"Hahahaha," suara menggelegar secara tiba-tiba menyala. Mengagetkan Ruri dan Sesilia. Kedua mata mereka terpancing menatap ke arah pria tua.
"Apa yang kalian takutkan? Apa ada seseorang yang mengikuti kalian selain aku?" tanyanya masih dengan mata yang terpejam.
"Kau!" teriak Sesilia yang berniat mendekati pria tua itu dan menghajarkan. Namun, Ruri bergerak cepat dan dengan segera menahan tangan Sesilia. Hingga kini tubuh Sesilia hanya bisa berdiri kaku sambil menatap kesal ke arahnya.
"Tenanglah! Kita tidak mengenal betul tempat ini. Dia terlihat tenang, sepertinya kita yang terlalu cemas," ujar Ruri lembut mengisyaratkan permohonan.
"Huh! Kakek Tua sialan!" gerutu Sesilia yang kini menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Wajahnya kesal dan dipenuhi amarah. Berbeda jauh dengan Ruri yang kini mulai mendekati pria tua guna mencari tahu apa yang terjadi.
"Sikap yang bagus teman. Kau butuh informasiku, maka bersikap baiklah!" gumamnya yang kini mulai membuka mata dan tersenyum ke arah Ruri.
"Itu hanya pelatihan perang. Letaknya tidak jauh dari sini. Tepatnya sebelah utara sekitar satu sampai dua kilo meter. Jadi tidak heran jika suaranya begitu deras seakan berada di luar sini. Kalian apa tidak lihat? Rumah ini begitu kecil dengan banyak lubang mengelilingi. Tak heran jika angin membawa masuk suara mereka dari lubang yang ada," jelas pria itu yang kemudian bangkit mendekati sebuah meja dengan kaki depan terganjal. Di bagian atas dinding terlihat beberapa foto tergantung. Salah satu wajah yang ada terlihat wajah pria tua dalam keadaan usia muda.
Seakan terhipnotis, Ruri bangkit dan berjalan mendekati pria tua berada. Berdiri tepat di belakangnya sambil terus memandangi foto yang terpampang di sana. Matanya terus mengamati dengan seksama, seakan pernah melihat salah satu dari mereka.
"Mengapa? Apa kau merasa tak asing dengan wajah yang ada di foto ini?" tanyanya dengan senyum penuh keangkuhan. Napasnya berhembus berat hingga sedikit berisik. Sepertinya ia benar-benar tua, hingga berjalan sebegitu dekat pun sudah merasa sesak.
Ruri masih saja terdiam, hingga kedua matanya terbelalak setelah mendengar ucapan pria itu.
"Kau merasa tak asing bukan, dengan gadis yang ada di foto itu? Aku yakin, kau memiliki hubungan dengannya."
"Yah, benar. Aku merasa pernah melihat gadis itu. Gadis berambut panjang, bewarna emas dengan senyum yang mengembang. Aku yakin pernah ketemu, bahkan hatiku merasa dekat dengannya. Tapi aku tidak tahu siapa dan di mana. Aku benar-benar bingung, aku berusaha mengingatnya, namun tetap saja tak mendapatkan jawaban," gumam Ruri dengan wajah lelah karena memaksakan ingatannya.
"Plak!"
Sebuah tepukan mendarat tepat di pundak Ruri, membuat ia kaget hingga nyaris menghentikan jantungnya.
"Ada apa, kenapa wajahmu pucat begitu? Apa yang pria tua itu lakukan padamu?" tanya Sesilia yang dengan sigap mengepalkan tangannya, sepertinya ia tak lagi bisa menahan amarahnya. Hidup dalam kesendirian membuat ia menjadi sosok yang pemberani dan suka main kasar. Menghantam, menendang dan berlari kencang menjadi bagian dari dirinya. Tak heran, jika ia lebih suka bergaya seperti anak lelaki daripada wanita. Namun, wajahnya terlalu cantik untuk berpura-pura menjadi pria.
"Tidak, tidak terjadi apa-apa. Aku hanya ...."
"Lihatlah! Apa itu foto keluarganya?" tanya Sesilia menghentikan ucapan Ruri.
"Sepertinya ya," jawab Ruri dengan mata masih saja menatap serius ke arah seorang gadis cantik. Membuat Sesilia menatap curiga ke arahnya. Diikuti senyuman licik dengan ide nakal di kepala.
"Ada apa? Mengapa kau melihatku seperti itu?"
"Kau yang kenapa. Apa kau menyukai gadis di foto itu?"
"Ah, ti, tidak. Bukan begitu. Aku hanya merasa ...."
"Brak!"
