jarak mereka begitu dekat dan Sesilia melayangkan sebuah kayu tepat ke punggung pria itu.

"Brak!" tubuh pria itu rubuh dan telungkup di atas tanah.