Susi melangkah tenang menelusuri lorong rumah sakit, ia mencoba bersikap layaknya perempuan kampung yang ramah. Tersenyum kepada siapa saja yang ia temui dengan menunjukkan cengiran kuda. Sebahagian orang akan membalasnya dengan senyuman, terutama para pasien. Namun, tidak dengan beberapa perawat yang menatapnya jijik seakan Susi tengah mencari muka agar bisa naik jabatan. Sudah menjadi hal yang wajar terjadi, dimulai dari petugas kebersihan, lalu naik jabatan menjadi petugas dapur, lalu naik dan terus naik demi mendapatkan gaji tinggi. Tak heran jika sikap terlalu ramah yang ditunjukkan Susi membuat banyak karyawan jengah.
"Heh, jika bukan karena sedang bertugas, aku juga ogah menyapa kalian," gerutu Susi setiap kali ia mendapatkan wajah jelek mereka dari sikap ramahnya.
Satu per satu piring berisi bubur dan buah telah ia bagikan. Hanya tersisa sepiring makanan di atas meja sorongnya. Ia tahu, piring ini bukan untuk kamar VIP. Namun, ia sengaja membuang stiker yang bertuliskan nama dan ruangan. Lalu berjalan tenang menuju ruang VIP.
Memastikan tak ada penjaga yang berjaga di luar, Susi pun tersenyum bangga. Ia berjalan penuh percaya diri sambil mendorong mejanya. Namun, seketika langkahnya berhenti saat tangan seseorang menyentuh bahu kanannya.
"Siapa kau?" tanya seorang pria dengan suara ngebas dan menakutkan.
"Aku hanya ingin mengantarkan makanan untuk Tuan di ruangan ini," jelas Susi dengan nada lugu. Namun, ia nyaris ketahuan karena memanggil dengan sebutan Tuan. Hanya orang tertentu saja yang memanggil Alinski dengan sebutan Tuan.
"Apa kau tidak salah?" tanya pria itu menatap tajam ke arah sepiring penuh bubur dengan potongan ayam di atasnya.
"Apa salah jika orang sakit makan bubur?" tanyanya seakan tak merasa bersalah.
Susi cukup ahli dalam berakting. Gerakan tubuhnya begitu luwes, begitu pula dengan mimik wajah yang sangat terlihat meyakinkan. Ia benar-benar tak terlihat seperti pencari berita amatiran. Padahal dirinya terkenal galak, tegas dan angkuh. Namun, semua itu tidak pernah terlihat saat ia tengah berakting. Ini bukan kali pertama ia menggunakan kelebihannya, yaitu berakting. Bahkan sebelumnya ia pernah menyamar menjadi pelayan, perawat juga wanita malam dan semua itu berhasil mengecoh siapapun yang melihatnya. Meski terkadang ia merasa geli dan jijik sendiri saat memandang dirinya saat melakukan penyamaran.
"Aku rasa kau salah alamat," ucap pria itu tegas yang kali ini mendorong tubuh Susi menjauh dari pintu ruangan.
"Ma, maafkan aku. Aku hanya orang baru dan aku ...," ujar Susi yang memasang wajah sedih diiringi mata yang berkaca-kaca. Entah bagaimana bisa ia berakting sebaik itu, jika saja ada pencarian bakat pemeran maka ia akan mendapatkan tiket emas dan lolos lebih awal.
"Pergilah!" ucap pria itu dengan tegas, lalu kembali berdiri dengan sikap siaga.
Susi melanjutkan aktingnya, ia memasang wajah takut dan sedih lalu berbalik menjauhi ruang VIP. Jauh di dalam hatinya, Susi berkata, "Kau pikir aku akan berhenti di sini? Kau salah kawan."
Sepertinya Susi sengaja berjalan lambat. Ia masih berakting seakan tangannya tengah menyeka air mata yang jatuh.
"Apa yang terjadi?" tanya penjaga lainnya yang baru saja tiba.
"Dia mengantarkan bubur untuk Tuan. Jadi aku memintanya pergi."
"Apa yang kau lakukan?" tanya pria lembut dan berbadan tegar. Pria itu dengan segera menyusul Susi dan menghampirinya.
"Maafkan temanku, Nona. Biar aku yang mengantarkan bubur ini ke dalam ruangan," ucapnya ramah sembari mengambil piring berisi bubur.