Suara tubuh jatuh terdengar, Ruri dan Sesilia dengan segera mendekati arah suara. Terlihat dari kejauhan sebuah tubuh tergeletak di atas lantai. Keduanya berlari mendekat, rasa takut hadir, mereka merisaukan nasib pria tua.
Duduk mendekati tubuh yang tertelungkup, lengkap dengan baju dan celana. Namun, yang mengagetkan kembali terjadi. Terdengar suara tawa menggelegar. Tawa yang tak lain milik pria tua.
Ruri masih memasang wajah bingung, sedangkan Sesilia dengan segera membalikkan tubuh yang ternyata hanyalah manekin.
"Ini tidak lucu!" teriak Sesilia dengan lantang. Ada banyak urat yang menimbul di seluruh tubuh Sesilia.
"Jaga emosimu, jika kau ingin menemukan yang kau inginkan," ucap pria tua dengan tegas. Berdiri gagah sambil mengarahkan telunjuk ke arahnya. Wajahnya terlihat sangar, bak singa muda yang siap menyerang.
Aura aneh pun dirasa Sesilia yang mendadak menciut melihatnya. Kedua tangannya merenggang dengan jantung berdenyut nyeri.
"Sesil, ada ...."
"Brak!"
Tubuh Sesilia terjatuh, terkulai lemas dan mendarat kasar di atas lantai. Ruri semakin bingung, ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Terlebih setelah melihat sikap pria tua yang menunjukkan rasa tenang seakan tak perduli. Dengan tenang, pria itu berkata, "Bawa gadis itu ke atas sofa dan biarkan dia beristirahat di sana," kemudian pergi meninggalkan Ruri sendiri.
***
Hari berganti, wajah Sesilia terlihat lebih segar. Kini tubuhnya terbaring di atas ranjang, ruangan yang tak asing karena kini ia telah kembali ke rumah singgahnya.
"Di mana Ruri?!" teriaknya yang segera berlari keluar kamar.
"Istirahatlah sayang," ucap wanita berwajah oriental. "Ibu sudah memasakkan sop hangat untuk kamu," sambungnya sambil mengiring tubuh Sesilia ke arah meja makan.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tiba di sini?" tanya Sesilia dengan penuh menggebu-gebu. Entah apa yang terjadi, yang ia ingat dirinya pingsan di rumah pria tua.
"Makanlah dengan tenang ...."
"Aku ingin tahu! Apa yang terjadi padaku. Bagaimana bisa aku berada di sini!"
Teriakan Sesilia yang begitu kencang terdengar hingga ke halaman depan rumah. Memaksa pria yang ia sebut ayah untuk datang. Sedangkan sang ibu memilih pergi meninggalkan Sesilia sendiri.
"Hei, bisakah kau bersikap baik dengan ibumu?"
"Aku hanya bertanya dan butuh jawaban!" bentaknya kembali.
"Yah, tapi kau bertanya pada orang yang salah. Ibumu tidak ada saat kau pulang."
"Lantas, siapa yang tahu kepulanganku? Lalu, Ruri di mana?"
"Aku, makanlah. Biar aku ceritakan," jelas Ayah yang kemudian menarik sebuah kursi, lalu duduk tepat di hadapan Sesilia.
***
Malam itu Ruri menggotong tubuh Sesilia pulang menggunakan gerobak. Hujan deras membuat tubuh mereka berdua basah kuyup. Ayah yang sedari tadi duduk bersantai menunggu kepulangan mereka pun mulai merasa cemas. Namun, kecemasannya berakhir melihat mereka hadir di depan pintu.
Segelas teh hangat dan handuk kering diberikan. Sesilia dibaringkan di kamar, sedangkan Ruri ditanyai akan kemana saja mereka seharian ini.
"Kami hanya berkeliling kota. Aku tidak tahu banyak tentang jalanan yang ada di daerah sini. Bahkan aku belum ingat dengan baik jalan menuju rumah ini. Itulah mengapa kami berkeliling, namun sepertinya Sesilia kelelahan dan jatuh pingsan," jelas Ruri dengan wajah datar hingga terlihat begitu meyakinkan di mata Ayah.
Sesilia terdiam, namun jauh di dalam hatinya. Ia berkata, "Yah, Ruri tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, kalau kami sedang menyelidiki tentang ini. Aku harus menemui Ruri dan menanyakan kebenarannya."
"Lalu, Ruri di mana?"
"Dia pergi, katanya ada sebuah tempat yang harus ia kunjungi."
"Sialan! Dia mencoba menyelidiki ini sendirian. Dia pikir, dia bisa tanpa bantuanku?" gerutu Sesilia yang segera mengakhiri makannya dan pergi begitu saja.
"Hei, kau mau kemana? Habiskan dulu makananmu!" teriak Ayah, namun tak digubris oleh Sesilia.