Tak ingin menyia-nyiakan rencana, Susi dengan segera menyentuh tangan pria gagah yang mencoba mengambil piring bubur. Seakan berterima kasih, Susi menyentuh kedua tangan pria itu dan menyelipkan sesuatu di bawah piring.
"Terima kasih," ucapnya lembut sambil menjauhkan tangan.
"Tidak mengapa, aku permisi dulu," ucapnya yang berjalan kembali menuju ruangan dengan piring di tangannya.
Susi tersenyum bangga dan ia tidak lagi melanjutkan akting sedihnya. Berjalan melenggok penuh percaya diri dan menunggu pembicaraan yang mungkin ia dengar dari balik alat sadapnya. Tak lupa ia mengembalikan meja dan seragam dapur ke ruangannya.
Seorang satpam melongos bingung melihat Susi yang kini dengan rambut terurai melangkah manja menuju pintu keluar. Ia terdiam cukup lama sambil mengamati wajah Susi. Baginya senyum Susi seakan tak asing, namun ia merasa melihat dua orang berbeda dengan wajah yang sama. Hingga saat ini ia hanya bisa menggaruk kepala sambil terus berpikir akan penglihatan yang membigungkan ini.
***
Kini Sesilia terbaring di atas ranjang rumah sakit. Masih dengan wajah memucat dan bagian bawah mata yang menghitam. Ibu dan Dino berada di sisi ranjang memandangi wajah Sesilia, sedangkan Ruri duduk di atas sofa dengan wajah penuh kecemasan. Masih banyak hal yang ingin ia selidiki bersama Sesilia, namun semua itu terancam batal karena keadaan Sesilia yang begitu lemah.
"Semua baik-baik saja, setidaknya itulah yang Dokter katakan padaku," ucap Ayah yang tiba-tiba berada di ruangan. suara dorongan pintu yang dilakukan ayah membuat semua mata menatap ke arahnya.
"Tenang saja, lambungnya sedang kambuh. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan," ucap Ayah, namun dengan wajah cemas dan hawatir.
Sontak saja sikap Ayah semakin membuat mereka menjadi hawatir. Terutama ibu dan Dino yang senantiasa hidup bersama dengan Sesilia.
"Kau yakin?" tanya Ibu mencoba mendekati Ayah.
"Yah, apa aku terlihat berbohong?" sahut Ayah mencoba meyakinkan.
Dino menatap tajam ke arahnya saat mata ayah menatap ke arahnya. Jari telunjuknya bergerak ke kanan ke kiri mewakili jawabannya yang mengatakan tidak.
"Hei, ada apa dengan kalian. Apa aku tidak boleh cemas?" jawab Ayah yang kini mengangkat tinggi kedua bahunya. Lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan.
"Dia pria yang jujur dan akan menjadi bodoh saat berbohong," ucap Dino dengan nada lemah. Meskipun Dino berusia sangat muda, namun dialah orang yang paling peka. Dia menjadi orang pertama yang tahu apa yang tengah terjadi pada yang lainnya.
Seperti saat Sesilia pertama kali mengalami mens, ia terlihat takut dan merasa nyeri pada bagian perut serta pinggang. Namun, ia terlalu takut untuk berbagi cerita kepada Ibu. Alhasil, Dinolah yang menolongnya. Dino mengatakan apa saja yang ia cermati, seperti Sesilia yang terus memegang perut dan pinggang serta berulang kali ke kamar mandi.
Ruri yang menyadari akan sikap dan omongan Dino pun segera melangkah keluar menyusul ayah. Benar saja, Ayah terlihat duduk di ujung balkon menatap ke arah parkiran. Duduk berpangku tangan dengan mata yang berkaca-kaca.
"Apa aku boleh duduk di sini?" tanya Ruri dengan nada meragu karena ia takut menganggu.
Ayah mengangguk, namun tidak berani menatap ke arah Ruri. Sepertinya ia enggan kalau Ruri tahu kesedihan hatinya.
"Mungkin kau bisa berbagi cerita padaku. Tentang ... penyakit yang diderita Sesilia," ucap Ruri setela menghembuskan napas berat dari mulutnya. ucapan ini cukup berat dikatakan, namun ia memaksakan diri mengatakannya.
"Huh!" ucap Ayah yang mencoba menghempaskan napas berat dari mulutnya. "Sesilia tidak akan bertahan lama."